MENAFSIRKAN AL QURAN DENGAN BENAR

>>>About this site (click here)<<<

“Islam adalah agama damai”. Inilah ungkapan yang seringkali dilontarkan ketika terjadi peristiwa kekerasan atau teror yang berlatar belakang Islam. Ungkapan tersebut ada benarnya, namun juga tidak sepenuhnya benar. Sebagai agama, Islam juga adalah sebuah ideologi, sebuah aturan sosial, dimana muslim tunduk pada Allah, wanita tunduk pada pria, dan seluruh non muslim tunduk pada hukum Islam. Tentu beberapa muslim tidak sependapat dengan hal tersebut, namun ini tidak mengubah bagaimana sesungguhnya  Islam itu.

Janganlah salah membedakan antara ideologi dengan individu. Muslim, sebagai individu, dapat memilih perintah Alquran mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, dimasa kini banyak muslim tidak menyetujui hukuman potong tangan terhadap pencuri (QS Al Maidah 38-39), meskipun aturan ini jelas diperintahkan dalam Alquran dan dipraktekkan di jaman Muhammad. Kebanyakan muslim memilih melakukan perintah agama yang tidak bertentangan dengan nilai moral mereka. 

Jika diperinci, akan banyak lagi perintah agama dalam Islam yang mengakibatkan dilema bagi muslim, seperti polygami, riba, memerangi non muslim dan sebagainya. Jadi, janganlah mengambil kesimpulan atas Islam berdasar perilaku muslim sebagai individu yang kita lihat sehari-hari, dari kebaikan, sifat humanis mereka, ataupun dari terorisme dan kejahatan yang mereka lakukan. Jangan menilai muslim dari Islam, dan sebaliknya, jangan menilai Islam dari muslim.

Alquran adalah sumber hukum utama dalam Islam. Meskipun Alquran diklaim sebagai kitab yang jelas dan terperinci, nyatanya Alquran bukanlah kitab yang mudah dipahami, apalagi oleh orang awam. Dibutuhkan penafsiran atas ayat-ayatnya, dan seringkali tafsiran satu ulama berbeda dengan tafsiran ulama lainnya. Contohnya tentang ayat memilih pemimpin, sekelompok ulama menafsirkan bahwa Alquran melarang memilih pemimpin non muslim, kelompok ulama lain menafsirkan diperbolehkan memilih pemimpin non muslim. Karena tidak ada tafsir tunggal atas sebuah ayat, maka Alquran rawan ditafsirkan sesuai konteks dan kepentingan masing-masing kelompok. Ini baru perbedaan tafsir antar kelompok, belum lagi antar golongan, tafsir Sunni bisa jadi berbeda dengan tafsir Syiah.

Para ulama sepakat, bahwa penerapan hukum Islam yang paling ideal adalah saat dimana Muhammad hidup. Sejarawan Islam Al-Waqidi dalam bukunya Al-Maghazi (1) menjelaskan bahwa sepanjang hidupnya, Muhammad setidaknya telah memimpin 27 kali peperangan, dan memerintahkan 47 peperangan lainnya, hal ini kurang lebih sama dengan yang tertulis di Wikipedia (2). Jadi tak dapat dipungkiri, sejarah Islam adalah sejarah berhiaskan kekerasan dan peperangan.

Awalnya Muhammad mengajarkan Islam yang damai kepada para kafir, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku” (QS Al Kafirun 6), atau “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (QS Al Baqarah 256), namun dikemudian hari sikap ini berubah, "Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS At Taubah 73) atau “Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka” (QS Al Anfaal 12).

Mengapa pesan toleransi tersebut berubah menjadi pesan teror? Alquran menyatakan “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.” (QS Al Hajj: 39). Sejarawan Islam klasik seperti Ibn Ishaq, Tabari, ataupun Al-Waqidi mencatat bahwa perintah “balas dendam” ini disampaikan oleh Muhammad setelah ia melakukan Baiat Aqabah kedua, dimana 75 orang kaum Ansar berjanji akan membantu Muhammad memerangi kafir Mekah. Baiat Aqabah kedua ini adalah perjanjian terpenting dalam sejarah Islam, karena perjanjian ini menyatakan visi Muhammad untuk memerangi kaum kafir Mekah dan Yahudi Madinah, dan juga menjadi dasar turunnya perintah bagi muslim Mekah untuk hijrah ke Madinah.

Dalam surat Al Hajj 39 tersebut, Allah memerintahkan kaum muslim untuk membalas perbuatan kafir Mekah, karena mereka terlebih dahulu diperangi dan dianiaya. Namun apakah benar kaum muslim diperangi oleh saudara-saudara mereka sendiri? Dalam sebuah kesempatan, para petinggi Quraish meminta Abu Thalib, untuk menghentikan Muhammad yang gemar menghina tuhan-tuhan mereka. Penghinaan ini berlangsung kurang lebih 13 tahun. Dalam hukum Islam, penghinaan kepada tuhan akan dihukum dengan hukuman mati. Jadi dalam hal ini, bukankah kafir Quraish jauh lebih toleran daripada Muhammad sendiri?

Sejarah membuktikan bahwa agama-agama polytheis jauh lebih toleran daripada agama monotheis. Tuhan-tuhan polytheis bersedia berbagi tempat dengan tuhan baru. Pada waktu melakukan tawaf saat ibadah haji, para kafir Arab mengucapkan “Labbaika laa syariika laka, illaa syariikan huwa laka tamlikuhu wamaa malaka” (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu, kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai). Meskipun tiap-tiap suku memiliki tuhannya sendiri, namun mereka meyakini bahwa pada hakikatnya mereka menyembah satu Allah yang sama.

Walaupun orang-orang kafir sangat toleran, namun karena kerasnya penghinaan dan kutukan yang dilakukan Muhammad terhadap agama nenek moyangnya sendiri, maka timbullah resistensi terhadap ajaran Muhammad. Salah satu keluarga Muhammad yang menolak dakwah Muhammad adalah pamannya sendiri, Abu Lahad. Bacalah asbabun nuzul surat Al Lahab, bagaimana Muhammad mengutuki saudara-saudara kafirnya dan juga mengutuk pamannya dengan keras. Cobalah berdiri di sudut pandang Abu Lahab dan para kafir, bukankah adalah hal yang wajar jika timbul ketidaksukaan ketika ada orang yang mengutuki dirimu dan menghina tuhanmu?

Terhadap penghinaan, respon hukum Islam jelas lebih keras. Ketika terbit karikatur Muhammad, beberapa orang kafir meninggal akibat respon anarkis atas hal tersebut, di Nigeria saja 10 orang terbunuh, belum ditempat lain. Dalam sejarah Islam, terdapat beberapa versi mengenai jumlah korban meninggal akibat penolakan masyarakat kafir Mekah pra hijrah Madinah. Namun sebagian besar menyebut bahwa korban meninggal yang dalam Alquran disebut akibat “diperangi” tersebut hanyalah 1 orang muslim, yaitu Sumayyah binti Khayyat yang adalah seorang budak wanita.

Bandingkan dengan bagaimana cara Muhammad memperlakukan budak. Ketika Muhammad menyerang bani Quraizhah, ia memerintahkan membunuh kurang lebih 700 sampai 900 orang lelaki suku tersebut (3), sedangkan sebagian wanita dan anak-anak dijual sebagai budak. Sebagian lagi wanita dibagikan diantara pasukan untuk dijadikan budak pemuas nafsu (milkul yamin), Muhammad sendiri mengambil wanita yang paling cantik, yaitu Raihanah Binti Zaid Bin Amr Khunaqah sebagai bagiannya (4). Kita dapat bayangkan bagaimana perasaan Raihanah saat itu, dihari saat ayah, suami, dan saudara-saudaranya dibunuh oleh Muhammad, janda muda ini diberi pilihan menjadi budak pemuas nafsu atau menjadi istri Muhammad. Bukankah perlakuan ini lebih kejam daripada kematian itu sendiri?

Karena begitu menguntungkan menjual wanita dan anak-anak, maka praktek perbudakan tetap dilestarikan dalam budaya Islam. Kita dapat melihat bahwa praktek perbudakan terus dijalankan baik oleh Muhammad atau para khalifah penerusnya. Perbudakan memang pernah terjadi pada berbagai masa dan bangsa. Sebelum menjadi presiden Amerika, Washington mungkin menjual budak dan juga meniduri budaknya, sebagaimana Muhammad meniduri budak-budaknya seperti Mariah al-Qibthiyah. Pada jaman tersebut mungkin tindakan itu dianggap biasa, namun tidak ada orang yang mengatakan bahwa tindakan Washington tersebut merupakan suri teladan untuk segala jaman dan semua bangsa bukan?

Kembali tentang surat Al Hajj 39, lanjutan ayat ini berbunyi; “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah"”. Masyarakat Mekah memang tidak menyukai Muhammad, namun benarkah mereka sampai hati mengusir saudara-saudara mereka sendiri? Ketika sebagian muslim hijrah pertama kali ke negara Kristen seperti Habasyah, Muhammad lah yang memerintahkannya, dan justru para kafir yang memohon agar saudara-saudara muslim mereka kembali ke Mekah. Demikian pula dengan hijrah Madinah, faktanya justru setelah mendapatkan dukungan militer saat Baiat Aqabah kedua, secara rahasia dan sembunyi-sembunyi Muhammad memerintahkan pengikutnya untuk hijrah, bahkan dengan ancaman-ancaman bagi mereka yang tidak mau berhijrah.

Misalnya terdapat ayat yang berbunyi; “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah” (QS.8:72). Ayat ini menyiratkan bahwa ada sebagian muslim yang tidak mau hijrah seperti yang Muhammad perintahkan, jika benar mereka dianiaya dan jiwa mereka terancam, bukankah mereka akan dengan senang hati pindah ke Madinah bukan?

Contoh selanjutnya adalah; “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong…” (QS.4:89).

Terdapat berbagai tafsir terkait ayat tersebut. Satu tafsir menceritakan tentang para muslim yang menderita sakit di Madinah, sehingga hendak pulang kembali ke Mekah. Tafsir lain menyatakan tentang beberapa muslim yang enggan berperang melawan saudara-saudara kafir mereka di perang Uhud, karena penolakan tersebut mereka wajib dibunuh. Ibnu Ishaq sehubungan dengan hal tersebut juga menceritakan mengenai beberapa muslim yang ternyata tidak mau hijrah ke Madinah, yang akhirnya berhasil dibunuh saat Muhammad menyerang rombongan dagang Quraish di Badar.

Kisah-kisah ini adalah contoh bahwa meninggalkan Islam, baik itu mereka yang tidak mau hijrah, atau yang sudah hijrah lalu kembali ke Mekah, hukumannya adalah hukuman mati. Memang terdapat beberapa contoh murtadin yang lolos dari hukuman mati, misalnya Ubaidillah bin Jahsh, muslim yang turut hijrah ke Habasyah, yang kemudian murtad menjadi Kristen dan tinggal disana.  Lolosnya murtadin ini disebabkan karena memang otoritas Islam saat itu tidak mampu mengeksekusinya, mengingat keberadaannya di Habasyah.

Hukuman mati bagi mereka yang murtad bukan hanya dilakukan di jaman Muhammad, namun perintah Alquran ini senantiasa dilestarikan oleh khalifah-khalifah penerusnya. Dan dimasa modern perintah ini tetap dipertahankan oleh negara-negara yang menganut hukum Islam, misalnya Arab Saudi. Lagi-lagi hukuman mati bagi mereka yang keluar dari Islam adalah dilema bagi muslim. Meskipun ulama-ulama fiqih klasik dengan tegas menjelaskan hukuman mati bagi murtadin, namun karena di masa kini hukum ini bertentangan dengan nilai-nilai modern dan kebebasan beragama, maka dibuatlah tafsir-tafsir baru mengenai hukuman mati bagi murtadin.

Kembali lagi kepada surat Al Hajj 39, kalimat awal ayat ini menyatakan “Telah diizinkan (berperang)”. Namun seperti apakah praktek “berperang” yang dilakukan Muhammad saat itu? Silahkan baca buku-buku sejarah Islam klasik, kita akan melihat bahwa hal yang disebut berperang itu awalnya adalah menyerang para pedagang Quraish / kafilah (5). Gerombolan Muhammad menunggu secara mengendap endap, lalu ketika rombongan dagang tersebut lewat, mereka menyerangnya, membunuh para pedagang yang melawan, merampas harta bendanya, dan menjadikan yang masih hidup sebagai sandera untuk mengharapkan uang tebusan. Dalam bahasa modern praktek “berperang” seperti ini biasa kita  sebut dengan merampok atau perampokan. Alquran menyebut hasil rampokan ini dengan istilah “harta rampasan” (QS.48:20).

Beberapa sejarawan Islam seringkali menyatakan bahwa perampokan ini dilakukan sebagai balasan karena para kafir terlebih dahulu merampas harta kaum muslim. Klaim seperti ini nyatanya tidak didukung bukti sejarah, jelas bahwa perintah hijrah diberikan secara rahasia oleh Muhammad, dimana terdapat masa yang cukup untuk muslim mempersiapkan diri dan juga hartanya. Toh sebagian muslim dapat membeli tanah di Madinah.

Dalam pandangan para kafir, ajaran Muhammad yang gemar menghina dan mengutuk tentu dianggap sebagai ajaran sesat. Ketika terdapat sanak saudaramu bergabung dengan ajaran sesat, apakah yang kau lakukan? Apakah serta merta engkau menjadi benci dengan saudaramu itu? Beberapa waktu lalu di Indonesia terdapat sebuah gerakan bernama GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara), pemimpin gerakan ini menyerukan “hijrah” kepada para anggotanya. Ketika anakmu atau saudaramu hendak menjual seluruh harta bendanya untuk turut “hijrah”, apakah kau akan membiarkannya begitu saja atau berusaha mencegahnya?

Gafatar akhirnya divonis sebagai aliran sesat dan pemimpinnya dijatuhi hukuman penjara. Rumah dan lingkungan tempat hijrah mereka dirusak dan dibakar oleh massa. Jika suatu saat gerakan ini menyerukan jihad, dan melakukan pembalasan dengan merampok disana-sini, dengan alasan mereka telah diperangi dan karena harta benda mereka telah dirampas, apakah hal tersebut dapat dibenarkan?

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya (QS At Taubah 73).

Dalam Islam, berperang atau lebih dikenal dengan istilah jihad fi sabilillah, adalah puncak dari segala amalan ibadah. Meskipun merupakan puncak ibadah di jaman Muhammad dan kekhalifahan setelahnya, lagi-lagi dimasa kini jihad adalah dilema bagi muslim. Para ulama klasik telah secara detail mengungkapkan bahwa jihad adalah perintah Alquran yang tidak dibatasi oleh waktu atau konteksnya. Bahkan beberapa ulama modern tetap mempertahankan pendapat ini. Misalnya Syaikh Abdulaziz bin Baaz yang menyatakan bahwa Islam tidak hanya memerintahkan jihad Al Daf'u (defensif), diserang dulu baru menyerang, namun juga memerintahkan jihad Al Tholab (offensif), menyerang terlebih dahulu untuk menegakkan Islam.

“Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka” (QS Al-Anfal 12).

Kata “ketakutan” dalam ayat  diatas dalam bahasa kekinian sering disebut dengan istilah “teror”, atau yang dalam ayat lain disebut dengan “menggentarkan musuh Allah” (QS.8:60). Teror hanyalah manifestasi lain dari jihad yang dilakukan oleh Muhammad. Tidak perlu dengan tindakan, bahkan ayat-ayat Alquran tersebut secara verbal adalah bentuk teror bagi para kafir.

Namun karena teror dan jihad offensif dianggap sebagai radikalisme dan bertentangan dengan hukum internasional, maka seperti biasa, dimasa modern ini kita dapat dengan mudah menemukan tafsir-tafsir baru yang menyatakan bahwa jihad offensif bertentangan dengan Alquran. Salah satu dari sekian banyak ulama modern yang memunculkan tafsir-tafsir baru seperti ini adalah Dr. Zakir Naik. Disalah satu ceramahnya ia mengutip Al Maidah 32, sebuah ayat yang berasal dari kitab Yahudi, Mishnah Sanhedrin 4; “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.

Zakir Naik berpendapat bahwa membunuh satu orang tak bersalah saja dilarang dalam Islam, apalagi jihad secara offensif yang membunuh banyak orang. Sayangnya ia tidak menjelaskan pengecualian ayat tersebut, yaitu orang yang “membuat kerusakan dimuka bumi”. Dalam Islam, orang kafir adalah pembuat kerusakan terbesar dimuka bumi, bahkan sebagian ulama juga berpendapat bahwa orang Yahudi dan Nasrani juga termasuk golongan pembuat kerusakan karena kesyirikan mereka. Ayat selanjutnya dari surat ini dengan tegas menyatakan; “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib” (QS Al Maidah 33).

Hal ini sejalan dengan ijma para ulama salaf, meskipun kaum itu tidak memerangi Allah dan Rasulnya, namun jika dia termasuk golongan pembuat kerusakan, maka wajib hukumnya untuk diperangi (jihad offensif). Jumhur ahli fiqih mewajibkan jihad al tholab secara fardu kifayah, dan menjadi fardu ain dengan kondisi tertentu, jadi jihad offensif bukanlah monopoli para ulama yang dicap wahabi seperti Bin Baaz semata. Para ulama salaf juga menyatakan bahwa memang terdapat ayat-ayat toleran terhadap para kafir namun akhirnya ayat-ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat pedang. Selama di muka bumi masih ada kekafiran dan kemusyrikan, jihad fi sabilillah diwajibkan.

Sekali lagi Alquran dapat ditafsirkan sesuai konteks dan kepentingan tertentu bukan? Lalu pendapat siapa disini yang dapat dijadikan panutan? Pendapat para ulama salaf atau Dr. Zakir Naik? Ketika membaca buku-buku sejarah Islam klasik kita dapat dengan mudah menemukan bahwa perampokan terhadap rombongan dagang Quraish sebenarnya bukanlah bentuk jihad defensif, melainkan adalah jihad offensif. Selama 13 tahun hidup bersama, para kafir Mekah tidak mengangkat pedang lalu membunuhi semua muslim. Mungkin beberapa oknum kafir melakukan persekusi terhadap beberapa muslim, namun tidak serta merta dipahami bahwa seluruh kafir memusuhi saudara-saudara muslim mereka. Di Mekah juga terdapat beberapa kafir yang mendukung Muhammad meskipun tidak mengikut ajarannya, misalnya Mut’im bin Adi. Dan jangan pula dilupakan bahwa konflik di Mekah ini tak dapat dilepaskan dari persaingan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim, seperti pemboikotan terhadap bani Hasyim, yang akhirnya berimbas menjadi permusuhan Sunni vs Syiah hingga saat ini.

Anggap saja jika merampok pedagang Quraish adalah salah satu strategi dari jihad defensif Muhammad, seperti halnya teror adalah salah satu strategi dari jihad defensif seperti yang dikemukakan para teroris, bagaimana dengan penyerangan Muhammad terhadap suku-suku Arab badui yang sama sekali belum pernah bersingungan dengan Islam. Atau ultimatum Muhammad kepada para penguasa di sekitar Hijaz, misalnya ultimatum kepada raja Persia (Iran) agar dia tunduk kepada Muhammad dan menerima Islam atau akan diperangi. Apakah dimasa kejayaan Muhammad saat itu adalah masa darul harb sehingga harus menyerang negara-negara sekitarnya? Padahal Persia saat itu tidak pernah memusuhi Islam. Kita mengetahui bahwa melalui berkali-kali pertempuran, pada akhirnya kekhalifahan Islam dapat menjajah Persia, Mesir, Byzantium, dan daerah lainnya.

Dalam literatur Islam penjajahan yang memakan korban jutaan jiwa para kafir tidaklah disebut dengan menjajah namun menaklukkan. Jika pada masa Muhammad terhadap satu kampung saja 700 sampai 900 orang dibunuh demi menegakkan kalimat Allah, bagaimana dengan korban penaklukan Islam yang dilakukan kekhalifahan selama berabad-abad? Kita seringkali mengutuk pembantaian pribumi Indian di benua Amerika oleh Spanyol atau pembantaian tentara Salib terhadap muslim, namun menutup mata terhadap pembantaian kafir oleh para Khalifah dan menganggap hal tersebut biasa dalam konteks peperangan.

Padahal jika kita mau jujur dan sedikit belajar sejarah, di India saja para sejarawan memperkirakan 80 juta kafir tewas akibat penjajahan Islam, yang tercatat sebagai “biggest holocoust in world history”. Ini baru India, belum korban di daerah penjajahan Islam lainnya, seperti Persia, Mesir, hingga genosida yang dilakukan kekhalifahan Turki Utsmani.

Memang terorisme dan penjajahan bukan hanya monopoli Arab, bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Inggris, Belanda dan lainnya juga melakukan penjajahan. Mao Zedong, Stalin, Hitler adalah non muslim yang juga melakukan teror. Namun ada perbedaan mendasar antara yang dilakukan khalifah Islam dengan penguasa-penguasa tersebut, yaitu yang satu sejalan dengan perintah agama, dan yang lainnya bertentangan dengan perintah agama. Kita tidak akan menemukan dalil bahwa Laotze memerintahkan penjajahan, atau teladan dari Yesus yang membantai musuh-musuhnya, dimana berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Muhammad.

Pembunuhan yang dilakukan Muhammad seringkali dianggap sebagai hal biasa, seperti halnya juga terjadi pada peperangan – peperangan lainnya. Namun jangan lupa bahwa gerakan yang dilakukan Muhammad ini bukan sebatas gerakan politik atau militer semata, namun penaklukan ini diklaim dilakukan atas perintah Allah, yang dipercayai sebagai Yang Maha Kuasa. Untuk lebih memahaminya, berikut beberapa ayat Alquran yang dipercaya sebagai perkataan Sang Maha Pencipta tersebut;

Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu. 9:123 - Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. 8:12 - Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka. 9:5 - Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu. 9:14 - Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir, maka pancunglah batang leher mereka. 47:4.

Dalam Alquran, Allah menjadikan teror, pembunuhan dan peperangan sebagai cara agar manusia mengenalNya. Allah menciptakan kaum muslim sebagai umat terbaik (QS.3:110) dan juga menciptakan kaum kafir dan non muslim sebagai umat terburuk (QS.98:6), kemudian mengadu domba keduanya. Bukannya memberikan hidayah agar para kafir beriman, Allah justru mempertarungkan kafir dengan umat terbaiknya. Jadi ketika anda gagal memahami Islam, atau seandainya anda dilahirkan dari orang tua kafir, dan lahir diwilayah yang sama sekali belum terjangkau syiar Islam, maka anda diciptakan oleh Allah hanya untuk menjadi bahan bakar api neraka. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, ...... mereka itu adalah bahan bakar api neraka.” (QS Ali Imran 10).

Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, jika manusia melakukan kesalahan terhadap Tuhannya, siapakah yang berhak mengadili dan menghukum? Tuhan sendiri atau manusia lainnya? Jika manusia merasa berhak mengadili kekafiran seseorang, dengan bukti-bukti apakah dia akan menunjukkan kesalahan si kafir tersebut? Secara keilmuan, monoteisme tidak lebih benar dari polyteisme, baik secara filosofi atau metafisik, berdasarkan bahwa tidak ada bukti tentang keberadaan satu Tuhan yang sah dan benar. Bahkan jika monotheisme benar, bagaimana membuktikan monotheisme agama semitik lebih benar daripada monotheisme Sikh, monotheisme Zoroaster, dan monotheisme agama-agama lainnya.

Kebenaran dalam sebuah agama adalah kebenaran relatif, benar dalam agama satu, belum tentu benar dalam agama lainnya. Kebenaran agama adalah kebenaran bagi mereka yang mengimaninya. Iman adalah percaya tanpa adanya bukti, ketiadaan bukti inilah yang menjadikan iman seseorang rawan disalah gunakan. Karena Tuhan tidak bisa dilihat dan didengar, kepatuhan tertuju kepada seseorang yang menjadi penghubung (nabi), karena hanya dia yang bisa dilihat dan didengar. Sejarah dunia membuktikan begitu banyak orang yang berpura-pura menjadi nabi atau rasul dengan berbagai maksud dan tujuan, namun dengan menggunakan satu alat yang sama yaitu kebencian.

Alquran menggambarkan orang kafir sebagai orang yang amat membenci Islam (QS.47:9, 61:8). Anehnya jika ditelusuri, tidak ada satupun dalil dari kitab-kitab kafir untuk membenci ataupun memusuhi Islam, berbanding terbalik dengan apa yang Alquran nyatakan; Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. 9:28. - Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. 75:34. - Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. 4:101 - Maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. 2:98. Lalu disini sebenarnya siapa yang memusuhi siapa? Ayat-ayat Alquran menunjukan paranoia terhadap kafir. Mungkinkah Allah mengalami paranoia? Atau memang Muhammad lah yang paranoid terhadap kafir?

Dalam Alquran kita memang dapat menemukan ayat-ayat damai dan toleran, disisi lain kita juga akan menemukan ayat-ayat perang dan teror seperti ayat diatas. Syaikh Abdulaziz bin Baaz dalam kitabnya “Majmu Fatawa Wa Maqaalat Mutanawiah” menjelaskan bahwa keberadaan kedua ayat bertentangan ini dapat dipahami karena ketika masih lemah di Mekah, Muhammad diperintahkan bertahan, karenanya ia menggunakan kata-kata “manis” kepada non muslim agar tertarik pada Islam. Ketika kata-kata manis tidak mampu membuat non muslim percaya, digunakanlah kata-kata yang lebih keras. Dan ketika kata-kata keras tidak lagi mempan, maka digunakanlah kekuatan fisik untuk memaksa non muslim kepada Islam seperti yang terjadi pasca hijrah Madinah.

Jadi janganlah heran, ketika terdapat muslim-muslim baik, yang menolak teror dan radikalisme, menampilkan ayat-ayat damai seperti; Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani" (QS Al Maidah 82). - Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu (Yahudi dan Nasrani), Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri (QS Al Ankabuut 46).

Dan disaat bersamaan terdapat muslim kaffah, yang mencoba meneladani Muhammad sepenuhnya, menyatakan; Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka (QS Al Baqarah 120). - Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk (QS Al Bayyinah 6).

Sekali lagi janganlah salah membedakan agama dengan individu. Sebagai individu beragama, seseorang dapat memilih perintah yang mana yang perlu dilakukan dan mana yang tidak perlu dilakukan. Mungkin memang terdapat orang kafir yang membenci Islam, namun tidak ada perintah dalam agama kafir untuk membenci atau memerangi Islam. Disisi lain, mayoritas muslim masa kini adalah orang baik, yang menolak radikalisme dan bertoleransi terhadap orang-orang kafir, namun ini justru bertentangan dengan ajaran Islam yang dengan tegas mewajibkan jihad fi sabilillah selama di muka bumi ini masih ada kekafiran dan kemusyrikan.

Jika terhadap hal yang sederhana saja seperti mengucapkan hari besar keagaamaan umat lain, sesama muslim dapat saling sesat menyesatkan dan mengkafirkan, apalagi terhadap hal yang lebih kompleks seperti jihad memerangi kafir. Ketika Imam Samudera dan kawan-kawannya melakukan teror bom Bali, pemerintah dan sebagian ulama mengecam aksi jihad tersebut dan menyatakan bahwa mereka muslim sesat. Sebaliknya para teroris ini menyatakan bahwa pemerintah dan para ulama tersebut lebih sesat karena berdiri sebagai benteng kekafiran.

Ketika pemerintah menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku bom Bali, sebagian muslim menobatkan para teroris ini sebagai syuhada (pahlawan dalam Islam). Sebagian muslim lainnya menyebut para teroris ini sebagai agen Al Qaeda, kerena Al Qaeda disebut sebagai antek Amerika, maka para teroris ini adalah agen Amerika untuk menjatuhkan citra Islam. Dan ketika pemerintah melalui Densus 88 memburu para muslim yang diduga pelaku teror, sebagian muslim lain menuduh Densus 88 sebagai antek Barat, alat Zionis dalam memerangi Islam. Daripada mengintrospeksi diri sendiri, memang lebih mudah untuk menimpakan kesalahan pada pihak lain.

Disini kita mengenal Islam moderat, Islam Nusantara dan berbagai nama lainnya. Yaitu mereka yang berusaha membumikan Islam, menusantarakan Islam, mengambil nilai Islam yang baik dan membuang nilai-nilai Islam yang tidak sesuai dengan kearifan lokal Indonesia seperti kebencian, radikalisme, dan intoleransi. Golongan inilah yang mengutuk perbuatan Imam Samudra dan kawan-kawan. Disisi lain terdapat kelompok muslim yang berusaha melakukan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah) dengan mengikuti teladan Muhammad sepenuhnya. Kelompok inilah yang menganggap Imam Samudra dkk adalah pahlawan Islam. Para muslim kaffah menyebut Islam Nusantara sesat karena mengikuti paham yang tidak sesuai Islam yaitu sekulerisme, pluralisme, liberalisme. Sebaliknya golongan Islam Nusantara menyebut para muslim kaffah ini wahabi sesat, karena berpandangan radikal, yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Inilah faktanya, meskipun tidak sesuai dengan norma-norma di Indonesia, radikalisme dan teror adalah bagian tak terpisahkan dalam Islam, karena Islam dibangun dengan teror (ketakutan). Kepada muslim, agar taat, Muhammad menerornya dengan neraka dan azab Allah (QS.4:14). Kepada muslim yang hendak keluar dari Islam (murtad), teror yang diberikan adalah ancaman kematian. Dimasa Abu Bakar memerintah, ia membakar hidup-hidup seorang muslim yang murtad dimuka umum sebagai contoh agar muslim lainnya mengerti apa akibatnya jika berani keluar dari Islam. Tak heran jika dimasa modern ini, Yusuf al-Qaradawi, ketua Majelis Fatwa Mesir mengatakan bahwa; “Islam tak akan bertahan sampai hari ini jika tidak ada hukuman bagi mereka yang murtad”.

Pada tahun 2015, terjadi teror di Paris Prancis, kantor majalah Charlie Hebdo diserang oleh tiga orang bersenjata, 12 orang tewas akibat penyerangan tersebut. Si penyerang meneriakkan takbir “Allahu Akbar”, penyerang lain meneriakkan “kami telah membalaskan dendam Nabi Muhammad”. Rupanya motif penyerangan adalah karena sindiran (satire) majalah tersebut terhadap Islam. Apakah para teroris ini salah memahami Islam? Tentu tidak, mereka hanya meniru apa yang Muhammad lakukan. Bacalah sejarah bagaimana Muhammad membunuh Kaab bin al-Ashraf, Asma binti Marwan, Abu Afak yang berusia 120 tahun, dan orang-orang yang kritis terhadapnya. Jelaslah, apa ganjarannya jika anda berani mengkritik Islam. Di negara muslim dengan budaya lebih santun seperti Indonesia kritik terhadap Islam biasa dibungkam dengan tuduhan penodaan agama, ujaran kebencian, dsb, yang berujung pada hukuman penjara.

Tradisi teror tak hanya terjadi di masa Muhammad hidup, tak lama setelah kematian Muhammad (versi Syiah akibat diracun Aisyah dan Hafsah, versi Sunni diracun wanita Yahudi), para sahabat terdekat Muhammad justru saling berseteru satu sama lain. Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah tidak disetujui oleh keluarga besar Muhammad (bani Hasyim). Ketika keluarga Muhammad berkumpul di rumah Ali, Abu Bakar memerintahkan Umar dan pasukannya untuk membubarkan mereka karena curiga mereka akan merencanakan pemberontakan. Umar bin Khattab menyerang rumah itu, sehingga Fatimah az-Zahra, putri tercinta Muhammad yang saat itu sedang mengandung, terluka parah dan mengalami keguguran akibat peristiwa itu. Akibat persekusi yang dilakukan Abu Bakar dan para sahabat lainnya, Fatimah hanya bertahan hidup selama 6 bulan setelah kematian ayahnya.

Sahabat Muhammad lainnya, Sa'ad bin Ubadah, salah satu muslim pertama asal Madinah yang menjadi kepercayaan Muhammad, berseteru dengan Umar bin Khattab, karenanya ia mengungsi ke Suriah, namun disana ia justru dibunuh oleh orang-orang suruhan Umar. Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, suami Fatimah, berseteru dengan Aisyah, istri muda Muhammad, puteri dari Abu Bakar. Hingga pecahlah perang saudara antara kubu Ali dengan kubu Aisyah, 15.000 orang terbunuh akibat peperangan di Basra.

Tiga dari empat khalifah (Umar, Utsman, dan Ali) semuanya mati dibunuh, semuanya adalah sahabat terdekat Muhammad. Khalifah ketiga (Utsman) dibunuh oleh sekutu dari anak khalifah pertama (Aisyah). Khalifah keempat (Ali) ditusuk hingga mati oleh Abdul Rahman bin Muljam setelah berperang dengan penerus kekhalifahan, Muawiyah bin Abu Sufyan di Perang Shiffin. Khalifah Muawiyah juga adalah dalang kematian cucu pertama Muhammad, Hasan bin Ali, yang tewas akibat racun. Cucu Muhammad lainnya, Husain, dipenggal oleh khalifah Islam selanjutnya, Yazid bin Muawiyah.

Permusuhan dan perebutan kekuasaan antara orang-orang terdekat Muhammad, para sahabat, yang dalam hadist disebut sebagai “generasi terbaik umat Islam sepanjang masa” adalah sisi lain dari indahnya Islam. Inilah contoh dimana permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap kafir yang diajarkan Muhammad mengakibatkan sesama muslim saling curiga, hingga mengkafirkan dan memusuhi saudaranya sendiri. Jika generasi yang dalam Alquran dijamin masuk surga (QS.9:100) dapat membunuh puluhan ribu saudara seiman mereka sesama muslim, dapat dibayangkan bagaimana perlakuan mereka terhadap kafir yang sesungguhnya.  Jika generasi dengan pemahaman yang paling baik dan paling benar terhadap agama Islam (salafus sholeh) saling bermusuhan dan membunuh satu sama lain, lalu kebaikan seperti apa lagi yang dapat diharapkan dari Islam?

Bila “Islam adalah agama damai”, lalu kedamaian seperti apakah yang dimaksud? Apakah damai seperti saat Muhammad di Mekah, menunggu saat yang tepat untuk menyerang? Pada akhir abad ke 19, lahirlah agama Bahai, agama terakhir yang disebut diturunkan Allah untuk menegakkan Tauhid, meluruskan Islam, menghapus Alquran, dan menyempurnakan semua agama, dengan nabinya Bahaullah. Sebagian muslim menganggap Bahai agama sesat, dan Bahaullah sebagai nabi palsu, karena tidak ada nabi setelah Muhammad. Pandangan seperti ini wajar, John of Damascus, uskup Suriah yang hidup pada masa Kekhalifahan Umayyah, juga menyatakan bahwa Islam hanyalah sebuah aliran radikal sesat dari Kristen, yang diciptakan oleh nabi palsu bernama Muhammad, yang gagal memahami siapa Yesus itu.

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu (QS 9:14). Berbeda dengan pandangan mereka yang telah meninggalkan Islam, beberapa orang masih saja meyakini bahwa perintah untuk menyiksa sesama manusia dalam Alquran memang adalah perintah dari Tuhan, bahwa kekejaman yang Muhammad lakukan justru adalah tanda kenabian yang diberikan oleh Tuhan. Mereka telah menerima Muhammad sebagai manusia dengan akhlak termulia (QS.68:4), rahmat bagi seluruh alam (QS.21:107).

Mereka tidak menilainya dengan standar moral yang biasa disebut dengan “kemanusiaan”. Sebaliknya, mereka percaya Muhammad lah yang menetapkan standar moral. Bagi mereka, bagus atau buruk, mulia atau biadab tidak ditentukan oleh etika universal, perlakukan orang lain seperti dirimu ingin diperlakukan. Bagi mereka baik dan jahat ditentukan dari apa yang dilakukan oleh Muhammad. Jika Muhammad meniduri budak, memperjualbelikan manusia, menikahi anak 9 tahun, melakukan pembantaian masal, merampok, menculik, menyiksa, bagi umat Muhammad itulah standar moral yang harus mereka ikuti. Karena Alquran telah menyebut, dialah suri teladan terbaik bagi alam semesta (QS.33:21).

Artikel selanjutnya:

Sejarah Singkat Nabi Muhammad SAW (klik)

(1) Al-Maghazi Jilid I: Sejarah Lengkap Peperangan Rasulullah Saw. Al Azhar Freshzone Publishing. Cetakan 1, Sya’ban 1436 H/ Juni 2015 M.
(2) https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_expeditions_of_Muhammad
(3) https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bani_Quraizhah
(4) https://en.wikipedia.org/wiki/Rayhana_bint_Zayd
(5) https://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Nakhlah


..


 BERIKAN KOMENTAR
 ANDA PADA KOTAK
 DI BAWAH INI :



Use avatars to show off your personality and favorite things.


 Untuk DISKUSI atau
 DEBAT
, silahkan klik
 link dibawah ini:

FORUM DISKUSI DAN DEBAT ISLAM
.