HUKUMAN MATI BAGI PENCACI MAKI MUHAMMAD
...Ibn Abbas berkata, Aku akan membunuh mereka berdasarkan perkataan Rasulullah,
"Barangsiapa yang meninggalkan agama Islam, bunuh dia.”
[Hadis Bukhari 88:5]
http://sunnah.com/bukhari/88/5
Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa situs ini sengaja mengutip ayat2 Quran sepotong potong dan menafsirkannya secara sembarangan demi mengesankan keburukan Islam. Untuk meluruskan anggapan yang salah tersebut kami postingkan sebuah buku Islam dari ulama besar Islam masa lalu, sehingga kita dapat melihat bagaimanakah penafsiran ayat2 Quran yang benar, dan membandingkannya dengan penafsiran ulama2 modern masa kini. Dari sini anda dapat melihat, mengapa kami meninggalkan Islam.
Judul: Pedang Terhunus : Hukuman Mati bagi Pencaci Maki Nabi SAW
Judul asli : Ash Sharimul maslul 'ala Syatim Ar Rasul
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Taqrib : Dr Shaleh Ash Shahawi
Fisik : Buku ukuran sedang (p=24 cm), 411 Hal
Penerbit Griya Ilmu
Anda dapat membeli buku tersebut di Gramedia, Gunung Agung (jika belum ditarik dari peredaran), atau di toko buku Islam online, dilink ini, atau link ini.
Siapakah Ibnu Taimiyah, sang penulis kitab / buku ini? Beliau adalah ulama besar Islam yang hidup pada abad ke 6 hijriah, untuk jelasnya anda dapat melihat keterangan di Wikipedia (klik disini).
Bagaimanakah tanggapan ulama2 besar lainnya terhadap beliau?
Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain. Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah… dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba` dibandingkan beliau.
Lalu apakah isi buku ini? Terdapat 3 point penting yang dapat kita ambil dari buku ini;
1. Buku ini menceritakan para korban pembunuhan Muhammad karena berani mengkritik Muhammad dan ajarannya. (Mencaci maki hanyalah ungkapan hiperbolis saja, karena pada kenyataannya para korban tersebut hanyalah mengkritik)
2. Dalil dari Quran dan Sunnah untuk membunuh para kritikus / pencaci maki Muhammad, Quran, dan Islam.
3. Dalil dari Quran mengenai kewajiban kaum muslim untuk memerangi para non muslim sampai mereka mau tunduk pada Syariat Islam.
Anda juga dapat melihat topik serupa di situs MUSLIM ini (klik), meskipun demikian di bagian catatan penting ada beberapa hal yang masih salah yaitu mengenai sikap Muhammad terhadap penghinanya di point 1, silahkan anda bandingkan bagaimanakah sebenarnya HINAAN tersebut di post KORBAN PEMBUNUHAN MUHAMMAD ini (klik).
Mungkinkah Sang Pencipta Alam Semesta tersinggung dan tersakiti karena ucapan makhluk ciptaannya, hingga Ia membutuhkan bantuan tangan para muslim untuk membunuh manusia yang mengejeknya tersebut? Bukankah hal yang mudah bagi Sang Pencipta Alam Semesta untuk memberikan hidayahNya agar manusia tersebut bertaubat? Dan andai Ia benar benar tersakiti, mengapa harus para muslim yang membunuhnya, bukan Allah sendiri?
Ok, sekarang saatnya kita membaca buku tersebut!
Kami sengaja tidak menyensor isi buku ini, agar tidak dianggap fitnah. Selamat membaca!
PENGANTAR
Kondisi pencaci maki Nabi tak terlepas dari tiga hal. Yaitu dia berasal dari kelompok Islam, kelompok kafir dzimmi, atau dari kelompok kafir harbi.
Jika dia seorang Muslim, maka kaum Muslimin telah sepakat tentang kemurtadannya dan mewajibkannya untuk dibunuh. Al-Qadhi lyadh berkata, "Kaum Muslimin telah sepakat untuk membunuh orang Islam yang mencela dan memaki Rasulullah. Demikian pula kesepakatan kaum Muslimin agar membunuh dan mengkafirkan pelakunya ini, telah disebutkan dalam banyak riwayat." Imam Ishaq bin Rahuyah, salah seorang imam terkemuka berkata, "Kaum Muslimin telah sepakat bahwa orang yang mencaci Allah Swt dan Nabi , menolak sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Swt atau membunuh salah seorang Nabi, dia menjadi kafir meskipun dia meyakini semua yang diturunkan oleh Allah Swt " Al-Khatthabi berkata, "Aku tidak mengetahui seorang Muslim pun yang berselisih pendapat tentang kewajiban untuk membunuhnya." Muhammad bin Sahnun berkata, "Para ulama telah sepakat bahwa pencaci dan pencela Nabi itu kafir. Ancamannya dia akan ditimpa dengan azab Allah Swt. Hukumnya menurut umat Islam adalah dibunuh, dan barangsiapa yang meragukan kekafiran dan siksanya, maka dia telah menjadi kafir."
Jika dia seorang kafir dzimmi, maka kebanyakan ulama sepakat bahwa sanksinya dibunuh. Hukum ini menjadi kesepakatan pula pada masa pertama dari generasi sahabat dan tabi'in. Lalu setelah itu, terjadilah perselisihan.
Jika dia seorang kafir harbi, maka kebanyakan riwayat (hadits) menyatakan bahwa Nabi menginginkan dan menganjurkan si pelaku dibunuh karena perbuatannya tersebut, meskipun di satu sisi beliau juga melarang hal itu diberlakukan atas orang lain yang berbuat sama. Ibnul Mundzir berkata, "Mayoritas ulama sepakat bahwa sanksi bagi orang yang mencaci Nabi adalah dibunuh. Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Ishaq, dan ini juga sebagai mazhabnya Imam Asy-Syafi'i." Abu Bakar Al-Farisi, salah seorang pengikut Imam Asy-Syafi'i meriwayatkan tentang kesepakatan kaum Muslimin, bahwa sanksi bagi orang yang mencaci Nabi adalah dibunuh, sebagaimana sanksi bagi orang yang mencaci selain Nabi adalah didera. Dan, kesepakatan yang telah diriwayatkan ini sudah menjadi kesepakatan generasi sahabat dan tabi'in terdahulu. Atau, dia memaksudkannya di sini tentang kesepakatan mereka bahwa orang yang mencaci Nabi wajib dibunuh, jika dia seorang Muslim.
Kesimpulannya, bahwa pencaci tersebut bila ternyata dia seorang Muslim, maka dia dinyatakan kafir dan dibunuh menurut ijma', dan ini adalah pendapat keempat imam mazhab dan yang lainnya, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahuyah dan yang lainnya. Jika dia seorang kafir dzimmi, maka dia juga harus dibunuh menurut mazhabnya Imam Malik, Ahlul Madinah, Ahmad, dan para pakar hadits. Dan, kami telah memisahkan bab ini untuk menghadirkan dalil-dalil yang menyatakan kekufuran pencaci tersebut, batalnya janjinya, dan keharusan membunuhnya berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, ijma' para sahabat dan tabi'in, serta dalil i'tibar (qiyas).
Lalu, kajian terhadap dalil-dalil ini saya bagi kepada beberapa pembahasan berikut ini:
Pembahasan Pertama, dalil-dalil al-Quran yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
Pembahasan Kedua, dalil-dalil as-Sunnah yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
Pembahasan Ketiga, ijma' para sahabat dan tabi'in yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
Pembahasan Keempat, dalil qiyas yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
PEMBAHASAN PERTAMA
Dalil-Dalil al-Quran yang Menyatakan Bahwa Mencaci Menyebabkan Batalnya Iman dan Hilangnya Jaminan Keamanan, serta Mengharuskan Si Pelaku Dibunuh
PASAL PERTAMA:
Dalil-Dalil al-Quran Tentang Batalnya Janji Seorang Kafir Dzimmi Karena Mencaci Serta Kewajiban Membunuhnya
Batalnya janji seorang kafir dzimmi karena mencaci Allah Swt , kitab-Nya, agama-Nya, dan Rasul-Nya, serta keharusan untuk membunuhnya merupakan tema yang telah dipaparkan oleh dalil-dalil al-Quran berikut ini:
Dalil Pertama:
Mencaci maki berbeda dengan ketundukan, yang bersama dengan membayar jizyah (upeti) dijadikan oleh Allah Swt sebagai tujuan memerangi Ahlul Kitab. Allah Swt berfirman:
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt dan tidak (pula) pada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah Swt), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka da/am keadaan tunduk." (at-Taubah: 29)
Kita diperintahkan untuk memerangi mereka (non-muslim) sampai mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan tunduk, dan tidak boleh menahan untuk memerangi mereka kecuali jika mereka dalam keadaan tunduk sewaktu membayar jizyah tersebut. Sudah dimaklumi, bahwa memberi jizyah itu dimulai sejak waktu mengeluarkan dan keharusannya hingga waktu menyerahkan dan memegangnya. Jika ternyata mereka tidak memenuhinya atau memenuhinya namun terhalang untuk menyerahkannya, maka mereka dianggap tidak membayar jizyah, mengingat hakikat memberi di sini tidak ada.
Dan, kalaupun ketundukan itu merupakan keadaan mereka sepanjang waktu, maka tentu bisa dipahami bahwa orang yang secara terang-terangan mencaci Nabi di hadapan kita, memaki Allah Swt pada forum-forum majelis kita, dan mencerca agama kita dalam perkumpulan kita, maka dia bukanlah orang yang tunduk. Karena, seorang yang tunduk adalah seorang yang merasa rendah dan hina, sedangkan caci maki ini adalah tindakan seorang yang gagah lagi perkasa, bahkan dia merupakan batas akhir dari perendahan dan penghinaan terhadap kita.
Para pakar bahasa mengatakan, bahwa ketundukaan memiliki arti kehinaan dan kelaliman. Berarti seorang yang tunduk adalah seorang yang ridha dengan kelaliman. Tidak samar lagi bagi orang yang mau berpikir, bahwa mencaci maki secara terang-terangan terhadap agama umat yang telah memperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat, bukanlah tindakan seorang yang ridha terhadap kehinaan dan kerendahan, dan hal ini sangat terlihat jelas, tanpa samar lagi.
Jika memerangi mereka itu wajib bagi kita, kecuali jika mereka tunduk, sedang mereka bukan terbilang orang-orang yang tunduk, maka tentunya memerangi mereka itu sangat diperintahkan. Dan, setiap orang yang diperintahkan bagi kita untuk memeranginya dari golongan orang-orang kafir, maka dia harus dibunuh jika kita mampu melakukannya. Begitu pula, jika kita telah diperintahkan untuk memerangi mereka sampai terpenuhinya tujuan ini, maka tidak boleh diberlakukan kepada mereka perjanjian ahlu dzimmi tanpa adanya tujuan ini. Dan, kalaupun diberlakukan kepada mereka, maka itu dinyatakan perjanjian yang tidak sah, dan mereka tetap boleh diperangi.
Syubhat (keraguan/sanggahan):
Dikatakan, sesungguhnya orang-orang tersebut mengira bahwa mereka adalah golongan kafir mu'ahid, lalu muncul syubhat keamanan bagi mereka, dan syubhat keamanan ini seperti hakikat keamanan itu sendiri. Karena itu, sesungguhnya seorang (Muslim) yang mengatakan suatu ucapan yang dikira oleh seorang kafir sebagai bentuk keamanan, maka itu sebagai keamanan baginya, meskipun sebenarnya hal itu bukanlah yang dimaksud oleh seorang Muslim tersebut.
Bantahan:
Tidak samar lagi bagi mereka, bahwa kita tidak pernah rela bila mereka berada di bawah perlindungan kita, dengan adanya cacian terhadap agama kita dan makian terhadap Nabi kita oleh mereka secara terang-terangan. Dan, mereka juga mengetahui bahwa kita tidak akan membuat perjanjian kepada seorang pun kafir dzimmi atas dasar keadaan semacam ini.
Maka, pengakuan mereka bahwa mereka meyakini kita telah membuat perjanjian dengan mereka atas dasar hal semacam ini, disertai penjatuhan syarat oleh kita kepada mereka agar mereka tunduk, untuk bisa beriakunya hukum-hukum agama atas mereka, itu adalah bohong belaka dan tak periu ditanggapi.
Begitu pula, klaim bahwa orang-orang yang telah membuat perjanjian dengan mereka untuk pertama kalinya, adalah kalangan sahabat Rasulullah semisal Umar bin Khattab , sementara kita tahu betui bahwa beliau tidak mungkin membuat perjanjian bersama mereka dengan sesuatu yang menyelisihi perintah Allah Swt di dalam kitab-Nya. Kemudian kita sebutkan syarat-syarat Umar , dan bahwa syarat-syarat tersebut berisi bahwa orang yang secara terang-terangan mencerca agama kita, dihalalkan darah dan hartanya.
Dalil Kedua:
Caci maki bisa merusak kelurusan (istiqamah) yang dijadikan oleh Allah Swt sebagai syarat langgengnya perjanjian bersama kaum musyrikin. Allah Swt berfirman:
"Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram. Maka, selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagai-mana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukar ayat-ayat Allah Swt dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah Swt. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kekerabatan dengan orang-orang Mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, mafca (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang engetahui.Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan merefca mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti." (at-Taubah: 7-12)
Dalil yang terkandung ialah bahwa Allah Swt telah meniadakan perjanjian aman bagi seorang musyrik (paganis) dari golongan orang-orang yang pernah membuat perjanjian dengan Nabi, kecuali sekelompok orang yang telah Dia sebutkan di dalam ayat tersebut. Sesungguhnya Allah Swt menjadikan perjanjian aman bagi mereka itu, selama mereka tetap berlaku lurus terhadap kita.
Sudah dimaklumi, bahwa pernyataan mereka yang berbau cacian dan cemoohan terhadap Rabb, Nabi, kitab suci, dan agama kita secara terang-terangan di hadapan kita, bisa merusak kelurusan (istiqamah), sebagaimana halnya pernyataan mereka untuk memusuhi kita secara terbuka juga bisa merusak perjanjian.
Bahkan, hal itu lebih ditekankan bila ternyata kita termasuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya wajib bagi kita untuk menumpahkan seluruh darah dan harta kita demi tegaknya kalimat Allah Swt , dan tidak akan dibiarkan berkeliaran di negeri kita ini sedikit pun bentuk permusuhan terhadap Allah Swt dan rasul-Nya. Jika mereka tidak berlaku lurus terhadap kita dengan merusak dua hal yang sangat remeh (sepele), lalu bagaimana mungkin mereka akan berlaku lurus dengan merusak dua hal yang paling besar?
Hal itu diperjelas oleh firman Allah Swt :
"Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian." (at-Taubah: 8)
Bagaimana mungkin ada perjanjian dengan mereka, dan kalau pun mereka memperoleh kemenangan terhadap kalian, maka mereka tidak akan pemah memelihara hubungan kekerabatan yang ada di antara kalian dan mereka, dan juga tidak akan mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kalian dan mereka?
Diketahui, bahwa orang yang jika meraih kemenangan, tidak pernah mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kita dan dia, maka tidak pernah ada perjanjian dengannya; dan bahwa orang yang secara terang-terangan mencerca agama kita, hal itu sebagai dalil bahwa dia jika mendapatkan kemenangan, tidak pemah mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kita dan dia.
Jika dia dengan adanya perjanjian dan kehinaan ini saja telah melakukan hal ini, lalu bagaimana bila dia memiliki kekuatan dan kemampuan? Berbeda dengan orang yang tidak pernah menyampaikan secara terang-terangan ucapan semacam ini kepada kita, maka dia bdeh saja menepati janji jikalau dia menang. Ayat di atas meskipun ditujukan kepada kelompok damai (ahlu hudnah) yang bermukim di negara mereka namun maknanya beriaku bagi golongan kafir dzimmi yang sedang bermukim di negara kita menurut skala prioritas.
Dalil Ketiga:
Petunjuk al-Quran al-Karim tentang kewajiban memerangi orang-orang yang mencerca agama. Sedangkan caci maki ini merupakan bentuk cercaan terhadap agama yang paling besar. Allah Swt berfirman:
"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir ftu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti." (at-Taubah: 12)
Adapun petunjuk ayat di atas yang mengarah kepada hal tersebut, bisa dilihat dari beberapa aspek berikut ini:
Aspek pertama,
Bahwa merusak sumpah (janji) saja, menuntut adanya perang. Adapun hanya disebutkan di sini kalimat 'mencerca agama' saja, adalah sebagai pengkhususan dan penjelasan baginya, dikarenakan dia merupakan faktor pemicu peperangan yang paling dominan. Oleh karena itu, sanksi bagi seorang pencerca agama itu lebih berat daripada sanksi yang diberikan kepada para perusak agama yang lainnya, sebagaimana hal itu akan kita bicarakan.
Atau, penyebutan kalimat tersebut lebih sebagai penjelasan baginya dan juga keterangan tentang sebab terjadinya peperangan. Karena, mencerca agama adalah sebagai pemicu untuk memerangi mereka demi tegaknya kalimat Allah Swt . Sedangkan merusak sumpah (janji) terkadang menyebabkan terjadinya peperangan yang dipicunya sekadar untuk keberanian, pembelaan, dan riya.
Atau juga, penyebutan kalimat tersebut lebih disebabkan karena dialah yang mewajibkan peperangan dalam ayat tersebut, yaitu dengan firman Allah Swt , "Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu ...," dan dengan firman-Nya:
"Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama kali memulai memerangi kamu. Mengapa kamu takut kepada mereka, padahal Allah Swt-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang-orang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah Swt akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah Swt akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman," (at-Taubah : 13-14)
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa orang yang tidak berbuat apa pun, selain hanya merusak sumpah (janji)nya, tidak boleh diberi keamanan dan perjanjian. Dalam kitab asli tertulis jor (boleh), tetapi melihat makna yang terkandung pada ayat di atas mengindikasikan makna sebaliknya sebagaimana yang kami cantumkan di atas.
Sedangkan orang yang mencerca agama, wajib diperangi. Dan, hal ini merupakan sunnah Rasulullah, yaitu bahwa beliau pemah mengeksekusi mati (membunuh) orang yang telah memusuhi Allah Swt beserta Rasul-Nya dan mencerca agama. Jika merusak perjanjian saja bisa menyebabkan peperangan, sekalipun tanpa dibarengi bentuk cercaan, maka tentu diketahui bahwa mencerca agama itu menjadi sebab lain atau faktor yang mengakibatkan batalnya suatu perjanjian. Maka, sudah seharusnya cercaan terhadap agama ini mempunyai pengaruh (dampak) terhadap kewajiban perang. Jika tidak, maka penyebutannya di dalam ayat di atas terbilang sia-sia.
Jika cercaan tersebut mengharuskan adanya eksekusi atau hukuman mati terhadap orang yang tidak ada perjanjian di antara kita dan dia, maka tentunya membunuh orang yang ada perjanjian (dzimmah) di antara kita dan dia, di samping itu dia juga diharuskan tunduk, lebih utama; untuk lebih jelasnya akan dibahas nanti. Diwajibkan bagi seorang kafir mu'ahid untuk menampakkan di negerinya sendiri apa yang dia inginkan dari urusan agamanya yang tidak berbau memusuhi kita, sedangkan seorang kafir dzimmi tidak diwajibkan untuk menampakkan di negeri Islam sesuatu pun dari agamanya yang batil, dan jika dia tidak memusuhi kita, maka keadaannya lebih ditekankan lagi.
Aspek kedua,
Bahwa jika seorang kafir dzimmi telah berani mencaci Rasulullah , atau mencaci Allah Swt, atau telah berani mencela agama Islam secara terang-terangan, maka sungguh dia telah merusak sumpahnya dan mencerca agama kita. Karena, tidak ada perselisihan di antara kaum Muslimin bahwa dia harus diberi hukuman dan sanksi. Maka, nyatalah bahwa dia tidak pernah disumpah. Karena jikalau kita membuat perjanjian dengannya, lalu dia melakukan sumpah tersebut, maka dia tidak boleh dijatuhi sanksi. Dan, jika kita telah menyumpahnya untuk tidak mencerca agama kita, lalu dia mencerca agama kita, maka sungguh dia telah merusak sumpah (janji)nya karenanya, dan dia wajib dibunuh berdasarkan petunjuk nash (teks) ayat di atas. Dan, ini merupakan petunjuk yang sangat kuat dan bagus.
Syubhat: Jika dikatakan, bahwasanya tidak semua yang diperlihatkan secara terang-terangan tentang perkara yang dilarang kepada seseorang, secara otomatis bisa membatalkan perjanjiannya, seperti memperlihatkan khamr (meminum minuman keras secara terang-terangan), babi (makan babi secara terang-terangan), dan yang semisalnya?
Jawaban: Kami katakan, pada diri orang ini ditemukan dua hal, yaitu: apa yang menjadi larangan dari perjanjian tersebut terhadap dirinya, dan cercaan terhadap agama, berbeda dengan orang-orang tersebut. Karena, tidak ditemukan dari diri mereka, selain hanya mengerjakan apa yang dilarang kepada mereka cukup dengan janji saja. Sedangkan al-Quran mewajibkan untuk membunuh orang yang merusak (melanggar) sumpah janjinya setelah dia berjanji dan mencerca agama. Dan, mustahil dia disebut 'tidak melanggar', karena esensi pelanggaran adalah menyelisihi perjanjian. Ketika mereka menyelisihi salah satu dari perjanjian damai yang telah mereka sepakati, maka itu berarti pelangaran.
Aspek ketiga,
Bahwa Allah Swt telah menamakan mereka sebagai para pemuka orang-orang kafir dikarenakan telah mencerca agama. Dan, seorang pemuka orang-orang kafir adalah seorang yang menyeru kepada tindakan yang diikuti tersebut (yaitu: mencerca agama), dan dia menjadi pemimpin dalam kekufuran dikarenakan telah mengeluarkan cercaan ini. Sebenamya merusak perjanjian saja tidak mesti mengharuskan adanya sebutan tersebut, meskipun itu sangat pantas, karena mencerca agama adalah dia mencela dan mencemooh agama, dan mengajak untuk menyelisihinya.
Dan, yang demikian ini adalah tugas seorang pemimpin. Maka, nyatalah bahwa setiap orang yang mencerca agama adalah sebagai pemimpin dalam kekufuran. Jika seorang kafir dzimmi mencela agama, maka dia menjadi pemimpin dalam kekufuran, sehingga dia pun harus dibunuh, berdasarkan firman Allah Swt , "Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu ...," dan menjadi batal sumpahnya. Karena, dia telah bersumpah kepada kita untuk tidak mencela agama secara terbuka, apalagi menentangnya. Dan, yang dimaksud dengan sumpah di sini adalah janji, bukan sumpah demi Allah Swt seperti yang telah disebutkan oleh kalangan mufasirin.
Menjadi jelaslah, bahwa setiap orang yang mencerca agama kita setelah sebelumnya kita telah membuat perjanjian dengannya untuk tidak melakukan hal itu, maka dia adalah seorang pemimpin di dalam kekufuran dan tidak berlaku lagi sumpahnya. Sehingga, dia wajib dibunuh berdasarkan ayat di atas. Dengan demikian, terlihat dengan jelas perbedaan antara dirinya dengan seorang yang merusak atau melanggar janji yang bukan sebagai seorang pemimpin, yaitu seorang yang telah melanggar dengan melakukan sesuatu yang bukan merupakan cercaan terhadap agarna dari apa yang telah dibuat perjanjian damai dengannya.
Aspek keempat,
Allah Swt telah berfirman:
"Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama kali mamulai memerangi kamu ...." (at-Taubah: 13)
Di sini, Allah Swt menjadikan bentuk kekerasan mereka dengan mengusir Rasulullah ,sebagai salah satu faktor pendorong adanya perintah untuk memerangi mereka. Hal itu tidak lain, dikarenakan di dalamnya terkandung unsur permusuhan. Sementara di satu sisi, mencaci maki Rasulullah itu lebih berat dari sekadar kekerasan mereka untuk mengusir beliau, dengan dalil bahwa Rasulullah pada peristiwa Fathu Makkah telah memaafkan orang-orang yang pemah bersikeras mengusirnya, namun beliau tidak mau memaafkan orang-orang yang mencaci makinya. Jadi, jika temyata seorang kafir dzimmi telah secara terbuka mencaci maki Rasulullah, maka sungguh dia telah melanggar sumpah (janji)nya dan melakukan apa yang lebih berat daripada hanya bersikeras untuk mengusir dan menyakiti beliau, sehingga orang itu pun wajib dibunuh
Aspek Kelima ,
Bahwa firman Allah Swt :
"...dan (Allah Swt) akan melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang Mukmin." (at-Taubah: 14-15).
Ayat ini adalah sebagai dalil, bahwa kelegaan hati orang-orang Mukmin dari sakit hati yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap janji dan cercaan terhadap agama, juga hilangnya kedongkolan yang bergemuruh di dada mereka, itu adalah suatu hal yang dikehendaki dan diinginkan terjadi oleh Allah Swt, dan hal itu bisa tercapai dengan cara membunuh si pencaci maki tersebut dikarenakan beberapa faktor:
Pertama, bahwa menta'zir dan menjatuhkan sanksi terhadap si pencaci maki tersebut bisa menghilangkan kedongkolan hati mereka, jika temyata dia terbukti telah mencaci maki salah seorang dari kaum Muslimin atau melakukan hal yang sejenisnya. Jika kedongkolan hati mereka bisa dihilangkan pada saat si pencaci maki tersebut mencemooh Rasulullah ,maka kedongkolan mereka akibat cemoohan kepada Rasulullah ini, tentunya seperti kedongkolan mereka akibat cemoohan kepada salah seorang dari mereka, dan ini adalah pendapat batil.
Kedua, bahwa mencaci maki Rasulullah itu lebih berat sanksinya menurut mereka dibanding bila salah seorang dari mereka ada yang dibunuh. Jika ada yang membunuh salah seorang dari mereka, dan hal itu tidak bisa membuat hati mereka merasa lega selain harus membunuh si pembunuhnya, maka tentunya hati mereka lebih tidak akan merasa lega jika belum bisa membunuh si pencaci maki Rasulullah tersebut.
Ketiga, bahwa Allah Swt menjadikan perintah untuk memerangi mereka, itu sebagai sebab adanya kelegaan hati mereka. Dan, pada dasamya tidak ada sebab lain yang bisa mewujudkannya. Sehingga, membunuh dan memerangi mereka adalah sebagai satu-satunya obat untuk menenangkan hati mereka dari tindakan semacam itu.
Keempat, bahwa Nabi ketika menaklukkan kota Makkah dan ingin mengobati luka atau sakit hati Bani Khuza'ah dan mereka adalah kaum mukminin terhadap Bani Bakar yang telah memerangi mereka, maka beliau pun memenuhi ambisi atau dendam Bani Khuza'ah tersebut terhadap Bani Bakar pada waktu siang hari belong dengan disertai jaminan keamanan dari beliau terhadap seluruh penduduk kota Makkah yang lain. Kalau saja kelegaan hati mereka dan hilangnya kedongkolan yang ada di dalam hati mereka itu bisa dipenuhi dengan tanpa membunuh orang-orang yang telah melanggar sumpah perjanjian dan mencerca agama, maka pastilah beliau tidak melakukan hal itu dengan disertai jaminan keamanan beliau terhadap penduduk kota Makkah.
PASAL KEDUA:
Dalil al-Quran Tentang Kemurtadan Seorang Muslim Karena Mencaci Maki dan Kewajiban untuk Membunuhnya
Seorang Muslim menjadi kafir karena mencaci maki Allah, kitab-Nya, agama-Nya, atau rasul-Nya, dan dia pun wajib dibunuh menurut kesepakatan seluruh kaum Muslimin. Dan, sungguh banyak dalil di dalam al-Quran al-Karim yang telah menjelaskannya. Di antaranya, adalah:
Dalil Pertama:
Menyakiti Rasulullah merupakan bentuk perlawanan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedangkan perlawanan tersebut hukumnya kafir dan mengharuskan si pelaku dibunuh. Allah Swt berfirman:
"Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya. " Katakanlah, "la mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu." Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin. Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. " (at-Taubah: 61-63)
Adapun bahwa menyakiti Rasulullah sebagai bentuk perlawanan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, ditunjukkan oleh hal-hal berikut ini:
1. Bahwa jika orang-orang yang menyakiti Rasulullah tidak bisa dikatakan sebagai golongan orang-orang yang menentang atau melawan Allah Swt dan Rasul-Nya, maka tidak sepantasnya mereka diberi ancaman, yaitu bahwa balasan bagi seorang yang menentang adalah Neraka Jahanam. Karena, bisa saja dikatakan pada waktu itu, mereka telah mengetahui betul bahwa balasan bagi seorang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya adalah Neraka Jahanam, akan tetapi mereka tidak pernah menentang, melainkan hanya menyakiti, sehingga apa yang terkandung di dalam ayat ini bukan sebagai ancaman bagi mereka. Karena itu, telah diketahui bahwa tindakan semacam ini haruslah berada dalam lansekap keumuman istilah perlawanan atau penentangan itu, agar ancaman yang diarahkan kepada seorang penentang itu juga berlaku bagi seorang yang menyakiti Rasulullah Sampai di sini, maka pembicaraan pun menjadi sinkron.
2. Apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam Shahih-nya dengan isnad yang shahih: Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pemah berada dalam salah satu ruangan kamarnya, dan bersama beliau terdapat sejumlah kaum Muslimin, lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya akan datang kepada kalian seorang manusia yang akan melihat dengan mata setan. Maka, jika dia telah datang kepada kalian, janganlah kalian berbicara kepadanya. " Kemudian, datanglah seorang lelaki yang sinar matanya tajam, lalu Rasulullah pun memanggilnya dan bertanya, "Mengapa kamu bersama si fulan dan si fulan mencaci makiku?" Kemudian lelaki itu pun pergi dan memanggil kawan-kawannya, lalu bersumpah atas nama Allah Swt , dan memohon maaf kepada beliau. Dikeluarkan oleh Imam Hakim di dalam kitab 'al-Mustadrak1 dalam pembahasan kitab tafsir, (2/482). Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (1/267), dan telah disandarkan olem Imam Suyulhi di dalam 'ad-Durr al-Mantsuur' (8/85) kepada al-Bazzar, Ibnul Mundzir, Thabarani, Ibnu Abi hatim dan Baihaqi di dalam 'ad-Dalaail'. Di dalam isnadnya terdapat Simak bin Harb, dan dia adalah seorang yang jujur, hanya saja hapalannya berubah di akhir masa hidupnya. Ad-Daruquthni berkata: Jika dia menyampaikan hadits dari Syu'bah, ats-Tsauri dan Abul Ahwash, maka hadits-hadits mereka darinya (Simak bin Harb) adalah shahih, sedangkan jika hadits tersebut berasal dari riwayat Syarik dan Hafsh bin Jami', maka sebagian haditsnya ada yang munkar, namun isnadnya tetap shahih
Maka, Allah Swt menurunkan firman-Nya:
"(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta." (Al-Mujadalah: 18)
Setelah itu, Allah Swt berfirman lagi:
"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina." (Al-Mujadalah: 20)
Maka, diketahuilah bahwa tindakan semacam ini termasuk pula bentuk perlawanan. Sedangkan berkenaan dengan dalil bahwa perlawanan tersebut menyebabkan si pelakunya kafir dan harus dibunuh adalah:
Pertama, firman Allah Swt , "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina," (Al-Mujadalah: 20). Orang yang sangat hina ini jauh lebih rendah kedudukannya dari sekadar orang yang hina, dan dia tidak akan menjadi sangat hina sebelum dia merasa takut atau cemas terhadap keselamatan diri dan hartanya scwaktu dia menampakkan bentuk perlawanan ini. Sebab, jika darah dan hartanya sudah terjaga tak tersentuh, maka tidaklah dia menjadi sangat hina. Hal itu, dikarenakan seorang yang sangat hina adalah orang yang tidak punya kekuatan yang dengannya dia bisa melindungi dirinya dari tangan orang yang berniat jahat terhadapnya.
Jika memang dia punya ikatan janji dengan kaum Muslimin, maka semestinya kaum Muslimin dengan senang hati akan menolong dan melindunginya, sehingga dia tidak menjadi orang yang sangat hina. Dari sini, maka nyatalah bahwa orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, tidak punya ikatan perjanjian yang menjadi pcrlindungan baginya, sementara orang yang menyakiti Nabi sama dengan orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya. Maka, orang yang menyakiti Nabi juga tidak punya ikatan perjanjian yang bisa melindunginya.
Kedua, firman Allah Swt : "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan," (Al-Mujadalah: 5)
Kata al-kabt dalam ayat ini berarti penghinaan, peremehan, dan pengrusakan. Jadi, seorang yang menentang adalah seorang yang hina, rendah, cepat marah dan sedih, dan seorang yang rusak. Hal ini akan menjadi lengkap bila dia merasa takut dibunuh sewaktu menampakkan pcrlawanan tersebut. Jika tidak, maka orang yang memungkinkan baginya untuk menampakkan perlawanan, sedangkan dia merasa aman akan keselamatan darah dan hartanya, maka tidaklah dia seorang yang hina, melainkan dia adalah seorang yang merasa senang dan gembira.
Karena Allah Swt telah berfirman, "Pasti mereka mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan," (Al-Mujadalah: 5). Dan, orang-orang sebelum mereka dari golongan orang-orang yang menentang para rasul dan Rasulullah , sesungguhnya mereka telah dihinakan oleh Allah Swt dengan cara ditimpakan azab kepada mereka dari sisi Allah Swt atau melalui perantara tangan-tangan kaum Mukminin. Maka, orang-orang yang menentang akan dihinakan melalui kematian mereka yang disebabkan oleh kemarahan mereka.
Hal itu, mengingat mereka merasa khawatir bila mereka menampakkan apa yang ada di dalam hati mereka, maka mereka akan dibunuh, sehingga setiap penentang itu haruslah seperti demikian. Sedangkan seorang yang beriman tidak akan pemah dihinakan sebagaimana orang-orang yang mendustakan para rasul itu telah dihinakan.
Sesungguhnya Allah Swt telah memberitahu bahwa bagi seorang penentang adalah Neraka Jahanam dan dia akan kekal di dalamnya, dan Allah Swt tidak pemah mengatakan itu sebagai balasan bagi orang yang menyakiti Rasulullah. Dan di antara kedua konteks pembicaraan ini terdapat perbedaan. Hanya perlu diketahui di sini bahwa menentang (muhaaddah) sama dengan memusuhi (mu'aadah dan musyaaqqah), dan itu berarti kekufuran dan peperangan, dan dia lebih berat dari sekadar kekufuran.
Berarti orang yang menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya adalah seorang kafir dan musuh Allah Swt dan Rasul-Nya, dan juga seorang yang memerangi Allah Swt dan Rasul-Nya. Sebab, kata muhaaddah (menentang) adalah derivasi dari kata mubaayanah (melawan), yang mana masing-masing dari keduanya memiliki arti yang sama. Sebagaimana dikatakan bahwa musyaaqqah (memusuhi) itu berarti agar masing-masing bagiannya berada dalam satu kubu.
Kedua kata (muhaaddah dan musyaaqqah) sama-sama mempunyai arti pemutusan hubungan (muqaatha'ah) dan pemisahan diri (mufaashalah). Dan, itu berarti menuntut adanya pemutusan hubungan yang terjalin di antara semua pihak yang terlibat perjanjian (ahlul 'ahdi), jika ternyata salah satu pihak telah menentang pihak yang lain. Maka, tidak ada lagi ikatan bagi seorang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya.
Sungguh, al-Quran telah menjadikan balasan atas bentuk permusuhan tersebut dengan cara dibunuh dan disiksa di dunia.
Allah Swt berfirman:"
"... maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya ...." (Al-Anfal: 12-13)
Di sini Allah Swt memerintahkan untuk membunuh mereka dikarenakan oleh permusuhan dan penentangan mereka. Maka, setiap orang yang menentang dan memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya, itu wajib diberlakukan kepadanya syariat tersebut (dibunuh) karena adanya alasan semacam ini.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pemah ada seorang lelaki yang mencaci maki Nabi lalu beliau bersabda:
"Orang yang mencaci makiku adalah musuhku." Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Musftannaf-nya, (5/237, 307), dari Ibnu Jarir dari seorang lelaki dari Ikrimah (budaknya Ibnu Abbas). Di dalam isnadnya ada yang lemah (dha'if). Hal itu dikarenakan: (1) Hadits ini disampaikan oleh Ikrimah secara mursa/; (2) Tidak diketahui nama yang meriwayatkannya dari Ikrimah (di sini hanya disebut: seorang lelaki).
Dan, ini terlihat sangat jelas, sehingga orang tersebut pada waktu itu menjadi kafir yang halal darahnya, atau dengan kata lain halal dibunuh.
Hal itu berdasarkan kepada firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. " (Al-Mujadalah: 20)
Di dalam ayat-ayat tersebut di atas juga terdapat petunjuk tentang batalnya sumpah (Janji) seorang kafir dzimmi oleh karena dia telah mencaci, scbagaimana hal itu tidak samar lagi.
Dalil Kedua:
Hilangnya keimanan seseorang yang menyukai orang yang telah menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, lalu bagaimana dengan orang yang menentang itu sendiri?
Allah Swt berfirman:
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. " (Al-Mujadalah: 22)
Bukti dalilnya, jika seorang yang menyukai orang yang menentang itu saja bukanlah orang yang beriman, lalu bagaimana dengan orang yang menentang itu sendiri? Dan telah disepakati bahwa di antara sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Abu Qahafah telah mencaci maki Nabi, lalu Abu Bakar ash-Shiddiq bermaksud membunuhnya. Atau, bahwa Abdullah bin Ubay pemah mencela Nabi , lalu puteranya yang bemama Abdullah meminta izin kepada Nabi untuk membunuhnya.
Dari sini, maka nyatalah bahwa orang yang menentang itu adalah kafir yang halal dibunuh. Begitu pula, Allah Swt telah memutuskan hubungan antara kaum Mukminin dan orang-orang yang menentang serta memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah Swt telah berfirman,:
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya ...," (Al-Mujadalah: 22).
Allah Swt juga berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus." (Al-Mumtahanah: 1)
Dari sini, maka diketahui bahwa mereka bukanlah termasuk orang-orang yang beriman.
Dalil Ketiga:
Apa yang dinyatakan dalam beberapa ayat al-Quran bahwa mengejek (menertawakan) Allah Swt beserta ayat-ayat (firman)-Nya dan Rasul-Nya itu adalah kufur. Allah Swt berfirman:
"Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)." Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" [i]Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa."[/i] (at-Taubah: 64-66)
Bukti petunjuknya, bahwa ayat-ayat di atas menyatakan bahwa mengejek Allah Swt beserta ayat ayatNya dan Rasul-Nya itu adalah tindakan kufur. Maka, tentunya mencaci maki itu lebih kufur lagi. Begitu pula, ayat-ayat di atas juga menunjukkan bahwa setiap orang yang mencela Rasulullah baik itu dengan serius maupun bercanda, maka sungguh dia telah menjadi kafir.
Diriwayatkan dari beberapa ahli ilmu, di antaranya Ibnu Umar, Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Adam, dan Qatadah, yang mana hadits sebagian mereka ada yang masuk ke dalam hadits sebagian yang lainnya, yaitu bahwa pada perang Tabuk ada seorang lelaki dari kalangan munafik yang berkata, "Aku belum pemah melihat orang-orang seperti para ahli qira'at kami ini yang paling menyukai urusan perut, paling pendusta mulutnya, dan paling penakut sewaktu bertemu." yakni Rasulullah beserta para sahabatnya yang ahli qira'at Lalu 'Auf bin Malik pun berkata kepadanya, "Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah seorang munafik. Sungguh, aku akan laporkan kepada Rasulullah ."
Kemudian, 'Auf bergegas menghadap Rasulullah dengan menunggangi ontanya. Begitu sampai, dia pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bermain-main dan mengobrol bersama rombongan hanya untuk menghilangkan kepenatan perjalanan." Ibnu Umar berkata, "Seolah-olah aku melihatnya bergantung pada pelana onta Rasulullah, namun ada batu yang menghalangi kedua kakinya, dan dia pun berkata, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main."
Lalu Rasulullah berkata kepadanya: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" tanpa berpaling kepadanya, tak lebih. Mujahid berkata, salah seorang munafik berkata, Muhammad berkata kepada kami bahwa onta si fulan berada di lembah ini dan ini. Apa memang dia mengetahuinya melalui ke-ghaib-an? Lalu Allah Swt pun menurunkan ayat ini. Ma'mar bin Qatadah berkata, sewaktu Nabi berada di tengah perang Tabuk, sementara serombongan kaum munafik berjalan di depannya sambil berkata, "Apakah orang ini (Muhammad) mengira bisa menaklukkan istana-istana dan benteng-benteng pasukan Romawi?" Lalu, Allah Swt memberitahu-kan kepada Nabi-Nya atas apa yang telah mereka katakan, dan Nabi pun berkata, "Wajib bagiku untuk memanggil orang-orang tersebut. "4.4 Disampaikan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafeir-nya, yaitu tafsir ayat 66 dari surat at-Taubah. (2/368).
Lalu, beliau memanggil mereka dan bertanya, "Apakah kalian mengatakan begini dan begini?" Lalu, mereka pun bersumpah dan berkata, "Tidaklah kami melakukan hal itu, melainkan hanya sebatas bersenda gurau dan bermain- main." Ma' mar juga berkata, al-Kalbi pernah berkata, konon salah seorang dari mereka (kaum munafik) yang tidak ikut terlibat dalam pembicaraan berjalan sambil mencela mereka, lalu turunlah ayat :
"Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)," (at-Taubah: 66).
Di sini dinamakan dengan 'golongan', padahal sebenarnya hanya satu orang saja. Saat orang-orang tersebut mencela Nabi dengan cara mencelanya beserta para sahabatnya dan meremehkan pemberitaannya, maka Allah Swt pun memberitahukan bahwa mereka telah menjadi kafir karenanya. Jika mereka mengucapkan hal itu sebagai bentuk ejekan, lalu bagaimana dengan tindakan yang lebih parah dari itu? Akan tetapi, had (sanksi) terhadap mereka tidak pernah ditegakkan, dikarenakan perintah unruk memerangi ketika itu belum ditetapkan. Bahkan, yang diperintahkan adalah agar beliau membiarkan caci makian mereka itu, di samping memang beliau sendiri telah memaafkan orang-orang yang telah mencelanya dan menyakitinya.
Dalil Keempat:
Petunjuk al-Quran bahwa siapa saja yang mencela Nabi , berarti munafik. Allah Swt berfirman:
"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (at-Taubah: 58)
Allah Swt berfirman:
"Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah, "la mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang Mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman dl antara kamu." Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih." (at-Taubah: 61)
Kata al-lamzu dalam ayat ini berarti 'mencela dan mencerca'. Mujahid mengatakan artinya adalah 'menuduh dan menghinakanmu', sedangkan 'Atha mengatakan artinya adalah 'menggunjingmu'. Adapun sebagai petunjuknya, ayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mencela dan menyakitimu (Nabi ), termasuk golongan mereka (kaum munafik).
Hal itu, mengingat lafazh alladziina dan man adalah dua kata sambung (isim maushul) dan keduanya merupakan bentuk (sighat) umum. Ayat di atas walaupun sebab turunnya karena celaan terhadap suatu kaum dan penghinaan kepada golongan lain, namun hukum keduanya adalah umum seperti pada semua ayat-ayat yang turun berdasarkan adanya sebab (adbaabun nuzuul). Dan menurut sepengetahuan kami tidak ada perselisihan di antara para ulama, bahwa ayat-ayat tersebut berlaku umum bagi orang yang menyebabkan turunnya ayat tersebut dan juga orang-orang yang seperti keadaannya.
Adapun keadaan orang tersebut termasuk golongan kaum munafik, itu merupakan hukum yang berhubungan dengan lafazh yang merupakan derivasi (musytaq) dari kata 'mencela' (al-lamz) dan 'menyakiti' (al-adza), dan dia pun sangat pantas untuk menjadi golongan mereka. Sehingga, kata apa saja yang punya bentuk derivasi, menjadi sebab (illat) bagi hukum tersebut. Maka, hukumnya juga harus bersifat umum. Sesungguhnya Allah Swt, meskipun telah mengetahui kemunafikan mereka sebelum adanya ucapan ini, akan tetapi Nabi-Nya tidak pemah, mengetahui satu per satu orang yang tidak mau menampakkan kemunafikannya. Bahkan, Allah Swt di dalam surat yang sama berfirman:
"Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka." (at-Taubah: 101)
Selanjutnya, Allah Swt menguji orang-orang tersebut dengan berbagai hal yang bisa membedakan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik, sebagaimana Allah Swt berfirman:
"Dan sesungguhnya Allah Swt benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman; dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik." (al-Ankabut: 11)
Dan juga berfirman:
"Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)." (Ali Imran: 179)
Hal itu dikarenakan keimanan dan kemunafikan itu berasal dari dalam hati, sedangkan perkataan ataupun perbuatan yang tampak itu hanya sebagai cabang dan bukti akan isi hatinya. Jika terlihat pada diri seseorang salah satu unsur tersebut, maka tentu diberlakukan hukum (munafik) ini terhadapnya. Maka, ketika Allah Swt memberitahukan bahwa orang-orang yang mencela dan menyakiti Nabi itu berasal dari golongan orang-orang munafik, menjadi nyatalah bahwa itu sebagai dalil (bukti) atas bentuk kemunafikan dan sekaligus sebagai salah satu cabangnya.
Sudah diketahui, bahwa jika cabang dan dalil tentang sesuatu telah terjadi, maka berarti hukum asal yang menunjukkan kepadanya juga telah terjadi. Dari sini terlihat jelas, bahwa di mana saja tindakan mencela dan menyakiti Nabi itu berada, maka pasti pelakunya adalah seorang munafik, baik dia sudah menjadi munafik sebelum ucapannya tersebut atau dia menjadi munafik akibat ucapannya tersebut.
Syubhat (Sanggahan) : Jika dikatakan, mengapa ucapan ini tidak boleh menjadi dalil bagi Nabi atas kemunafikan orang-orang yang dengan lisan mereka sendiri telah mengucapkannya semasa beliau masih hidup, meskipun ucapan ini bukanlah sebagai dalil dari selain mereka?
Jawaban: Kami katakan, jika ucapan ini menjadi dalil bagi Nabi yang sebenarnya bisa saja Allah Swt mencukupkannya dengan wahyu-Nya tanpa harus mencari bukti, maka bagi orang yang tidak mampu mengetahui masalah-masalah yang batin tentunya itu menjadi lebih prioritas dan utama.
Kemudian, jika memang petunjuk tersebut tidak berlaku umum bagi semua orang yang mengatakan ucapan semacam ini, maka tentu di dalam ayat ini tidak pemah ada larangan untuk mengatakan ucapan semacam ini bagi orang-orang selain mereka, juga tidak pemah ada pengagungan terhadap ucapan itu sendiri. Karena, petunjuk mengenai diri seorang munafik, itu terkadang khusus bagi dirinya sendiri, meskipun sebenamya itu adalah perkara yang boleh-boleh saja.
Seperti jikalau di antara orang-orang munafik itu ada yang disebut sebagai 'pemihk onto merah' atau 'pemilik baju hitam' dan lain sebagainya. Ketika al-Quran menunjukkan tercelanya ucapan semacam itu dan ancaman terhadap pengucapnya. Maka, diketahui bahwa yang dimaksudkan al-Quran tidak hanya petunjuk mengenai orang-orang munafik itu sendiri, melainkan juga dalil tentang jenis orang-orang munafik.
Sesungguhnya ucapan semacam ini sangat pantas dihukumi munafik. Karena, mencela dan menyakiti Nabi tidak akan dilakukan oleh seseorang yang meyakini bahwa beliau adalah utusan Allah Swt yang sebenamya, juga bahwa beliau lebih mulia daripada dirinya sendiri, juga bahwa beliau tidak akan mengucapkan selain ucapan yang benar (al-haq) dan tidak akan menghukumi kecuali dengan adil, juga bahwa menaatinya itu semata-mata karena Allah Swt, dan juga bahwa wajib bagi seluruh makhluk yang ada untuk mengagungkan dan memuliakannya. Jika ucapan semacam ini bisa menjadi dalil atas kemunafikan itu sendiri, maka di manapun ucapan ini terjadi, tentu di situlah kemunafikan terjadi.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa ucapan semacam ini sangat diharamkan. Dia bisa berbentuk dosa yang tidak berakibat pada kekufuran dan bisa pula berupa kekufuran. Yang pertama dinyatakan batil, karena Allah Swt telah menyebutkan di dalam al-Quran berbagai golongan pelaku maksiat dari mulai pezina, penuduh zina (qaadzif), pencuri, orang yang curang dalam takaran (muthaffif), dan pengkhianat, namun Allah Swt tidak pernah menjadikan hal-hal yang demikian itu sebagai dalil atas kemunafikara secara tertentu maupun mutiak. Ketika para pelontar ucapan-ucapan semacam ini dikategorikan sebagai golongan orang-orang munafik, maka dari situ bisa diketahui bahwa yang demikian itu dikarenakan ucapan semacam ini lebih sebagai bentuk kekufuran, bukan sekadar sebagai kemaksiatan semata.
Hal itu, karena mengkhususkan sebagian perbuatan maksiat dan bukan sebagian lainnya, dengan menjadikannya sebagai dalil atas suatu kemunafikan, tidak akan terjadi sebelum dalil mengenai kemunafikan itu hanya khusus dengan hal-hal yang bisa menimbulkan sifat munafik tersebut. Jika tidak, maka setidaknya dalil tersebut sebagai bentuk pengunggulan yang tanpa tertandingi (tarjiih bilaa murajjah). Dari sini tampak nyata bahwa seharusnya ucapan-ucapan semacam ini hanya khusus dengan sifat yang bisa menjadikannya sebagai dalil tentang kemunafikan akibat suatu kekufuran. Dan, manakala yang terjadi seperti demikian, maka itu tidak lain adalah kekufuran. Sesungguhnya Allah Swt telah menyebutkan beberapa ayat yang dengannya Allah Swt menjadikan mereka sebagai golongan orang-orang munafik, yaitu firman-Nya:
"Di antara mereka ada yang berkata, "Berilah saya keijinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah." (at-Taubah: 49)
Juga, firman-Nya sebelum ayat tersebut:
"Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, tidak akan meminta ijin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertaqwa. Sesungguhnya yang meminta ijin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya" (at-Taubah: 44-45)
Dalam ayat ini, Allah Swt, tanpa diragukan lagi telah menjadikan keengganan orang ini untuk berjihad bersama Rasulullah setelah sebelumnya meminta agar tidak dilibatkan di dalamnya, juga pengakuan seorang yang bisa berdiri bahwa dia sudah tidak sanggup lagi berdiri, padahal alasan yang sebenamya dia tidak mau ikut berperang. Sebagai salah satu simbol umum akan hilangnya keimanan. Maka, tentunya celaan dan penyiksaan yang dilakukannya lebih layak untuk menjadi sebuah dalil umum, dikarenakan yang pertama sebagai penghinaan, sedangkan yang kedua sebagai permusuhan terhadap Nabi , dan hal ini sangat jelas sekali.
Secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang yang mencela dan menyakiti Nabi termasuk golongan mereka (yakni: orang-orang munafik), mengingat dhamir (kata ganti) 'hum' sebagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas ditujukan kepada orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Maka, ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang di-dhamir- kan di sini adalah orang-orang yang telah mengingkari Allah Swt dan Rasul-Nya. Dan, sungguh orang yang mencela dan menyakiti Nabi telah dikelompokkan sebagai golongan mereka.
Al-Quran telah menyatakan kekufuran orang-orang munafik di dalam banyak tempat, dan menjadikan mereka sebagai golongan orang-orang kafir yang paling buruk keadaannya. Selain itu, al-Quran juga menegaskan bahwa mereka nanti berada di neraka yang paling dasar, dan bahwa mereka pada Hari Kiamat nanti akan berkata kepada orang-orang yang beriman:
"Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahaya-mu." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luamya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, "Bukankan kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka menjawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir." (Al-Hadid: 13-15)
Akhimya, Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya agar tidak menshalati jenazah salah seorang dari mereka dan memberitahukan bahwa Dia tidak akan pemah mengampuni dosa-dosa mereka. Sebaliknya, Dia memerintahkan kepada Nabi-Nya agar memerangi mereka, dan memberitahukan bahwa jika mereka tidak mau berhenti dari kemunafikan mereka, niscaya Allah Swt akan menyuruh Nabi-Nya untuk menghabisi mereka sampai-sampai mereka boleh dieksekusi di sembarang tempat.
Dalil Kelima:
Petunjuk dari berbagai ayat dalam al-Quran bahwa berpaling dari hukum Rasulullah , dan sebaliknya menghendaki untuk berhukum kepada yang selainnya. Itu merupakan bentuk kekufuran dan kemunafikan. Lalu, bagaimana dengan hukum mencaci maki dan mencela beliau? Allah Swt berfirman :
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)
Bukti petunjuknya, sesungguhnya Allah Swt telah bersumpah atas nama Dzat-Nya bahwa mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan Nabi sebagai hakim dalam berbagai persengketaan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka tcrhadap putusannya, bahkan secara zahir dan batin, mereka dengan senang hati menerima putusannya. Pada ayat sebelumnya, Allah Swt berfirman:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahaJ mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu tthat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa: 60-61)
Di sini, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang diajak untuk berhukum kepada kitab Allah Swt dan sunnah Rasul-Nya, lalu temyata dia malah menentang Rasul-Nya, maka dia dicap sebagai seorang munafik. Lalu, bagaimana dengan hukum mencela Nabi , mencacinya dan yang sejenisnya? Allah Swt berfirman:
"Dan mereka berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami pun ta'at," Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman." (an-Nur: 47)
"Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul mengadili di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit; atau (karena) mereka ragu-ragu atau (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka. Sebenamya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadiii di antara mereka, ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (an-Nur: 48-51)
Dalil petunjuknya adalah sesungguhnya Allah Swt telah menjelaskan di sini, bahwa orang yang tidak patuh terhadap Rasulullah, dan sebaliknya, berpaling dari hukumnya, itu termasuk golongan orang-orang munafik, dan dia bukanlah seorang yang beriman. Allah Swt juga menjelaskan, bahwa seorang yang beriman adalah orang yang mengucapkan, "Kami mendengar dan kami patuh." Jika kemunafikan bisa muncul, dan sebaliknya, keimanan bisa hilang dengan hanya berpaling dari hukum Rasulullah dan dengan menghendaki untuk berhukum kepada selainnya, padahal yang demikian ini hanya berupa pengabaian semata, dan terkadang disebabkan oleh kuatnya hawa nafsu, lalu bagaimana dengan hukum mencela Nabi , mencacinya dan yang sejenisnya?
Hal itu diperkuat oleh riwayat yang menyebutkan bahwa dua orang lelaki yang saling bertikai menghadap kepada Nabi. Di-takhrij oleh Imam Suyuthi di dalam ad-Durr al-Mantsuur, (2/180), dan beliau menyandarkannya kepada Abu Hatim ar-Razi dan Ibnu Mardawaih. Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya (1/351) berkata, hadits ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Mardawaih dari jalur Ibnu Abi Lahi'ah, dan riwayat ini merupakan sebuah atsar yang gharib lagi mursal. Sedangkan Ibnu Abi Lahi'ah sendiri dinyatakan lemah (dha'if)., lalu beliau memutuskan pihak yang benar atas pihak yang salah. Kemudian, pihak yang dikalahkan tersebut mengatakan ketidakpuasannya. Lalu rivalnya pun berkata, "Apa sebenamya yang kamu inginkan?!" Dia pun menjawab, "Hendaknya kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq." Maka, pergilah keduanya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu pihak yang dimenangkan itu pun bercerita kepadanya, "Kami membawa pertikaian kami ke hadapan Nabi , lalu beliau memenangkan saya atas dia." Lalu Abu Bakar pun berkata, "Kalian harus menerima apa yang telah diputuskan oleh Nabi " Akan tetapi, pihak yang dikalahkan tetap saja tidak merasa puas dan berkata, "Kita mesti mendatangi Umar bin Khattab."
Lalu, pihak yang menang itu pun bercerita lagi, "Kami telah membawa pertikaian di antara kami kepada Nabi , lalu beliau memenangkan saya atas dia. Namun, dia ini tidak mau menerima putusannya. Lalu, kami pun mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq dan beliau berkata, 'Kalian harus menerima apa yang telah diputuskan Nabi ,' tapi dia masih bersikeras untuk tidak mau terima." Lalu Umar pun bertanya kepada orang yang tidak puas tadi dan dia pun menjawabnya.
Selanjutnya, Umar masuk ke dalam rumah untuk kemudian keluar dengan menghunus sebilah pedang, lalu menghujamkannya ke arah kepala orang yang tidak mau menerima putusan Nabi tersebut. Sehingga, akhimya Allah Swt menurunkan ayat:
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)
Hukum riwayat ini mursal, namun dikuatkan oleh riwayat lain dari jalur berbeda yang cukup layak untuk digunakan sebagai petunjuk.
Dalil Keenam:
Petunjuk dari berbagai ayat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa orang yang telah menyakiti Rasulullah berarti dia juga telah menyakiti Allah. Dan, hal itu tanpa diperdebatkan lagi merupakan bentuk kekufuran. Allah Swt berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (al-Ahzab: 57-58)
Adapun petunjuknya bisa dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya:
Pertama. Allah Swt di dalam ayat ini telah menyertai penentangan terhadap Nabi dengan siksaan-Nya, sebagaimana Dia telah menyertakan ketaatan kepadanya (Nabi) dengan ketataan kepada-Nya. Jadi, barangsiapa yang telah menyakiti Nabi , berarti dia telah menyakiti Allah Swt , dan hal itu telah ditetapkan di dalam ayat ini. Lalu, barangsiapa yang telah menyakiti Allah Swt , berarti dia seorang kafir yang halal darahnya.
Hal itu diperjelas lagi bahwasanya Allah Swt telah menjadikan kecintaan kepada-Nya dan Rasul-Nya, juga mencari ridha-Nya dan Rasul-Nya, serta menaati-Nya dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang tunggal. Allah Swt telah berfirman:
"Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan / keputusan-Nya." Dan Allah tidak member/ petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (at-Taubah: 24)
Dalam beberapa tempat yang berbeda, Allah Swt berfirman, di antaranya:
"Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat" (Ali Imran: 132)
"Padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin." (at-Taubah: 62)
Lalu Allah Swt dengan cara menunggalkan dhamir (kata ganti)nya-juga telah berfirman. Begitu pula, Allah Swt telah menjadikan permusuhan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, juga penentangan terhadap-Nya dan Rasul-Nya, dan kedurhakaan terhadap-Nya dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang tunggal. Allah Swt telah berfirman:
"(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfat: 13)
"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. " (al-Mujadalah: 20)
"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah Swt dan rasul-Nya." (an-Nisa: 14)
Di dalam ayat ini dan yang lainnya terdapat penjelasan tentang saling keterikatan antara dua hak (Allah Swt dan Rasul-Nya), dan bahwa bentuk pemuliaan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya itu merupakan bentuk yang tunggal. Maka, barangsiapa yang telah menyakiti Rasulullah berarti dia telah menyakiti Allah Swt. Dan sebaliknya, barangsiapa yang telah menaati (perintah) beliau, berarti dia telah menaati (perintah) Allah Swt.
Hal itu, karena umat Islam tidak bisa melakukan shalat antara mereka dan Rabb mereka kecuali dengan perantara Rasulullah , dan tidaklah salah seorang mereka mempunyai cara dan sebab yang selainnya. Sungguh, Allah Swt telah memposisikan beliau pada posisi-Nya dalam hal perintah, larangan, pemberitahuan dan penjelasan-Nya. Maka, tidak boleh membedakan antara Allah Swt dan Rasul-Nya dalam salah satu dari semua hal ini.
Kedua, Allah Swt membedakan antara orang yang menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya dan antara orang yang menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat. Maka, terhadap tindakan yang terakhir ini, Allah Swt menjadikan orang tersebut telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata, sementara pada tindakan yang pertama Dia menimpakan laknat terhadap orang tersebut di dunia dan akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Diketahui bahwa menyakiti kaum Mukminin terkadang digolongkan ke dalam dosa-dosa besar dan mengharuskan pelakunya didera. Dan, tidak ada yang melebihi dosa tersebut selain melakukan kekufuran dan membunuh.
Ketiga, Sesungguhnya Allah Swt di sini menuturkan bahwa Dia telah melaknat mereka di dunia dan akhirat, dan menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan. Melaknat artinya menjauhkan mereka dari rahmat-Nya,dan barangsiapa yang Dia jauhkan dari rahmat-Nya di dunia dan akhirat, maka tidak lain dia adalah seorang yang kafir. Sedangkan seorang Mukmin pada beberapa kesempatan akan didekatkan kepada rahmat-Nya dan tidak dihalalkan darahnya. Karena, suntikan darah ini merupakan rahmat yang amat besar dari Allah Swt , sehingga orang yang dilaknat tersebut tidak berhak mendapatkan suntikan darah ini. Hal itu diperkuat oleh firman Allah Swt :
"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)
Dalam ayat ini, 'penangkapan dan pembunuhan terhadap mereka' sebagai penjelasan sifat 'pelaknatan terhadap mereka' dan sebagai penyebutan hukumnya. Maka, dia tidak memiliki kedudukan i'rab dan tidak pula sebagai bentuk 'haal' yang kedua. Karena, jika mereka menjadi tetangga Nabi dalam keadaan terlaknat, lalu tidak tampak adanya dampak pelaknatan terhadap mereka di dunia, maka berarti di situ tidak ada ancaman terhadap mereka, padahal laknat tersebut nyata sebelum dan setelah adanya ancaman ini.
Maka, sudah seharusnya penangkapan dan pembunuhan ini menjadi salah satu dampak pelaknatan yang telah diancamkan kepada mereka. Sehingga, penangkapan dan pembunuhan ini menjadi hak orang yang telah dilaknat oleh Allah Swt di dunia dan akhirat. Hal itu juga diperkuat oleh firman Allah Swt :
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepadajibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya." (an-Nisa: 51-52)
Seandainya orang tersebut dilindungi darah atau keamanannya, niscaya wajib bagi kaum Muslimin untuk menolongnya dan dia pun berhak mempunyai penolong. Diperjelas lagi, bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan laknat terhadap Ibnu al-Asyraf, yang di antara laknat tersebut adalah dia dibunuh karena telah menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya.
Syubhat (bantahan/sanggahan) Tentang Adanya Laknat Terhadap Orang yang Tidak Boleh Dibunuh. Ketahuilah, sesungguhnya hal ini tidak disangkal lagi bahwa Allah telah melaknat orang yang tidak boleh dibunuh. Hal itu lebih dikarenakan bcberapa faktor berikut ini:
Pertama, bahwa berkaitan dengan orang ini telah dikatakan, "Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat." Maka, di sini Allah menjelaskan bahwa Dia telah menjauhkan orang tersebut dari rahmat-Nya di dunia dan akhirat. Dan, berkenaan dengan seluruh orang yang terlaknat, sebenarnya telah dikatakan pula, "Allah akan melaknatinya," atau, "kepadanya laknat Allah." Hal itu terrealisir dengan dijauhkannya mereka dari rahmat Allah dalam beberapa kesempatan. Hanya saja, Allah membedakan antara orang yang dilaknati-Nya atau yang kepadanya ditimpakan laknat yang abadi dan bersifat umum dan membedakan antara orang yang telah dilaknatnya dengan laknat yang mutiak.
Kedua, bahwa seluruh orang-orang yang telah dilaknat oleh Allah di dalam kitab-Nya semisal orang-orang yang menyembunyikan sesuatu dari al-Kitab yang telah diturunkan oleh Allah , juga semisal orang-orang zalim yang merintangi dakwah di jalan Allah (fi sabilillah) dan sebaliknya menghendaki jalan tersebut menjadi bengkok, dan juga semisal orang yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja itu bisa jadi dia seorang kafir atau seorang yang dihalalkan darahnya. Berbeda dengan sebagian orang yang telah dilaknat dalam Sunnah Rasulullah .
Ketiga, bahwa ungkapan (sighat) ini sebagai pemberitahuan tentang laknat Allah terhadapnya. Oleh karena itu, kalimat, "... dan Dia menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan. " di-'athaf-kan atau disertakan kepadanya. Scdangkan seluruh orang-orang terlaknat yang tidak boleh dibunuh dan tidak menjadi kafir, sebenarnya mereka telah dilaknat dalam bentuk ungkapan doa, semisal sabda Nabi :
"Semoga Allah melaknat orang yang telah merubah penunjuk jalan. " Imam Muslim dalam pembahasan tentang hewan kurban, (3/1567); Nasa'i (7/232); dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/108). "Semoga Allah melaknat seseorang yang mencuri. " Imam Muslim dalam pembahasan sanksi (hudud) (3/1314); dan Ibnu Majah (2/862). Dan: “Semoga Allah melaknat pemakan hasil riba dan pemberinya." Imam al-Bukhari dalam pembahasan tentang jual beli (4/314); Imam Muslim dalam pembaahasan tentang Musaaqah (3/1219); dan At-Tirmidzi (3/513). Dan lain sebagainya. Akan tetapi, pemyataan semacam ini dibantah oleh firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar." (an-Nur: 23)
Karena, dalam ayat ini Allah menyebutkan laknat terhadap mereka itu terjadi di dunia dan akhirat, mengingat sekadar menuduh berzina saja itu tidak bisa dikatakan sebagai kekufuran dan juga tidak sampai menghalalkan darah si penuduhnya.
Sedangkan jawaban terhadap kedua ayat ini melalui dua cara, yaitu secara global (mu/ma/) dan secara terperinci (mufasshal). Adapun jawaban secara global (mujmal), adalah bahwa menuduh berzina seorang Mukmin saja merupakan salah satu hal yang bisa menyakitinya, dan jika temyata dia berbohong, maka itu adalah suatu kebohongan yang sangat besar. Sebagaimana Allah telah berfirman
"Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantos bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar. " (an-Nur: 16)
Sungguh, al-Quran telah menetapkan perbedaan antara menyakiti Allah dan Rasul-Nya dan antara menyakiti kaum Mukminin. Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. " (al-Ahzab: 57-58)
Maka, sebatas menyakiti kaum Mukminin tanpa haq saja tidak boleh . dijadikan sebagai penyebab adanya laknat Allah di dunia dan akhirat dan turunnya siksa yang menghinakan. Sebab, jikalau demikian adanya, berarti tidak dibedakan antara menyakiti Allah dan Rasul-Nya dan antara menyakiti kaum Mukminin, dan juga tentunya laknat Allah tersebut tidak dikhususkan bagi orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Namun, di sini balasan bagi orang yang menyakiti kaum Mukminin adalah bahwa dia akan menanggung kebohongan dan dosa yang sangat nyata. Sebagaimana firman Allah dalam tempat yang berbeda:
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (an-Nisa: 112)
Sedangkan jawabannya secara terperinci bisa melalui tiga aspek: Aspek pertama, bahwa ayat ini turun berkaitan dengan istri-istri Nabi menurut pendapat mayoritas ulama. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas pemah menafsirkan surat an-Nur. Ketika beliau sampai pada ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar," (an-Nur: 23), beliau berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan 'Aisyah beserta para istri Nabi pada khususnya, dia masih berbentuk samar (mubham) dan tidak ada taubat (pengampunan dosa) di dalamnya.
Sedangkan bagi orang yang menuduh berzina terhadap seorang wanita Mukminah, sungguh Allah telah memberikan pintu taubat baginya." Lalu, beliau (Ibnu Abbas) membaca ayat, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)." (an-Nur: 4-5).
Maka, orang-orang yang tersebut dalam ayat ini masih diberi pintu taubat, sedangkan orang-orang yang tersebut dalam ayat sebelumnya (an-Nur: 23) tidak diberi kesempatan untuk bertaubat. Selanjutnya Ibnu Abbas bercerita, kemudian seorang lelaki pun bergegas untuk berdiri, lalu mengecup kepalanya karena terkagum atas apa yang telah beliau tafsirkan.
Ibnu Abbas , telah menjelaskan bahwa ayat ini (an-Nur: 23) turun hanya berkaitan dengan orang yang menuduh 'Aisyah berzina beserta para istri Nabi lainnya, mengingat menuduh mereka berzina itu sarna dengan mencerca dan mencela Nabi sendiri. Karena, menuduh seorang istri berzina berarti menyakiti suaminya, sebagaimana hal itu juga menyakiti anaknya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abul Jauza' berhubungan dengan ayat ini, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat." (an-Nur: 23). Beliau berkata, ayat ini hanya khusus bagi Ummahatul Mukminin (para istri Nabi ).
Bukti dalilnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, yaitu bahwa laknat Allah di dunia dan akhirat itu tidak terjadi hanya cukup dengan dosa karena menuduh orang lain berzina (qadzaf). Sehingga, huruf 'a/' dalam firman Allah , "Wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman," ini untuk me-ma'rifah-kan yang bersangkutan, dan mereka adalah para istri Nabi , mengingat pembicaraan di sini seputar hadits al-ifk (dusta) dan peristiwa yang menimpa Ummul Mukminin, 'Aisyah , atau tentang pembatasan lafazh umum hanya kepada sebabnya saja, mengingat adanya dalil yang mengharuskan hal itu.
Pendapat ini diperkuat lagi, bahwa Allah telah mengurutkan ancaman ini atas tuduhan berbuat zina kepada para wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, dan Dia telah berfirman di awal surat, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) danmereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera." (an-Nur: 4).
Di sini, Allah mengurutkan hukuman dera, penolakan kesaksian dan kcfasikan hanya scmata-mata karena menuduh para wanita yang baik-baik berbuat zina. Maka, sudah semestinya jika para wanita yang baik-baik, yang Icngah lagi beriman memiliki keistimewaan atas para wanita yang baik-baik saja. Hal itu dikarenakan para istri Nabi tidak diragukan lagi keimanan mereka, mengingat mereka adalah Ummahatul Mukminin (ibunya kaum Mukminin), di samping mereka adalah para istri Nabi di dunia dan akhirat.
Sedangkan kebanyakan para wanita Muslimat biasanya hanya diketahui keimanan mereka secara zahir saja. Ketahuilah, bahwa ayat ini (an-Nur: 4) juga menjadi hujjah seperti halnya ayat tersebut (an-Nur: 23) berdasarkan pendapat ini. Karena, ketika menuduh para istri Nabi itu sama saja dengan menyakti Nabi , maka tentu pelakunya juga dilaknat di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, "Di dalamnya tidak ada taubat." Karena, seorang yang menyakiti Nabi itu tidak diterima taubatnya, sewaktu dia bertaubat dan menuduh tersebut, sehingga dia hams masuk Islam mulai dan awal lagi. Atas dasar inilah, maka menuduh para istri Nabi telah berbuat zina adalah bentuk kemunafikan yang bisa menghalalkan darah si pelakunya, jika dengan menuduh itu dia bermaksud menyakiti Nabi , atau bermaksud menyakiti para istri Nabi karena mengetahui bahwa mereka adalah para istri Nabi di akhirat nanti. Sesungguhnya tidak seorang pun istri Nabi yang dilaknat.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa menuduh mereka berbuat zina sama saja menyakiti Nabi , adalah hadits al-ifk yang telah ditakhrij oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam ash-Shahiihain dari Aisyah yang berkata: "Lalu Rasulullah pun berdiri dan merasa berhalangan untuk membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul. Kemudian Rasulullah berkhutbah di atas mimbar:
"Wahai kaum Muslimin, siapakah yang mau memaafkanku terhadap seseorang (maksudnya: Abdullah bin Ubay bin Salul) yang menyakitiku dalam urusan keluargaku?! Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui keluargaku selain kebaikan, dan sungguh mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang tidak kuketahui selain orang yang baik, dan dia tidak pernah menemui keluargakau kecuali bersamaku."9 .Lalu, Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari berdiri seraya berkata, "Aku memaafkanmu dari orang tersebut, wahai Rasulullah, jika dia berasal dari suku Aus, maka kami pasti telah memenggal lehemya, dan jika dia berasal dari suku Khazraj yang merupakan saudara-saudara kami, maka cukup engkau memerintahkan kepada kami, niscaya akan kami laksanakan perintahmu."
9.D\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab asy-Syahadat (5/294, 319), hadits no. 2637, 2661; Imam Muslim di dalam kitab at-Taubah, (4/2133); dan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (6/196).
Perkataan Nabi H'man yu'dzirunii" di sini berarti, "Siapakah yang mau memperlakukanku secara adil dan memaafkanku jika aku berlaku adil terhadap orang tersebut ketika dia menyakitiku dalam urusan keluargaku sedangkan Allah berada di pihak keluargaku?" Di sini, nyatalah bahwa Nabi sangat tersakiti dengan tindakan orang tersebut, namun beliau merasa berhalangan untuk membunuhnya. Lalu, kaum Mukminin yang tidak terbawa arus berkata, "Perintahkanlah kepada kami, niscaya kami akan memenggal leher mereka, karena kami akan memaafkanmu jika engkau memerintahkan kami untuk memenggal leher mereka." Dan, Nabi tidak melarang Sa'ad ketika dia minta diperintahkan untuk memenggal leher para pemfitnah tersebut. Dan, beliau bersabda, "Sesungguhnya kamu akan dimaafkan jika melakukan hal itu. "
Syubhat Bahwa Sebagian Orang-Orang yang Terlibat dalam Haditsul Ifk Tidak Pernah Dibunuh dan Dihukumi Munafik. Persoalan yang tersisa adalah bahwa di antara orang-orang yang terlibat dalam hadits al-ifk ini ada yang bemama Misthah, Hassan, dan Hirnnah, dan mereka ini tidak pemah dihukumi munafik, di samping Nabi sendiri tidak pemah membunuh seorang pun karena sebab ini. Hanya saja, terjadi perselisihan dalam hal hukuman dera terhadap mereka.
Jawaban: Bahwa orang-orang tersebut tidak pemah bermaksud menyakiti Nabi , dan tidak pemah terlihat adanya bukti mereka mcnyakitinya. Maksudnya, tidak pernah ada, baik melalui ucapan maupun tindakan mereka, yang menunjukkan bahwasanya mereka bermaksud menyakiti Nabi . Akan tetapi, maksud semacam itu ada pada diri Ibnu Ubay. Kemudian, barangsiapa yang menuduh para istri Nabi berbuat zina setelah tahu mereka adalah para istri Nabi di akhirat nanti, maka dia adalah seorang kafir lagi zindiq yang sungguh bermaksud menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Berbeda dengan Ibnu Ubay yang sebenarnya hanya bermaksud menyakiti Nabi. Kemudian, pada waktu itu mereka belum pernah tahu bahwa istri-istri beliau di dunia adalah mereka yang menjadi istri-istri beliau di akhirat nanti, di samping peristiwa semacam itu secara rasio mungkin saja terjadi pada istri-istri Nabi . Karena itu, Nabi memilih sikap diam dalam menanggapi masalah ini hingga beliau meminta pendapat Ali dan Zaid, dan bahkan sampai bertanya kepada Barirah. Lalu, Nabi tidak mau memvonis munafik orang-orang yang tidak pemah bermaksud menyakiti beliau, karena mungkin saja beliau menceraikan istrinya yang tertuduh itu (dalam hal ini adalah Aisyah). Adapun setelah nyata bahwa mereka adalah para istri beliau di akhirat nanti, dan bahwa mereka adalah Ummahatul Mukminin (ibu bagi kaum Mukminin), maka menuduh mereka berbuat zina berarti sama saja menyakiti beliau dalam keadaan apa pun. Karena itu, tidak boleh terjadi perzinaan dengan mereka, sebab hal itu berarti membolehkan Nabi tinggal serumah atau berumah tangga dengan seorang wanita pelacur, dan juga berarti ibu bagi kaum Mukminin dicap sebagai pelacur, dan yang semacam ini adalah batil. Oleh karena itu, Allah berfirman:
"Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman." (an-Nur: 17)
Aspek kedua, bahwa ayat ini (an-Nur: 23) berlaku umum. Adh-Dhahhak berkata, yang dimaksud dengan 'wanita-wanita' di dalam firman Allah , "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)." (an-Nur: 23), adalah para istri Nabi saja. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa wanita-wanita tersebut adalah para istri kaum Mukminin secara umum. Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, "Menuduh para wanita yang baik-baik termasuk di antara hal-hal yang bisa menyebabkan adanya laknat Allah di dunia dan akhirat dan turunnya azab (siksa) yang sangat besar. Kemudian beliau membacakan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)."
Dan ini adalah pendapat kebanyakan orang dan zahir dari khitab Allah di sini, yaitu bahwa ayat ini berlaku umum bagi seluruh istri kaum Mukminin. Sehingga, ayat ini hams diberlakukan secara umum, karena tidak ada alasan yang bisa membuatnya berlaku khusus bagi para istri Nabi. Dan berdasarkan kesepakatan ulama, ayat ini tidak hanya terkhusus pada sebabnya saja. Hal itu, karena memberlakukannya terhadap seluruh istri Nabi|, selain Aisyah, termasuk bentuk keumumannya, mengingat pemberlakuan hukum tersebut bukan merupakan sebab turunnya ayat ini.
Selain itu, juga karena lafazh yang dipakai di sini berbentuk jamak (plural), sedang sebab turunnya hanya berkenaan dengan satu orang saja (yakni: Aisyah). Di samping itu, juga karena membatasi keumuman ayat-ayat al-Quran hanya pada sebab-sebab turunnya semata, itu adalah suatu kesalahan. Sebab, kebanyakan ayat-ayat al-Quran turun dengan sebab-sebab yang menuntut keumumannya. Dan sebagaimana sudah diketahui, bahwa tidak ada satu pun ayat al-Quran yang dibatasi pemberlakuannya hanya pada sebab turunnya semata.
Perbedaan antara kedua ayat (an-Nur: 4) dan (an-Nur: 23) adalah bahwa ayat yang pertama menyebutkan sanksi-sanksi yang diberlakukan kepada para penuduh yang sudah mukallaf berupa hukuman dera, penolakan kesaksian dan pem-fasikan. Sedangkan ayat kedua menjelaskan tentang hukuman yang berasal langsung dari Allah, yaitu turunnya laknat Allah di dunia dan akhirat dan juga siksa yang sangat besar.
Terdapat riwayat yang tidak sedikit dari Nabi dan dari para sabahatnya, bahwa menuduh para wanita yang baik-baik berbuat zina termasuk salah satu dosa besar. Dan redaksi yang ada dalam ash-Shahih adalah, "Menuduh para wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman.” Sebagian ulama ada yang menakwilkan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)," kepada makna ini, untuk selanjutnya mereka berselisih pendapat sebagai berikut; Fathul Ban, pembahasan tentang wasiat, (5/462), hadits no. 2766. D\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam pembahasan tentang iman, (1/92). Abu Daud dalam pembahasan tentang wasiat, hadits no. 2874.
Abu Hamzah ats-Tsumali berkata, "Kami mendengar bahwa ayat ini turun di tengah orang-orang musyrik di Makkah, yaitu jika seorang wanita keluar dari Makkah untuk berhijrah ke Madinah guna menghadap Rasulullah, maka orang-orang musyrik dari penduduk Makkah menuduhnya telah berbuat zina, dan mereka mengatakan bahwa wanita tersebut keluar dari Makkah hanya untuk berzina.
Berdasarkan hal inilah, orang yang telah menuduh para wanita Mukminat berbuat zina yang akhimya menghalangi mereka untuk beriman kepada Nabi , sementara di balik itu dia bermaksud mencela kaum Mukminin agar supaya orang-orang menjauhi ajaran Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin al-Asyraf, dan atas dasar ini pula, maka barangsiapa yang melakukannya, berarti dia adalah seorang kafir dan hukumnya disetarakan dengan orang yang mencaci maki Nabi. Dan orang-orang semacam ini lebih menyerupai orang-orang yang mencaci maki para wanita yang memakai cadar pada masa kita sekarang, dan mereka menuduh para wanita tersebut hanya menggunakan cadar sebagai kedok untuk melakukan berbagai kejahatan, dan ini adalah caci makian yang bertujuan untuk menjauhkan orang-orang dari cadar, dan juga merintangi para wanita tersebut untuk menggunakan hijab yang merupakan syariat Allah tlf kepada para wanita Muslimah. Renungkanlah!
Di antara ulama ada yang memberlakukan ayat ini secara zahir dan umum, mengingat sebab turunnya dipicu adanya tuduhan kepada Aisyah bahwa dia telah berbuat serong. Di antara orang-orang yang menuduh tersebut ada yang beriman dan ada yang munafik. Dan, sudah seharusnya sebab turunnya ayat (sababun nuzul) ini berlaku umum, mengingat tidak ada alasan yang membuatnya berlaku khusus. Jawaban atas persoalan ini adalah bahwa Allah berfirman di sini, "Mereka kena laknat di dunia dan akhirat," (an-Nur: 23) dalam bentuk binaa al-fi'li lil-mafuul atau binaa lil-majhuul, tanpa disebutkan siapa yang melaknat mereka (la'in).
Sementara pada ayat tentang orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Dia berfirman, "Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat," (al-Ahzab: 57) dengan menyebutkan siapa yang melaknat mereka (fa'il). Jika yang melaknat mereka (fa'il) tidak disebutkan di sini, berarti siapa saja selain Allah , baik dari golongan malaikat ataupun manusia, boleh melaknat mereka. Juga, berarti boleh saja Allah melaknat mereka pada suatu ketika, lalu sebagian makhluk-Nya melaknat mereka pada waktu yang berbeda.
Dan, juga berarti boleh saja Allah menimpakan laknat kepada salah seorang mereka, yaitu orang yang tuduhannya bertujuan untuk mencerca agama, sementara makhluk-Nya menimpakan laknat kepada orang-orang yang selainnya. Jika orang yang melaknat tersebut adalah seorang makhluk, maka bentuk laknatnya bias berupa doa jelek kepada mereka, dan bisa dalam artian 'agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah .
Kesemuanya ini termasuk di antara sebab-sebab yang membuat seorang penuduh tersebut dilaknat. Dan di antara sebab-sebab yang membuatnya dilaknat, adalah dia didera (80 kali), ditolak kesaksiannya, dan dihukumi sebagai orang fasik, mengingat hal itu sebagai hukuman dan penjauhan baginya dari rasa aman dan diterima, yaitu dari rahmat Allah. Yang demikian ini, berbeda dengan orang yang diberitakan Allah telah dilaknat-Nya di dunia dan akhirat, mengingat laknat Allah kepadanya bisa menyebabkan hilangnya pertolongan baginya dari segala arah, dan jauhnya dia dari sebab-sebab rahmat di dunia dan akhirat.
Kemudian, di antara dalil yang bisa menguatkan perbedaan ini, adalah bahwa Allah telah berfirman di sini, "... dan Dia (Allah) menyiapkan bagi mereka siksa yang menghinakan. " Dan, ungkapan di dalam al-Quran tentang penyiapan siksa yang menghinakan tidak pernah diperuntukkan selain bagi orang-orang kafir saja. Firman Allah, "Dan untuk orang-orang yang kaflr siksaan yang menghinakan." (al-Baqarah: 90), dan firman-Nya, "Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan," (an-Nisa: 37). Adapun ayat tentang siksa yang sangat besar, maka ada yang berbentuk ancaman bagi orang-orang yang beriman, seperti firman Allah: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil." (al-Anfal: 68) Dan firman-Nya: "Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu." (an-Nur: 14)
Juga, ada yang berupa ancaman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, seperti firman-Nya, "Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, " (al-Maidah: 3). Lalu, ada pula yang berupa ancaman bagi orang yang membunuh, ".dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya," (an-Nisa: 93). Ancaman semacam ini juga terdapat dalam firman Allah: "Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan bagimu azab yangpedih." (an-Nahl: 94) Sungguh, Allah telah berfirman: "Dan Barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya." (al-Hajj: 18)
Hal itu karena penghinaan sama saja dengan perendahan, pengejekan dan peremehan, dan itu sebagai beban tambahan atas pedihnya siksa ter-sebut. Hanya terkadang seorang yang mulia itu disiksa, tapi tidak dihinakan. Ketika dalam ayat ini (al-Ahzab: 57), Allah tH berfirman, "... dan Dia menyiapkan bag! mereka siksa yang menghinakan." Maka, dari situ bisa diketahui bahwa yang demikian itu termasuk jenis siksa yang diancamkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sedangkan ketika Dia berfirman pada ayat tersebut, "... dan bagi mereka adalah siksa yang sangat besar," (an-Nur: 23), maka bisa saja hal itu termasuk jenis siksa yang terdapat di dalam ayat, ". . . niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu, " (an-Nur: 14).
Adapun dari sisi lain, maka siksa yang menghinakan ini hanya dipersiap-kan bagi orang-orang kafir saja. Karena, Neraka Jahanam diciptakan hanya untuk mereka, mengingat mereka harus masuk ke dalamnya dan tidak akan pemah lagi dikeluarkan darinya. Berbeda dengan orang-orang yang mendapat ancaman dari kalangan kaum Muslimin, maka bisa saja mereka tidak jadi masuk ke dalamnya, jika dosa-dosa mereka telah diampuni. Dan, kalaupun mereka jadi memasukinya, maka pasti mereka akan keluar darinya meskipun itu setelah beberapa saat lamanya.
Dalil Ketujuh
Mengangkat suara melebihi suara nabi saja, sipelakunya di khawatirkan bisa menjadi kufur karenanya, maka tentunya menyakiti beliau secara sengaja itu lebih kufur lagi. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (al-Hujurat: 2)
Dalil perunjuknya adalah bahwa Allah telah melarang mereka untuk meninggikan suara mereka melebihi suara Nabi , dan juga melarang untuk mengeraskannya seperti halnya sebagian dari mereka ada yang telah mengeraskan suara kepada sebagian yang lain. Karena, meninggikan dan mengeraskan suara ini terkadang menyebabkan terhapus atau batalnya amalan, tanpa disadari oleh pelakunya.
Sesungguhnya Allah menjadikan alasan di balik larangan mengeraskan suara ini, adalah semata-mata agar bisa terkabulnya suatu amalan, mengingat amalan tersebut bisa terhapus karena melakukan suatu kekufuran. Allah berfirman: "Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati da/am kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat...." (al-Baqarah: 217) Allah juqa berfirman: "Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya .,.." (al-Maidah: 5)
Jika telah nyata bahwa meninggikan suara melebihi suara Nabi dan mengeraskan ucapan dikhawatirkan bisa menyebabkan pelakunya menjadi kafir tanpa sadar, dan juga membuat amalannya menjadi batal, dan bahwa hal itu diduga kuat sebagai pendorong terjadinya semua itu, atau bahkan sebagai penyebab yang sebenarnya, maka bisa dimaklumi bahwa larangan tersebut seyogianya dimaksudkan untuk memuliakan, menghormati, serta mengagungkan beliau, dan bahwa meninggikan suara terkadang bisa menyakiti dan meremehkan beliau, meskipun pelakunya tidak pemah bermaksud demikian.
Jika menyakiti dan meremehkan Nabi yang merupakan buah dari budi pekerti yang jelek saja meski pelakunya tidak bermaksud demikian bisa disebut kufur, maka tentunya menyakiti dan meremehkan Nabi dengan cara disengaja lebih layak disebut kufur.
Dalil Kedelapan:
Adanya ancaman bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi itu menjadi kafir dan musyrik, mengingat hal itu mengandung unsur peremehan terhadap Nabi. Maka, tentunya orang yang mencela beliau lebih layak untuk diancam demikian. Allah berfirman:
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."(an-Nur:63)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang yang menyelisihi perintah-Nya agar merasa takut akan terjadinya fitnah. Dan, yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah murtad dan syirik. Firman Allah , "Dan perangi/ah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi ...," (al-Baqarah: 193). Juga firman-Nya, "Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh," (al-Baqarah: 217). Juga firman-Nya, "Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat," (al-Ahzab: 14).
Dalil petunjuknya, bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi itu diancam menjadi kafir dan musyrik, atau akan ditimpa azab yang pedih.Dan, sudah diketahui bahwa yang menyebabkannya diazab itu hanya karena dia melakukan perbuatan maksiat. Sedangkan yang bisa menyebabkannya menjadi kafir tidak lain karena sewaktu melakukan maksiat tersebut dia mengikutinya dengan unsur peremehan terhadap Nabi , seperti yang pernah dilakukan oleh Iblis terhadap Nabi Adam .
Lalu, bagaimana dengan perbuatan yang lebih berat daripada hal itu, semisal mencaci maki dan mencela Nabi dan yang sejenisnya? Dalam riwayat Fadhal bin Ziyad, Imam Ahmad berkata, "Aku membaca Mushaf (al-Quran) dan mendapati ayat tentang ketaatan kepada Rasulullah terdapat di 33 tempat." Kemudian beliau membaca ayat, "... maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih," (an-Nur: 63). Beliau berulang-ulang kali membacanya dan bertanya-tanya apakah yang dimaksud dengan fitnah di sini? Yaitu syirik (menyekutukan Allah ). Bisa saja kalau dia menolak sebagian firman-Nya akan timbul di dalam hatinya suatu keraguan, sehingga membuat hatinya bimbang dan menghancurkannya. Lalu, beliau pun bergegas membaca ayat, "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya," (an-Nisa: 65).
Dalil Kesembilan:
Petunjuk al-Quran tentang keharaman menikahi para istri Nabi ,mengingat di dalamnya terkandung unsur menyakiti Nabi dan merusak kehormatannya. Dan, sungguh terdapat sunnah yang menyatakan bahwa orang yang melakukan hal itu harus dibunuh. Jika memang demikian, maka tentunya orang yang mencaci maki Nabi lebih berhak untuk dibunuh. Allah telah berfirman:
"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah." (al-Ahzab: 53)
Dalil petunjuknya, bahwa diharamkan bagi umat Islam untuk menikahi para istri Nabi setelah beliau wafat, dikarenakan hal itu bisa menyakiti beliau. Juga, bahwa dijadikan dosa dari tindakan tersebut amat besar di sisi Allah , itu semata-mata demi menghormati beliau. Disebutkan bahwa ayat ini turun pada saat ada orang yang berkata, "Jikalau Rasulullah meninggal nanti, aku akan menikahi Aisyah." Kemudian ditegaskan bahwa orang yang menikahi para istri Nabi hukumannya adalah dibunuh. Hal itu, sebagai balasan atas tindakannya yang telah merusak kehormatan Nabi . Jika demikian halnya, maka tentunya orang yang mencaci maki beliau lebih berhak untuk dibunuh.
Di antara dalil lain yang menyatakan tentang dibunuhnya orang yang merusak kehormatan Nabi , karena menikahi salah seorang istri beliau, adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahih-nya dari Anas , bahwa pernah ada seorang lelaki yang mengaku berzina dengan salah seorang istri Nabi , lalu beliau berkata kepada Ali , "Pergilah dan penggal leher orang itu." D\-takhrij oleh Muslim dalam pembahasan tentang taubat, (4/2139). D\-takhrij pula oleh Hakim di dalam al-Mustadrak dalam pembahasan tentang mengenali para sahabat Nabi, (4/40).
Kemudian, Ali pun berangkat mendatangi orang tersebut, dan ternyata dia sedang berada di suatu pojok ruangan sambil mencaci maki. Lalu Ali berkata kepadanya, "Keluarlah!" Ali pun merengkuh tangannya dan mengeluarkannya. Namun, ternyata dia adalah seorang lelaki yang terpotong kemaluannya. Maka, Ali pun mengurungkan niatnya, lalu segera menghadap Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang terpotong kemaluannya." Di sini, Nabi memerintahkan untuk memenggal leher lelaki ini ketika dia merusak kehormatan beliau dengan mengaku telah berzina dengan salah seorang istri Nabi, dan beliau pun tidak menyuruh untuk diberlakukan sanksi (had) zina terhadapnya. Sebab, jika yang diberlakukan sanksi zina, maka berarti yang terjadi bukan pemenggalan kepala. Melainkan, jika dia seorang muhshan (sudah menikah tetapi berzina-ed.), maka dia harus dirajam, sedangkan bila dia bukan muhshan, maka dia harus didera (dicambuk) 100 kali.
Di samping itu, sanksi zina ini tidak bisa dijatuhkan tanpa adanya empat orang saksi atau pengakuan yang terpecaya. Dari sini bisa diketahui, bahwa ketika Nabi memerintahkan untuk memenggal leher lelaki tersebut, tanpa ada rincian apakah dia seorang muhshan atau bukan, Itu tidak lain dikarenakan orang tersebut telah merusak kehormatan beliau. Dan, bisa saja ada dua orang saksi yang telah bersaksi di sisi beliau, bahwa mereka telah melihat lelaki tersebut mempergauli istri Nabi , atau bersaksi dengan yang semisalnya, sehingga beliau pun memerintahkan untuk membunuh lelaki tersebut.
Namun, ketika terbukti bahwa lelaki tersebut tidak memiliki kemaluan (terpotong zakarnya), maka secara pasti diketahui bahwa kerusakan atau perzinaan tersebut tidak mungkin diperbuat lelaki tersebut. Atau, bahwa beliau telah mengutus Ali untuk mengklarifikasi kisahnya, yang mana jika ternyata apa yang beliau dengar dari pengakuan lelaki tersebut benar, maka Ali harus membunuhnya.
Kemudian terdapat riwayat lain, bahwa Nabi telah menikahi Qailah binti Qais bin Ma'dikarib, saudara perempuan dari al-Asy'ats. Namun, Nabi lebih dulu wafat sebelum sempat mempergaulinya dan sebelum dia pun menghadap kepada beliau. Dikatakan, sesungguhnya Nabi telah memberi pilihan kepadanya antara dia diwajibkan memakai hijab dan haram dinikahi oleh kaum Mukminin, dan antara dia dicerai lalu boleh menikah lagi dengan lelaki mana pun yang dikehendakinya. Maka, Qailah pun memilih untuk menikah lagi.
Maksudnya, dia minta diceraikan. Para perawi berkata, setelah Nabi meninggal, wanita ini (Qailah) dinikahi oleh Ikrimah bin Abu Jahal di Hadhramaut, dan Ikrimah pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar berkata, "Sungguh, aku ingin sekali membakar mereka berdua di dalam rumah mereka." Namun, Umar pun menimpali, "Dia (Qailah) tidak termasuk ibu bagi kaum Mukminin (Ummahatul Mukminin), dan Nabi pun belum sempat mempergaulinya, dan dia juga tidak diwajibkan memakai hijab." Dikatakan, sesungguhnya dia telah murtad (keluar dari agama Islam), lalu Umar pun berdalih kepada Abu Bakar bahwa dia bukan termasuk di antara istri-istri Nabi akibat kemurtadannya tersebut.
Dalil petunjuknya, Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad membakar Qailah dan lelaki yang menikahinya (Ikrimah), ketika beliau menganggap bahwa dia termasuk di antara istri-istri Nabi , hingga akhimya Umar bin Khattab mendebatnya bahwasanya dia bukan termasuk di antara istri-istri Nabi , dan mencegah niat Abu Bakar tersebut terhadap mereka. Dari sini bisa diketahui, bahwa mereka berpendapat untuk membunuh orang yang merusak kehormatan Nabi dengan cara menikahi istri beliau.
PEMBAHASAN KEDUA
Dalil-Dalil dari As-Sunnah Bahwa Mencaci Maki Bisa Menghapus Iman dan Rasa Aman, Serta Mewajibkan Pelakunya untuk Dibunuh
Pendahuluan
Dalam pembahasan ini, Syaikhul Islam memaparkan 15 hadits yang dijadikan sebagai dalil atas beberapa hal berikut ini:
1. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas bolehnya membunuh seorang wanita yang berani mencaci maki Nabi , baik dia seorang wanita Muslimah ataupun berasal dari komunitas kafir dzimmi, mu'ahid dan harbi.
2. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas kewajiban untuk membunuh seorang kafir dzimmi atau mu'ahid yang telah mencaci maki Nabi , serta menjadi batal sumpah janjinya karenanya.
3. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas bolehnya membunuh seorang kafir harbi yang telah mencaci maki Nabi , meskipun dia datang untuk bertaubat dan menjadi seorang Muslim. (Hal itu setelah mampu melakukannya).
4. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas murtadnya seorang Muslim yang telah mencaci maki Nabi , serta kewajiban untuk membunuhnya sebagai konsekuensi dari tindakannya ini, meskipun dia telah bertaubat.
Demikianlah, bahwa seorang yang mencerca Rasulullah atau mencerca semua penjelasan dan petunjuk yang telah dibawanya, tidak terlepas dari apakah dia seorang Muslim, atau seorang kafir dzimmi, mu'ahid dan harbi. Secara keseluruhan, juga tidak terlepas dari apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan.
Dan, untuk mempermudah bagi pembaca, saya mencoba untuk membagi pembahasan ini menjadi beberapa pasal, antara lain:
Pasal pertama, Syariat untuk membunuh seorang wanita karena mencaci maki Nabi .
Pasal kedua, batalnya sumpah janji seorang kafir dzimmi dan mu'ahid karena telah mencaci maki Nabi , serta kewajiban untuk membunuhnya.
Pasal ketiga, seorang Muslim yang menjadi kafir karena telah mencaci maki Nabi , serta syariat untuk membunuhnya meskipun dia telah bertaubat dan kembali masuk Islam.
Pasal keempat, anjuran membunuh seorang kafir harbi karena telah mencaci maki Nabi, meskipun dia telah bertaubat dan menjadi seorang Muslim.
PASAL PERTAMA:
Syariat untuk Membunuh Seorang Wanita Karena Telah Mencaci Maki Nabi, Baik yang Berasal dari Kalangan Kafir Dzimmi, Mu'ahid dan Harbi, Maupun Mengaku Muslimah.
Telah diketahui bersama, bahwa membunuh seorang wanita dengan sengaja hanya karena kekufurannya, tidak diperbolehkan menurut ijma' ulama. Sungguh, terdapat sunnah Rasulullah yang telah membahas masalah ini. Di antaranya, disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, sebuah riwayat dari 'Umar yang berkata, "Aku menemukan ada seorang wanita yang dibunuh dalam beberapa peperangan Nabi, lalu beliau pun melarang untuk membunuh para wanita dan anak-anak kecil.". Fathul Bari, dalam pembahasan tentang jihad dan as-sair, (6/172), hadits no. 3015; Muslim dalam pembahasan tentang jihad, (3/1364); Ibnu Hajar juga telah menyebutkannya di dalam kitab al-Mathaalib al-'Aaliyah, (2/149); al-Bushairi berkata, para rijalnya adalah rijal yang shahih; dan ath-Thahawi telah menyebutkannya di dalam kitab Ma'aanii al-Aatsaar, (3/220, 221).
Hanya saja, berkenaan dengan wanita yang telah mencaci maki Nabi dan mencerca beliau ini terdapat sebuah hadits shahih yang menyatakan adanya syariat untuk membunuh wanita tersebut, baik dia seorang wanita Muslimah ataupun berasal dari komunitas kafir dzimmi dan harbi. Karena, barangsiapa yang telah berani mencela dan mencaci maki Nabi , maka dia boleh dibunuh dalam kondisi apa pun. Adapun di antara dalil-dalil yang menyatakan adanya syariat untuk membunuh wanita yang telah mencaci maki Nabi «H ini adalah sebagai berikut.
Dalil Pertama:
Yaitu kisah tentang seorang tunanetra yang membunuh seorang wanita beragama Yahudi yang berani mencaci maki Nabi. Lalu Nabi pun menghalalkan darahnya.
Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi dari Ali, seorang wanita beragama Yahudi telah mencela Nabi . Lalu, datanglah seorang lelaki yang mencekik lehernya hingga wanita tersebut tewas. Lalu, Rasulullah menghalalkan darah wanita itu. Di-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab: sanksi hukuman (hudud), bab: hukum orang yang mencaci maki Nabi M, hadits no. 4367. Isnad hadits ini shahih, namun terjadi perselisihan pendapat: apakah asy-Sya'bi meriwayatkannya dari Ali atau bukan? Di dalam kitab al-'llal karya ad-Daruquthni (1/132) disebutkan bahwasanya asy-Sya'bi mendengar dari Ali hanya satu huruf, namun di dalam Jaami'at-Thashiil pada terjemah (322) disebutkan bahwasanya dia telah meriwayatkannya dari Ali .
Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud di dalam Sunan-nya, dan oleh Ibnu Batthah di dalam Sunan-nya. Hadits ini juga termasuk di antara yang dijadikan dalil oleh Imam Ahmad dalam riwayat anaknya, Abdullah, dan dia berkata, Jarir telah menceritakan kepada kami, dari Mughirah, dari asy-Sya'bi, dia berkata, "Pernah ada seorang lelaki maksudnya lelaki tunanetra dari kalangan umat Islam yang mencari pertolongan kepada seorang wanita Yahudi, lalu wanita itu pun memberinya makan dan memperlakukannya dengan baik, namun wanita tersebut tidak henti-hentinya mencaci maki Nabi dan menyakitinya. Pada suatu malam, lelaki itu pun mencekik leher wanita tersebut hingga tewas. Maka, pada pagi harinya, lelaki itu bercerita kepada Nabi , lalu orang-orang bercerita perihal kematian wanita tersebut, sehingga lelaki itu pun berdiri seraya menceritakan wanita tersebut yang sebenamya. Dari situ, maka Nabi pun menghalalkan darah wanita tersebut." Maksudnya, membolehkan wanita tersebut dibunuh, dan bahkan dalam masalah ini beliau tidak mewajibkan adanya diyat dan tidak juga kafarat.
Kedudukan hadits ini jayyid karena asy-Sya'bi pernah melihat Ali dan meriwayatkan hadits tentang Syurahah al-Hamadani darinya. Pada masa khalifah Ali, usia asy-Sya'bi hampir mendekati 20 tahun. Dia berasal dari Kufah, dan pemah bertemu dengan Ali, sehingga hadits ini bersambung atau tidak terputus sanadnya. Kalau pun hadits ini dinyatakan mursal, itu karena asy-Sya'bi tinggal sangat jauh dari Ali. Ini merupakan alasan yang telah disepakati oleh para ulama. Juga, karena asy-Sya'bi di mata mereka adalah perawi hadits-hadits mursal yang dikategorikan shahih. Mereka tidak mengetahui hadits mursal darinya selain itu adalah hadits yang shahih.
Di samping itu, asy-Sya'bi adalah rawi yang paling mengetahui hadits Ali dan mengenali para sahabatnya yang tsiqah (terpecaya). Haditsnya ini dikuatkan oleh hadits Ibnu Abbas yang akan dibahas setelah ini. Karena, kisahnya bisa jadi cuma satu atau secara maknanya saja yang satu, sebagaimana telah disampaikan oleh kebanyakan para ulama. Di samping itu, juga terdapat riwayat hadits lain dari para sahabat Nabi yang sama dengannya. Dan, hadits mursal yang semacam ini, tidak pernah diragukan lagi oleh kalangan ahli fiqih untuk dijadikan sebagai hujjah.
Dalil petunjuknya adalah hadits ini sebagai penetapan atas bolehnya membunuh seorang wanita karena telah mencaci maki Nabi, sekaligus sebagai dalil untuk membunuh seorang lelaki dari kalangan kafir dzimmi, dan juga sebab dalil untuk membunuh seorang lelaki Muslim dan wanita Muslimah ketika mereka mencaci maki Nabi sebagai tindakan yang lebih diutamakan lagi. Hal itu, karena wanita pencaci maki ini dulunya seorang wanita yang tidak dimusuhi (muwada'ah), mengingat Nabi sewaktu tiba di Madinah telah menjamin keamanan bagi seluruh kaum Yahudi dengan jaminan yang mutlak, dan tidak mewajibkan kepada mereka untuk membayar upeti (jizyah).
Dan, hal ini menurut para ulama sangat mosyru' dan menempati kedudukan hadits mutawatir yang ada di antara mereka. Sampai-sampai Imam asy-Syafi'i pemah berkata, "Saya tidak pemah tahu di antara para sejarawan ada yang menentangnya. Semua mengatakan bahwa Nabi sewaktu tiba di Madinah, beliau langsung menjamin keamanan bagi seluruh kaum Yahudi, tanpa membebani mereka dengan jizyah." Dan, kenyataannya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi'i. Dalam hadits asy-Sya'bi ini dijelaskan pula bahwa wanita tersebut berasal dari komunitas kafir dzimmi, dan ini berdasarkan dua faktor:
Faktor pertama, asy-Sya'bi mengatakan bahwa wanita Yahudi ini telah mencaci maki Nabi , lalu lelaki buta itu pun mencekik lehernya, maka Nabi pun telah menghalalkan darahnya. Di sini, Ali mengurutkan penghalalan darah wanita tersebut yang disebabkan oleh karena mencaci maki Nabi dengan huruf Jaa'. Maka, dari situ bisa diketahui, bahwa caci makian terhadap Nabi itulah yang menyebabkan darah wanita tersebut menjadi halal. Hal itu, karena mengaitkan suatu hukum (vonis) dengan suatu tindakan yang sesuai dengannya melalui perantara huruf Jaa', menunjukkan tentang kualitas kalimat tersebut, meskipun ini hanya ucapan seorang sahabat Nabi.
Hal itu diperjelas bahwa Nabi sewaktu dikatakan kepada beliau bahwa wanita tersebut telah dibunuh orang-orang pun bertanya-tanya perihal kematian wanita tersebut. Namun, ketika dikatakan kepada beliau tentang dosa yang diperbuat wanita tersebut, seketika Nabi menghalalkan darahnya. Padahal, jika beliau memutuskan suatu perkara setelah diceritakan kepadanya duduk perkaranya, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa penuturan cerita itulah yang menjadi penyebab lahirnya hukum tersebut. Dan, mengingat itu adalah suatu hukum yang baru muncul, maka sudah seharusnya dia memiliki sebab yang memicunya. Sementara di sini, tidak ada sebab lain kecuali apa yang telah diceritakan kepada beliau, dan itu sangatlah layak. Maka dari itu, wajib di sini menyandarkan hukum itu kepada cerita tersebut.
Faktor kedua, pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan orang-orang perihal kematian wanita tersebut kepada Nabi , yang kemudian disusul dengan penghalalan darahnya. Itu sebagai dalil bahwa wanita tersebut sebelumnya mendapat perlindungan keamanan, dan bahwa darahnya merupakan sebab adanya jaminan keamanan tersebut. Dan, darah tersebut akan tetap terjamin keamanannya jika saja Nabi tidak menghalalkan darahnya. Karena, jika dia seorang wanita kafir harbi, maka tentunya Nabi tidak akan mengumumkan kepada orang-orang perihal kematiannya, dan tidak perlu lagi harus menghalalkan darahnya, mengingat penghalalan darah tersebut hanya berlaku bagi darah yang menjadi sebab adanya jaminan keamanan saja.
Jika Nabi telah membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi dengan tidak membebani mereka dengan jizyah, lalu ada lelaki buta yang telah membunuh seorang wanita Yahudi dari orang-orang yang tidak dibebani jizyah tersebut dikarenakan telah mencaci maki Nabi , maka tentunya membunuh seorang wanita Yahudi dari orang-orang yang diwajibkan membayar jizyah dan yang harus mematuhi hukum-hukum agama dikarenakan telah mencaci maki Nabi, lebih utama dan ditekankan lagi. Kalau memang membunuh wanita tersebut tidak diperbolehkan, maka pastilah nyata bagi seorang lelaki buta tersebut kejelekan apa yang telah diperbuatnya, mengingat Rasulullah telah bersabda: "Barangsiapa yang membunuh seorang wanita dari komunitas kafir mu'ahid dengan tanpa haq, maka dia tidak akan pemah menghirup wanglnya surga. Di-takhrij oleh Imam Bukhari dalam pembahasan tentang diyal, (12/270), hadits no. 6914. Di-takhrij pula oleh Hakim di dalam al-Mustadrak dalam pembahasan tentang iman, (1/44); dan di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Afusnad-nya, (5/36, 38, 50). Dan juga pasti diwajibkan baginya jaminan atau kafarat, yakni kafarat atas pembunuhan terhadap seseorang yang telah dijamin keselamatannya. Namun, ketika Nabi menghalalkan darahnya, maka dari situ bisa dipahami bahwa membunuh wanita tersebut diperbolehkan.
Dalil Kedua:
Yaitu Kisah tentang lelaki tunanetra yang telah membunuh budak wanitanya (ummu walad) yang telah mencaci maki Nabi , lalu Nabi pun menghalalkan darahnya.
Terdapat riwayat dari Isma'il bin Ja'far dari Israil dari Utsman asy-Syiham dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa seorang lelaki tunanetra mempunyai seorang budak wanita (ummu walad) yang telah mencaci maki Nabi, lalu lelaki itu pun mencegahnya, tapi wanita tersebut tidak mau berhenti mencaci. Maka, pada suatu malam di saat wanita tersebut mulai mencaci maki Nabi , lelaki itu pun mengambil pedang, lalu diletakkan pada perut wanita tersebut, untuk kemudian menindihnya hingga wanita itu pun terbunuh. Ketika hari sudah pagi, dia menceritakannya kepada Nabi , dan Nabi pun mengumpulkan orang-orang seraya bersabda: "Aku mencari seorang lelaki yang telah melakukan apa yang diperbuatnya. Aku punya hak atas dirinya kecuali jika dia mau berdiri." Ibnu Abbas berkata, "Kemudian, lelaki buta itu pun berdiri dan berjalan ke arah orang-orang sambil memakai tongkatnya, hingga dia pun duduk di depan Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah tuan dari wanita tersebut. Dia telah mencaci makimu, lalu aku mencegahnya tapi dia tetap bersikeras mencaci makimu. Aku punya dua anak lelaki darinya seperti dua permata, dan dia dulu pemah menemaniku. Pada suatu malam di saat dia mulai mencaci makimu, aku pun mengambil pedang lalu aku taruh di perutnya dan aku menindihnya hingga dia pun terbunuh." Kemudian, Nabi bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya darah wanita tersebut halal," (Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan Abu Daud).
Kisah ini mengandung makna bahwa wanita tersebut lebih berhak untuk dibunuh. Hal itu berdasarkan perkataan Imam Ahmad dalam riwayat Abdullah ketika dikatakan kepadanya, "Dalam hal membunuh seorang kafir dzimmi sewaktu dia mencaci maki Nabi , terdapat beberapa hadits. Beliau berkata, "Benar, dan di antaranya adalah hadits tentang seorang lelaki buta yang telah membunuh seorang wanita." Beliau berkata, "Lelaki itu mendengar wanita tersebut sedang mencaci maki Nabi " Selanjutnya, Abdullah meriwayatkan dari beliau kedua hadits di atas (hadits asy-Sya'bi dan Ibnu 'Abbas). Dalam riwayat itu disebutkan bahwa lelaki buta ini telah mencekik leher wanita tersebut dan membelah perutnya dengan sebilah pedang. Atau, dia membunuhnya dengan cara yang tidak diketahui secara pasti di dalam salah satu riwayatnya.
Hal itu diperkuat, bahwa alur kedua kisah ini sama persis menimpa kedua lelaki buta tersebut, yaitu keduanya telah diperlakukan oleh wanita tersebut secara baik dan bahwa wanita tersebut selalu mengulangi caci makiannya terhadap Nabi juga keduanya telah membunuh wanita tersebut sendirian, dan juga keduanya telah diumumkan oleh Nabi perihal wanita tersebut di hadapan banyak orang. Kesemuanya itu jauh sekali dari kebiasaan yang terjadi. Dan, bisa saja kisah ini sebenamya tidak demikian.
Dalil petunjuknya adalah wanita ini bisa jadi dia istri dari lelaki buta tersebut dan bisa pula dia seorang budaknya. Berdasarkan dua perkiraan ini, maka kalau bukan karena membunuhnya itu diperbolehkan, niscaya Nabi akan menjelaskan kepada lelaki tersebut bahwa membunuh wanita ini diharamkan, dan bahwa darahnya telah dijamin keselamatannya, dan sebaliknya, dia akan dikenai kafarat karena telah membunuh seseorang yang telah dijamin keselamatannya, atau dikenai diyat (denda) jika ternyata wanita tersebut bukan budaknya.
Ketika Nabi bersabda, "Ketahuilah bahwa darah wanita tersebut halal hukumnya," dan ini merupakan kehalalan darah yang tidak dikenakan sanksi qishas (eksekusi mati), diyat (denda), maupun kafarat (tebusan dosa), maka dari sini bisa diketahui bahwa membunuh wanita tersebut diperbolehkan, sekalipun dia berasal dari komunitas kafir dzimmi. Juga, bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu bisa berakibat penghalalan darah wanita tersebut. Terlebih lagi, Nabi telah menghalalkan darah wanita tersebut setelah diberitahukan bahwa dia dibunuh karena telah mencaci maki beliau. Serta, bisa diketahui bahwa caci makian itulah penyebab adanya penghalalan darah tersebut. Dan, kisah ini telah secara jelas menunjukkan akan hal itu.
Dalil Ketiga:
Yaitu kisah tentang Ashma binti Marwan yang diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh karena mencela beliau.
Terdapat sebuah riwayat tentang kisah Ashma binti Marwan dari Ibnu Abbas, dia berkata: Seorang wanita dari suku Khathmah telah mencela Nabi, lalu beliau bersabda, "Siapa yang mau membunuhnya untukku?" Lalu, seorang lelaki dari suku Khathmah berkata, "Saya, wahai Rasulullah." Kemudian lelaki itupun bangun dan membunuh wanita tersebut. Setelah itu, Nabi memberitahu dan berkata, "Dalam masalah ini, tidak mungkin dua kambing saling bertandukan."
Sebagian ulama penulis kitab al-Maghazi (peperangan) dan yang lainnya telah menyebutkan kisah ini secara panjang lebar. Al-Waqidi berkata, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin al-Harist bin al-Fudhail, dari ayahnya, bahwa Ashma binti Marwan berasal dari Bani Umayyah bin Zaid. Dia adalah seorang istri dari Yazid bin Zaid bin Hishn bin al-Khathma, dan dia telah menyakiti Nabi , mencela Islam, dan menghasut Nabi . Ketika ucapan dan hasutan Ashma ini terdengar oleh Umair bin 'Adi al-Khathma, maka Umair pun berkata, "Ya Allah, aku bemadzar kepada-Mu, bahwa setelah aku mengantarkan Rasulullah ke Madinah nanti, aku akan membunuh Ashma."
Saat itu, Rasulullah sedang berada di Badar. Maka, sekembalinya beliau dari Badar, Umair pun mendatangi Ashma pada tengah malam dan masuk ke dalam rumahnya. Sementara Ashma pada saat itu dikelilingi oleh anak-anaknya yang sedang tidur pulas. Salah satu dari mereka ada seorang bayi yang sedang disusui di dadanya. Umair meraba-raba tubuh Ashma dengan tangannya dan mendapati seorang bayi yang sedang menyusu kepadanya. Umair kemudian menjauhkan bayi tersebut dari tubuh Ashma dan meletakkan pedangnya di dada Ashma. Lalu dia pun menusukkan pedang itu ke tubuh Ashma hingga menembus punggungnya. Setelah itu, Umair bergegas keluar untuk melaksanakan shalat Shubuh bersama Nabi Ketika Nabi telah selesai shalat, beliau memandangi Umair dan berkata, "Apakah kamu sudah membunuh bintu Marwan (yakni Ashma-ed.)?" Umair menjawab, "Demi Allah, aku sudah melakukannya, wahai Rasulullah." Dan, Rasulullah pun khawatir Umair merekayasa telah membunuhnya. Lalu Umair bertanya, "Apakah saya dikenai sanksi, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Dalam masalah ini, tidak mungkin dua kambing saling bertanbukan." Maka, ucapan yang pertama kali terdengar dari mulut Rasulultah adalah ucapan ini. Umair berkata, kemudian Rasulullah berpaling kepada orang-orang di sekelilingnya seraya bersabda, "Jika kalian senang melihat seseorang yang telah membela Allah dan Rasul-Nya secara ghaib, maka lihatlah Umair bin 'Adi." Lalu Umar bin Khatthab berkata, "Coba lihatlah seorang lelaki buta yang punya gundik ini dalam menaati Allah " Namun, Rasulullah menimpalinya, "Jangan katakan dia orang buta, tapi katakan dia orang yang melihat!".Di-takhrij oleh al-Khatib di dalam kitab Taariikh Bagdaad, (13/99); D\-takhrij Ibnul Jauzi di dalam kitab al-'llal al-Mutanaahiyah, (1/175), Ibnu 'Adi berkata, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin al-Hajjaj, dan dia dituduh membuat hadits palsu. AI-'Ajluni menyebutkan hadits ini di dalam Kasyf al-Khafaa, (2/524). Isnad hadits ini maudhu'. Di dalamnya terdapat Muhammad bin al-Hajjaj al-Lakhmi, yang dikatakan oleh Imam al-Bukhari sebagai orang yang harus diingkari haditsnya, dan dikatakan oleh ad-Daruquthni sebagai orang yang sangat pembohong. Sedangkan Ibnu Ma'in menyebutnya sebagai orang yang sangat pembohong lagi busuk.
Sekembalinya Umair dari sisi Nabi , dia mendapati anak-anak Ashma berada dalam jamaah orang-orang yang menguburkan Ashma. Kemudian mereka menyambut Umair sewaktu melihatnya datang dari Madinah dan berkata, "Wahai Umair, apakah engkau yang telah membunuhnya?" Umair menjawab, "Benar, maka musuhilah aku, lalu kalian tidak ada yang mem-perhatikan lagi! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian semua mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Ashma, niscaya aku akan membunuh kalian dengan pedangku ini, sehingga akulah yang mati atau kalian yang terbunuh." Pada saat itulah, Islam mulai tampak di tengah-tengah Bam Khathmah, dan di antara mereka ada sejumlah orang yang menyembunyikan keIslamannya karena takut dari kaumnya.
Dalil petunjuknya adalah bahwa wanita ini (Ashma) dibunuh tidak lain hanya karena telah menyakiti dan mencerca Nabi semata. Dan, ini terlihat jelas dalam perkataan Ibnu Abbas, seorang wanita berasal dari Bani Khathmah telah mencerca Nabi , lalu beliau pun berkata, "Siapakah yang man membunuhnya untukku?" Dari sini bisa diketahui, bahwa beliau menyuruh untuk membunuhnya hanya karena orang tersebut telah mencerca beliau. Begitu pula dalam hadits lain disebutkan, "Lalu, ketika terdengar perkataan dan hasutan Ashma ke telinga Umair, maka dia pun berkata, "Ya Allah, sungguh aku bernadzar kepada-Mu, jika aku telah mengantarkan Rasulullah ke Madinah, niscaya aku akan membunuhnya." Dalam hadits ini disebutkan bahwa ketika kaumnya Umair berkata kepadanya, "Apakah kamu yang telah membunuhnya?" Dia pun menjawab, "Benar, maka musuhilah aku, dan selanjutnya kalian pun tidak akan mendapat perhatian. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian semua mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Ashma, niscaya aku akan membunuh kalian dengan pedangku ini, sehingga akulah yang akan mati atau kalian yang terbunuh." Maka, yang demikian ini adalah sebagai mukadimah.
Ashma Tidak Dibunuh Karena Telah Memprovokasi untuk Perang, Melainkan Semata-Mata Karena Dia Telah Mencaci Maki Nabi Mukadimah yang lainnya adalah, bahwa syair (hijaa) yang diucapkan oleh Ashma tidak berisi ajakan untuk memerangi Nabi, sehingga dikatakan bahwa memprovokasi orang untuk perang itu berarti telah memerangi. Akan tetapi, di dalam syairnya hanya berisi ajakan untuk meninggalkan agama Nabi dan caci makian terhadap Nabi beserta para pengikutnya. Target maksimal dari semua itu adalah, agar orang-orang yang belum masuk Islam tidak akan memeluk agama Islam, atau agar orang-orang yang telah masuk Islam keluar dari agama Islam. Dan ini merupakan tujuan semua orang yang mencaci maki Nabi .
Hal itu diperjelas lagi bahwa Ashma mencerca Nabi di Madinah, padahal kebanyakan kabilah-kabilahnya telah masuk Islam. Dan, jadilah seorang Muslim dari kabilah tersebut lebih kuat daripada seorang kafir. Sudah diketahui bahwa orang yang mencaci maki Nabi dalam kondisi semacam ini tidak bermaksud memerangi Nabi beserta para sahabatnya, melainkan dia hanya bermaksud untuk membuat mereka marah dan agar tidak mau lagi mengikuti Nabi .
Begitu pula, bahwa Ashma tidak pernah ingin memprovokasi untuk perang. Karena, tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama sejarah bahwa seluruh kabilah Aus dan Khazraj tidak ada yang memerangi Nabi melalui tangan maupun lisannya. Dan, tidak ada seorang pun di Madinah yang berani menampakkan hal itu. Akan tetapi, tujuan orang kafir dan munafik dari golongan mereka adalah menghalangi orang-orang untuk mengikuti Nabi , atau berusaha memulangkan beliau kembali dari Madinah ke Makkah, dan melakukan tindakan-tindakan lainnya yang mengandung unsur penghinaan terhadap Nabi dan ajakan untuk mengingkari ajaran beliau, bukan untuk memerangi beliau.
Karena, jikalau cercaan itu dikategorikan ke dalam jenis perang, maka pastilah sumpah janji itu menjadi batal, dan seorang kafir dzimmi itu pun harus dibunuh karenanya. Sesungguhnya jikalau dia memerangi Nabi, maka itu berarti sumpah janjinya telah batal, mengingat sumpah janji itu menuntut tidak adanya perang. Jika dia memerangi Nabi melalui tangan atau lisan, maka berarti dia telah melakukan sesuatu yang bisa membatalkan sumpah janjinya. Dan, tidak ada lagi yang paling bisa merusak sumpah janji tersebut setelah perang.
Jika hal itu telah nyata, maka tentunya yang dapat diketahui dari sirah Nabi bagi siapa saja yang punya wawasan sejarah adalah bahwa Nabi ketika tiba di Madinah, beliau tidak pernah memusuhi seorang pun dari penduduk Madinah. Bahkan, beliau telah menjamin keamanan mereka sampai-sampai terhadap kaum Yahudi, khususnya mereka yang ada di tengah-tengah suku Aus dan Khazraj. Sesungguhnya beliau telah membuat perjanjian damai dan mengikat tali persaudaraan dengan mereka dalam segala hal.
Sementara kaum imigran atau pendatang ketika datang di Madinah, mereka terdiri dari berbagai lapisan. Di antara mereka terdapat orang yang beriman dan mereka inilah yang terbanyak (mayoritas), dan di antara mereka ada yang masih bertahan pada agama lamanya, dan orang semacam ini dibiarkan dan tidak diperangi. Orang ini bersama orang-orang yang beriman dari kabilahnya, juga mereka yang telah mengucapkan janji adalah kelompok yang dijamin keamanannya (alnlu as-silmi), bukan kelompokyang harus diperangi (ahlu al-harbi).
Sampai-sampai kalangan Anshar yang berjani juga telah diakui janji mereka oleh Nabi . Jika Nabi telah mengakui janji mereka, maka wanita ini (Ashma) adalah termasuk golongan orang-orang kafir mu'ahid. Meskipun demikian, Nabi tetap memerintahkan orang-orang untuk membunuh wanita yang telah mencercanya ini.
Beliau bersabda mengenai orang yang telah membunuh wanita tersebut, "Jika kalian senang melihat seseorang yang telah membela Allah dan Rasul-Nya melalui cara yang tidak tampak (gaib), maka lihatlah pemuda ini (Umair)." Dengan demikian, terbuktilah bahwa mencerca dan mencela Nabi itu menyebabkan pelakunya dibunuh, selain perbuatan kufur. Selain itu, bahwa orang yang mencaci maki Nabi tersebut wajib dibunuh, meskipun dia termasuk golongan orang-orang yang telah mengucapkan sumpah (hulafa) dan membuat perjanjian (mu'ahidiin).
Jika Nabi telah menyuruh untuk membunuh wanita ini (Ashma), maka bisa jadi dikatakan bahwa cercaannya itu merupakan bentuk memerangi Nabi , dan ini artinya cercaan seorang kafir dzimmi kepada Nabi itu sebagai bentuk memerangi beliau, sehingga hal itu bisa membatalkan sumpah janjinya dan menghalalkan darahnya.
Atau, bisa jadi dikatakan bahwa cercaannya itu bukan termasuk bentuk memerangi beliau,dan pendapat inilah yang paling benar, mengingat apa yang telah kita katakan di muka bahwa cercaan Ashma tersebut tidak berisi ajakan untuk memerangi Nabi , dan tidak pula berpendapat ke arah perang. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa mencaci maki merupakan bentuk kejahatan (jinayah) yang bisa merugikan kaum Muslimin, selain kejahatan perang, dan bisa menyebabkan pelakunya dibunuh seperti halnya orang-orang yang membegal perjalanan kaum Muslimin.
Selain itu, bahwa mencaci maki Nabi bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, ini lebih dikarenakan oleh beberapa faktor. Antara lain:
Faktor pertama, jika caci makian terhadap Nabi tidak menyebabkan pelakunya dibunuh, niscaya hukum membunuh wanita (Ashma) ini adalah tidak boleh, meskipun dia seorang wanita dari komunitas kafir harbi. Karena, seorang wanita kafir harbi, jika tidak memerangi Nabi melalui tangan dan lisannya, maka dia tidak boleh dibunuh. Kecuali, jika dia melakukan bentuk kejahatan yang mengharuskannya dibunuh. Dan, hal inilah yang saya kira bertentangan, terutama bagi orang yang berpendapat hukum membunuh wanita ini seperti halnya hukum membunuh seorang begal (perampok).
Faktor kedua, wanita pencaci maki Nabi (Ashma) ini termasuk salah seorang kafir mu'ahid pada waktu itu. Maka, jikalau caci makiannya terhadap Nabi tidak menyebabkan halal darahnya, niscaya dia tidak akan dibunuh dan tidak boleh dibunuh. Oleh karena itu, seorang yang telah membunuhnya khawatir bila terjadi fitnah hingga akhirnya Nabi bersabda, "Dalam masalah ini, tidaklah dua kambing saling bertandukan." Padahal, saling bertandukannya kedua kambing itu tidak lain seperti saling berciuman.
Di sini, Nabi menjelaskan bahwa tidak akan ada fitnah sama sekali akibat tindakan tersebut, sebagai bentuk rahmat dari Allah kepada kaum Mukminin, dan juga sebagai pembelaan terhadap Rasul-Nya dan agama-Nya. Seandainya pun di sana tidak ada larangan untuk membunuh wanita ini, dan tidak ada caci makian terhadap Nabi tersebut, niscaya fitnah ini tidak akan dikhawatirkan terjadi.
Faktor ketiga, sesungguhnya hadits ini menjelaskan bahwa Ashma dibunuh semata-mata karena telah mencaci maki Nabi (di dalam syairnya). Sementara seluruh kaumnya tidak dibunuh karena mereka tidak mencaci maki Nabi. Dan jika mereka mencaci maki Nabi, niscaya mereka akan diperlakukan seperti apa yang ditimpakan kepada Ashma. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa caci makian terhadap Nabi saja bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, baik si pencaci maki tersebut seorang kafir harbi, seorang Muslim, ataupun seorang kafir mu'ahid. Oleh karena itu, beliau boleh membunuh seseorang yang tidak akan beliau bunuh bila tidak melakukan hal itu.
Faktor keempat, bahwa kaum Muslimin sebelum hijrah dan pada awal-awal hijrah itu dilarang memulai perang. Dan, memerangi orang-orang kafir pada waktu itu diharamkan. Karena, hal itu bisa dikategorikan membunuh jiwa dengan tanpa haq, sebagaimana firman Allah : "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanhh shalat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang ...." (an-Nisa1: 77) Karena itu, kandungan ayat al-Quran yang pertama kali diturunkan oleh Allah ilf itu membolehkan perang, mengingat firman Allah , "Telah dilzinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menohng mereka itu," (al-Hajj: 39). Nabi tidak pernah memerangi seorang pun dari penduduk Madinah, dan juga tidak pernah memerintahkan untuk membunuh salah seorang dari pemimpin mereka yang telah mengumpulkan mereka untuk berbuat kekufuran dan yang selain mereka. Adapun ayat-ayat yang turun pada waktu itu, tidak lain hanya memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang telah mengusir mereka (dari Makkah), memerangi mereka, dan melakukan tindakan-tindakan yang sejenisnya.
Pada waktu itu beliau tidak pemah mengizinkan kaum Muslimin untuk lebih dulu membunuh orang-orang kafir dari penduduk Madinah. Dan, jika akhirnya beliau menyuruh untuk membunuh wanita ini (Ashma) yang telah mencaci maki beliau, padahal beliau tidak diperkenankan untuk membunuh orang-orang kafir dari kabilah wanita tersebut, maka dari sini tentunya bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, meskipun sebenamya di sana terdapat faktor yang mencegahnya seandainya bukan karena caci makian ini. Semisal adanya ikatan janji, dia seorang wanita, dan adanya larangan membunuh seorang kafir yang sangat taat, atau tidak diperbolehkannya membunuh orang kafir tersebut. Dan, faktor keempat ini adalah faktor yang sangat bagus dan tepat.
Jika temyata Nabi membunuh seorang wanita yang telah mencaci makinya dari golongan orang-orang kafir Madinah tersebut, padahal di mata beliau mereka bukanlah orang-orang kafir harbi yang boleh diperangi secara mutiak, maka tentunya membunuh seorang wanita yang telah mencaci makinya dari komunitas kafir dzimmi itu lebih diutamakan lagi. Hal itu, karena kita telah membuat perjanjian dengan wanita dari komunitas kafir dzimmi ini untuk tidak mencaci maki Nabi «!f, dan agar dia merasa hina (tunduk). Sedangkan terhadap wanita dari komunitas kafir Madinah tersebut, kita tidak pernah membuat perjanjian atas suatu apa pun.
Dalil Keempat:
Yaitu kisah dua orang biduanita yang menyanyikan lagu berisi ejekan terhadap Nabi dan beliau pun menghalalkan darah mereka.
Musa bin 'Uqbah dalam kitab Maghazi-nya dari az-Zuhri berkata, Rasulullah telah menyuruh mereka (para sahabat) agar menahan diri dan tidak memerangi seorang pun melainkan orang yang telah memerangi mereka. Dan, beliau pun menyuruh untuk membunuh empat orang. Musa bin 'Uqbah berkata, Nabi telah menyuruh untuk membunuh dua orang biduanita, anak dari Ibnu Khathal, yang menyanyikan lagu berisi ejekan kepada Nabi. Kemudian salah seorang biduanita itu pun dibunuh, sedangkan yang lainnya disembunyikan hingga dimintakan perlindungan untuknya. Telah d\-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra dalam kitab Pembahasan Sejarah, (9/121). Sanad hadits ini hasan. Hal ini juga telah disebutkan oleh Muhammad bin 'Aidz al-Qurasyi di dalam kitab Maghaozii-nya. Hadits tentang dua orang biduanita ini termasuk hadits yang telah disepakati oleh para ulama sejarah dan telah banyak diriwayatkan, tidak cukup satu riwayat saja.
Dalil petunjuknya adalah bahwa membunuh seorang wanita dengan sengaja hanya karena kekufurannya saja tidak diperbolehkan menurut ijma' (konsensus ulama). Hal itu sebagaimana telah dinyatakan secara masyhur oleh sunnah Rasulullah. Para wanita penyanyi ini sebelumnya adalah orang-orang yang dilindungi jiwanya karena unsur kewanitaannya. Kemudian, Nabi menyuruh untuk membunuh mereka hanya karena mereka telah mengejek beliau, sementara mereka berada di daerah perang (claor al-harbi). Sehingga dari sini bisa diketahui, bahwa orang yang mengejek dan mencaci maki Nabi boleh dibunuh dalam keadaan apapun. Semua itu diperkuat oleh beberapa faktor berikut ini:
Faktor pertama, para wanita ini sebelumnya termasuk bagian dari komunitas kafir harbi. Mereka telah menyakiti Nabi di daerah perang, lalu Nabi pun membunuh mereka hanya karena caci makian mereka itu, sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa hadits. Dari sini, tentunya membunuh seorang wanita dari komunitas kafir dzimmi, itu lebih diprioritaskan dan ditekankan seperti halnya seorang wanita Muslimah. Karena, di antara kita (kaum Muslimin) dan wanita dari kafir dzimmi tersebut terdapat ikatan perjanjian yang melarangnya untuk melontarkan caci makian kepada Nabi .
Juga, perjanjian yang mengharuskannya bersikap rendah dan tunduk. Oleh karena itu, dia akan dihukum mati, dikenai sanksi harta (materi) atau dirampas kehormatannya atas kesalahan yang diperbuatnya terhadap seorang Muslim. Sedangkan seorang wanita dari komunitas kafir harbi tidak dikenai hal-hal tersebut. Jika diperbolehkan membunuh seorang wanita dikarenakan dia telah berani mencaci maki Nabi , padahal dia berasal dari komunitas kafir harbi yang notabenenya bebas mencaci maki beliau tanpa ada larangan, maka tentunya membunuh wanita dari kalangan kafir dzimmi yang dilarang mencaci maki beliau itu lebih diutamakan.
Jika dikatakan: Perlindungan terhadap kafir dzimmi itu lebih ditekankan, karena dia mendapat jaminan keselamatan, sedangkan kafir harbi tidak dijamin keselamatan nyawanya. Maka, di sini kami jawab: Seorang kafir dzimmi itu juga menjamin keselamatan seorang Muslim, sedangkan seorang kafir harbi tidak menjamin keselamatannya. Jadi, dia menjamin keselamatan orang Islam dan juga dijamin keselamatannya. Karena, perjanjian yang terjadi di antara kita menuntut adanya hal tersebut. Sedangkan wanita dari komunitas kafir harbi tidak punya ikatan perjanjian dengan kita yang menuntut adanya hal tersebut.
Dengan demikian, seorang kafir dzimmi tidak lagi wajib dijaga keselamatannya akibat tindakannya yang merusak kehormatan Nabi . Bahkan, hal itu lebih berat dari dosa-dosanya, dan dia sangat layak diazab (dibunuh) atas tindakannya tersebut yang menyakiti kita. Kami tidak mengetahui adanya wanita dari komunitas kafir harbi dibunuh dengan sengaja karena mencaci maki Nabi , selain bahwa membunuh seorang wanita dari komunitas kafir dzimmi yang telah mencaci maki Nabi itu lebih ditekankan lagi.
Faktor kedua, para wanita ini tidak ikut memerangi sewaktu peristiwa Fathu Makkah, bahkan mereka termasuk di antara para wanita yang tunduk dan menyerah. Ejekan (melalui syair) jika dikategorikan bentuk perang, maka dia sebenamya sudah ada sebelum peristiwa itu. Sementara wanita dari komunitas kafir harbi ini dilarang untuk dibunuh pada peperangan di mana dia menyerah dalam perang tersebut, meskipun sebelum itu dia ikut memerangi. Dari sini bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu pada esensinya bisa menghalalkan darah mereka, bukan karena mereka pemah memerangi beliau.
Faktor ketiga, Nabi telah menjamin keselamatan bagi seluruh warga kota Makkah, kecuali mereka yang melawan atau memerangi, meskipun mereka pemah memusuhi beliau, membunuh para sahabatnya, dan merusak perjanjian yang terjadi di antara mereka dan Nabi. Kemudian, temyata Nabi menghalalkan darah para wanita ini sebagai pengecualian, hanya karena mereka telah berani menyakiti beliau, meskipun sebenamya mereka tidak pernah ikut memerangi beliau.
Dengan demikian nyatalah bahwa dosa orang yang menyakiti Nabi dengan cara mencaci maki dan yang sejenisnya, lebih berat dari sekadar dosa memerangi dan yang lainnya, dan bahwa dia boleh dibunuh pada kondisi apapun, bahkan pada saat dilarang memerangi orang yang telah membunuh dan memerangi sekalipun.
Faktor keempat, dua wanita penyanyi ini adalah dua budak wanita yang disuruh untuk mengejek Nabi . Padahal, membunuh wanita budak itu kurang ditekankan dibanding bila membunuh wanita merdeka. Hal itu, mengingat Nabi telah melarang untuk membunuh seorang buruh (pekerja)20. Selain itu, keadaan wanita tersebut disuruh untuk mencaci maki Nabi juga merupakan dosa yang lebih ringan mengingat dia tidak pemah bermaksud melakukannya. Meskipun demikian, Nabi tetap menyuruh untuk membunuh mereka berdua. Dari sini bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu lebih mengharuskan pelakunya untuk dibunuh.. Di-takhrij oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra, dalam kitab pembahasan tentang sejarah, (9/91). Disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhiid, (9/75); Sunan Sa'id bin Manshur, no. 2628; dari jalur Ayyub as-Sikhtiyani dari seorang lelaki dari bapaknya. Isnadnya tidak shahih mengingat tidak diketahuinya guru (syaikh)nya Ayyub dan bapaknya. Maka, tidak diputuskan bahwasanya dia adalah seorang sahabat. Namun, hadits ini mempunyai penguat (syaahid) di dalam Sunan Abu Daud, no. 2669. Abu Daud berkata: Hadits hasan shahih.
Faktor kelima, bisa jadi para wanita ini dibunuh karena telah mengejek Nabi , mengingat mereka melakukannya bersamaan dengan adanya perjanjian antara Nabi it dan penduduk Makkah. Sehingga, hal itu bisa dikategorikan jenis ejekan kepada Nabi dari seorang kafir dzimmi. Atau, bisa jadi mereka dibunuh hanya karena mengejek semata, tanpa adanya perjanjian apapun. Jika yang benar adalah yang pertama, maka itulah memang yang seharusnya.
Dan jika yang benar adalah yang kedua, maka itu berarti jika membunuh wanita pencaci maki Nabi yang tidak ada perjanjian antara kita dan dia yang bisa melarang tindakan tersebut, itu saja diperbolehkan, maka tentunya membunuh wanita yang dilarang mencaci maki Nabi oleh karena adanya ikatan perjanjian, itu lebih diutamakan lagi. Hal itu, mengingat semata-mata karena kekufuran wanita itu saja dan juga karena dia berasal dari komunitas kafir harbi tidak serta merta bisa menghalalkan darahnya menurut kesepakatan para ulama. Apalagi, caci makiannya tersebut tidak bertujuan untuk memerangi Nabi .
Bersambung ke; HALAMAN 2 (klik disini)