KONTRADIKSI DAN KESALAHAN DALAM QURAN
Jika kita membaca Quran dengan cermat akan banyak sekali didapati kesalahan dan kontradiksi didalamnya. Baik kontradiksi antar ayat, kontradiksi dengan sains, dan berbagai kesalahan lainnya. Telah banyak jawaban dari situs2 Islam mengenai hal ini, yang sayangnya justru memperlihatkan kebengkokan Quran yang diklaim merupakan Kalamullah.
Islam meyakini 100% bahwa Quran benar2 berasal dari Allah. Oleh karenanya umat islam percaya bahwa Quran adalah kitab yang sempurna, tanpa cacat dan kesalahan. Beberapa ayat Quran dengan jelas menegaskan kesucian dan kesempurnaan Quran tersebut;
“(Ialah) Al Qur'an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (QS 39:28)
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran, kalau sekiranya Al Quran bukan dari sisi Allah tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya."(QS 4:82).
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS 11:1)
Konsekuensi dari ayat yang diucapkan Muhammad diatas adalah; jika terdapat satu saja pertentangan atau satu kesalahan yang ditemui dalam Quran, maka sudah cukup untuk menggugurkan keberadaan Quran sebagai Wahyu Allah. Berikut beberapa contoh kontradiksi dalam Quran dari sekian banyak kontradiksi dalam Quran;
1. ALLAH SALAH HITUNG DALAM HUKUM WARIS
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS 4:11]
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. [QS 4:12]
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah ). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS 4:176]
Akan banyak contoh kasus yang menunjukkan salahnya perhitungannya pembuat hukum waris dalam Quran tersebut. Kasus sederhana adalah yang dialami Umar bin Khathab saat masa kekhalifahannya. Umar mendapati sebuah kasus dimana seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Berdasarkan Quran maka bagian yang diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dari dua saudara perempuan yang sekandung adalah 2/3. Jika disamakan pembaginya berarti bagian suami adalah 1/2 = 3/6 dan bagian dua saudara perempuan adalah 2/3 = 4/6, dengan demikian bagian suami dan bagian saudara jika dijumlahkan adalah 3/6 + 4/6 = 7/6, yang berarti pembilangnya melebihi pembaginya, dimana jumlah warisan yang ada tidak dapat dibagi dengan tepat berdasar matematika Quran.
Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya. Menghadapi hal ini Umar berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat. Di antara mereka terdapat Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat, kecuali Ibnu Abbas yang tidak menyetujui adanya aul.
Ini artinya hukum Allah dalam Quran yang tidak sempurna tersebut perlu disempurnakan oleh hukum buatan manusia. Sehingga untuk kasus ini Umar menyamakan pembaginya menjadi 7, sehingga suami mendapat 3/7 bagian dan dua saudara perempuan mendapat 4/7 bagian. Selain konsep aul dalam hukum waris juga dikenal konsep radd (mengembalikan), yang pada dasarnya juga sebagai penyempurna hukum waris dalam Quran tersebut (1).
Disinilah paradoksialnya Quran, di satu sisi beberapa orang berusaha menciptakan tafsiran-tafsiran baru agar Quran nampak sejalan dengan sains dan ilmu modern, namun disisi lainnya Quran sendiri jutru memakai metode matematika yang menyalahi ilmu modern untuk memecahkan keganjilan perhitungan waris. Apakah error perhitungan ini akibat kesalahan Allah, kesalahan Jibril ataukah kesalahan Muhammad?
Dengan menafikan kesalahan yang ada pada Quran, beberapa orang justru membuat cucomologi mengenai keajaiban angka pada Quran, seperti kode 19, atau jumlah kata seimbang, yang terbukti tidak benar. Misalnya mengenai komposisi daratan dan lautan, dimana dikatakan kata laut disebut sebanyak 32 kali dan daratan 12 kali yang mungkin terlihat mengagumkan bagi orang yang tidak terlalu peduli mengenai kebenarannya. Dengan membaca Quran dengan cermat, atau dengan menggunakan software Quran, dapat dilihat bahwa dalam akar Arabnya kata yang berkonotasi dengan laut disebut sebanyak 41 kali. Lagipula secara sains perbandingan luas lautan daratan selalu berubah-ubah, tidak statis, dikarenakan banyak faktor. Jika Quran yang diklaim “disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci (QS 11:1)” saja salah dalam perhitungan matematika sederhana, bagaimana bisa cucomologi Quran tentang keajaiban kode matematika yang lebih rumit dapat diterima sebagai kebenaran.
2. ADAKAH PAKSAAN BERAGAMA DALAM ISLAM?
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2 : 256)
Bandingkan dengan;
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS 9:29)
Tafsir Ibn Kathir atas QS 2:256 menyebutkan mengenai anak-anak Nasrani dari orang tua Muslim, mereka bertanya, haruskah orang tua memaksa anaknya yg nasrani menjadi muslim, maka keluarlah ayat tersebut dari mulut Muhammad. Sedangkan tafsir Ibn Kathir atas QS 9:29 menyebutkan mengenai menggerutunya sebagian muslim yang takut miskin karena tidak dapat berbisnis di Mekah akibat pembatalan perjanjian dengan para kafir, kemudian keluarlah sebuah ayat dari ucapan Muhammad; “Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (QS 9:28). Kekayaan seperti apakah yang dimaksud Muhammad yang berasal dari karunia Allah tersebut? Muhammad kemudian mengucapkan sebuah ayat lanjutan; Perangilah ….. sampai mereka membayar jizyah (ayat 29).
(anda dapat membaca situs2 tafsir online Islami, yang walau disajikan tidak selengkap dalam kitab2 tafsirnya, namun dapat memberi gambaran maksud ayat tersebut)
Jelas ayat QS 2 :256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”, yang sering didengungkan sebagai dalil toleransi dan kedamaian dalam Islam jika dilihat konteksnya hanyalah perlakuan khusus terhadap anak Nasrani dari orang tua muslim, atau anak beragama Yahudi dari orang tua Muslim (2). Jadi ayat ini bukan perlakuan umum terhadap orang2 non muslim. Selain itu meskipun anak-anak ini diperbolehkan tetap menjadi Nasrani atau Yahudi, namun mereka tetap harus “membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS 9:29).
Konteks QS 9:29 juga bukan akibat kaum ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) memerangi Muhammad dan kaum muslim, namun akibat kekhawatiran kaum muslim yang takut menjadi miskin. Inilah kesalahan yang sering diulang2 oleh sebagian orang bahwa Muhammad memerangi sebagai akibat karena diperangi terlebih dahulu. Apakah terdapat sejarah kaum Nasrani Arab memerangi Muhammad terlebih dahulu? Tidak!
Bahkan terhadap kaum kafir sekalipun, apakah kafir Mekah memerangi terlebih dahulu Muhammad? Memusuhi Muhammad iya! Bahkan saat kaum kafir Quraish memboikot saudara mereka “bani Hasyim dan Abdul Mutallib”, bukan hanya muslim dari kedua bani tersebut yang diboikot, namun keseluruhan anggotanya termasuk juga yang kafir! Apakah ini bentuk memerangi? Satu2nya korban tewas pra hijrah yang tercatat di sejarah Islam hanyalah Sumayah, apakah dia dikategorikan sebagai korban perang? Terbunuhnya ia oleh salah satu “oknum” kafir Quraish apakah menjadi generalisasi jika seluruh kafir Quraish memusuhi, lalu menjadi pembenaran Muhammad untuk membalas dendam? Bukankah Mut’im bin Adi, seorang kafir, justru memberi perlindungan kepada Muhammad paska kematian Abu Tholib.
Bandingkan dengan perlakuan terhadap kaum Ahmadiah di Indonesia, dalam suatu peristiwa terdapat 3 korban kaum Ahmadiah tewas terbunuh oleh sekelompok orang (3). Apakah 3 orang tewas tersebut dapat dikategorikan sebagai korban perang? Lalu seandainya kaum Ahmadiah merasa diperangi, apakah dibenarkan mereka membalas dendam dengan memerangi umat muslim Indonesia dengan menjarah, merampoki dan melakukan teror, seperti yang Muhammad lakukan terhadap kaum kafir Quraish?
Jadi kita dapat melihat seperti apakah toleransi dalam Quran tersebut, “tidak ada paksaan dalam Islam bagi kaum ahli kitab”, namun mereka harus “patuh dan tunduk dibawah Islam dengan membayar jizyah”. Hukum ini hanya berlaku bagi kaum ahli kitab (Nasrani dan Yahudi), tidak berlaku bagi kaum kafir, karena dalam Quran pilihan bagi kaum kafir hanyalah dua, menerima Islam atau mati. Adakah kaum ahli kitab yang TIDAK DENGAN TERPAKSA mau tunduk dan patuh dengan membayar pajak jizyah?
Apakah kedua ayat ini berkontradiksi atau hanya inkonsistensi, penilaiannya tergantung persepsi masing2.
3. SIAPAKAH YANG MENYESATKAN MANUSIA ?
Yang menyesatkan manusia adalah Setan (Qs. 15:39-41)
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus; kewajiban Aku-lah (menjaganya).
Hal ini bertentangan dengan QS 4:88, yang menyesatkan manusia adalah ALLAH;
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.
Jawaban yang biasa atas permasalahan tersebut tentu yang menyesatkan adalah Iblis dengan seijin Allah. Karena Allah bertujuan “menunjukkan jalan yang lurus”, tetapi apa yang telah disesatkan Allah tidak dapat diluruskan oleh manusia.
Jika Allah tidak menunjukkan jalan yang lurus, namun ternyata justru menyesatkan bagaimana? Semisal orang kafir di China, atau suku-suku kafir di pedalaman di pelosok dunia, yang lahir dalam keluarga kafir hingga mereka tidak mendapatkan hidayah keindahan Islam, tidak mendapatkan sedikitpun penerang dan dakwah Islam hingga akhirnya mereka tersesat dan masuk neraka. Mengapa Allah tidak hanya melahirkan manusia dari keluarga muslim saja? Mengapa Allah tidak memandulkan keluarga2 kafir? Mengapa Allah mengijinkan keluarga2 kafir memiliki keturunan hingga akhirnya manusia2 ini tersesat? Bukankah ini menunjukkan bahwa dalam Quran watak iblis sama dengan watak Allah? Sama sama menyesatkan!
4. APAKAH MAKANAN PENGHUNI NERAKA?
Mereka tiada memperoleh makanan SELAIN dari pohon yang berduri (QS 88:6)
Bandingkan dengan QS 69:36;
Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) KECUALI dari darah dan nanah.
Kedua ayat diatas menyebutkan kata “SELAIN” / “KECUALI” (arab; illa) yang sama dengan kata “SELAIN / KECUALI” dalam kalimat Tiada Tuhan “SELAIN/KECUALI” Allah (La ilaha ill Allah). Dengan pemikiran logis ayat ini jelas adalah kontradiksi, tidak perlu memakai pengandaian bahwa bisa saja itu campuran antara pohon duri, darah dan nanah, seperti hal ES CAMPUR, yang mengandung cendol, gula, dsb.
5. KESIMPULAN
Akan lebih banyak lagi daftar kontradiksi jika semua ayat Quran dibahas secara detail satu persatu, mengenai kesalahan sains akan dibahas diartikel tersendiri. Namun seperti yang telah disebutkan diatas bahwa “jika terdapat satu saja pertentangan atau satu kesalahan yang ditemui dalam Quran, maka sudah cukup untuk menggugurkan keberadaan Quran sebagai Wahyu Allah.”
Mungkin sebagian orang akan berkata; “Bukan masalah besar jika ada yang salah dalam Quran, toh di kitab suci agama lain, seperti Taurat juga terdapat kontradiksi”.
Inilah persoalannya, dalam banyak hal, Quran adalah terjemahan Arab dari Taurat, jadi beberapa kesalahan Taurat tertransfer ke Quran. Kesalahan2 ini biasanya dibantah dengan menciptakan tafsir-tafsir baru, untuk menggantikan tafsir2 lama. Namun perbedaan besar antara Quran dan Taurat adalah proses pewahyuannya. Taurat tidak pernah mengklaim sebagai ucapan Tuhan kata perkata, yang didiktekan Jibril kata demi kata. Menurut tradisi Yahudi, Taurat disusun oleh Musa dengan ilham dari Tuhan. Jadi pemilihan kata, redaksionalnya tergantung pada pemikiran seorang Musa.
Sebaliknya Quran diklaim merupakan kalamullah, baik lafaznya, hurufnya ataupun maknanya, 100% berasal dari Allah, yang kemudian disampaikan kepada Jibril, yang pada akhirnya diterima oleh Muhammad, dimana tidak tercampur oleh pemikiran Muhammad sedikitpun.
Dengan terbuktinya bahwa Quran salah hitung, terdapat kesalahan sejarah, kontradiksi antar ayat, kesalahan sains, dan kesalahan2 lainnya, siapakah yang dipersalahkan? Apakah Allah atau Jibril yang salah? Berdasarkan konsep keagamaan yang paling mungkin memiliki sifat salah adalah Muhammad, sebagai seorang manusia, karena ayat2 Quran tersebut keluar dari ucapan Muhammad. Seperti halnya jika terdapat kesalahan dalam Taurat yang dipersalahkan adalah Musa. Jadi ketika Muhammad mengucap surah Al Lahab, darimana kalimat cacimaki kepada Abu Lahad ini berasal? Dari pikiran Allah ataukah pikiran Muhammad?
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS Al Lahab)
Referensi
(1) https://id.wikipedia.org/wiki/Warisan
(2) http://sunnah.com/abudawud/15/206
(3) https://id.wikipedia.org/wiki/Penyerangan_Cikeusik
Islam meyakini 100% bahwa Quran benar2 berasal dari Allah. Oleh karenanya umat islam percaya bahwa Quran adalah kitab yang sempurna, tanpa cacat dan kesalahan. Beberapa ayat Quran dengan jelas menegaskan kesucian dan kesempurnaan Quran tersebut;
“(Ialah) Al Qur'an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (QS 39:28)
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran, kalau sekiranya Al Quran bukan dari sisi Allah tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya."(QS 4:82).
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS 11:1)
Konsekuensi dari ayat yang diucapkan Muhammad diatas adalah; jika terdapat satu saja pertentangan atau satu kesalahan yang ditemui dalam Quran, maka sudah cukup untuk menggugurkan keberadaan Quran sebagai Wahyu Allah. Berikut beberapa contoh kontradiksi dalam Quran dari sekian banyak kontradiksi dalam Quran;
1. ALLAH SALAH HITUNG DALAM HUKUM WARIS
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS 4:11]
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. [QS 4:12]
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah ). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS 4:176]
Akan banyak contoh kasus yang menunjukkan salahnya perhitungannya pembuat hukum waris dalam Quran tersebut. Kasus sederhana adalah yang dialami Umar bin Khathab saat masa kekhalifahannya. Umar mendapati sebuah kasus dimana seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Berdasarkan Quran maka bagian yang diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dari dua saudara perempuan yang sekandung adalah 2/3. Jika disamakan pembaginya berarti bagian suami adalah 1/2 = 3/6 dan bagian dua saudara perempuan adalah 2/3 = 4/6, dengan demikian bagian suami dan bagian saudara jika dijumlahkan adalah 3/6 + 4/6 = 7/6, yang berarti pembilangnya melebihi pembaginya, dimana jumlah warisan yang ada tidak dapat dibagi dengan tepat berdasar matematika Quran.
Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya. Menghadapi hal ini Umar berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat. Di antara mereka terdapat Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat, kecuali Ibnu Abbas yang tidak menyetujui adanya aul.
Ini artinya hukum Allah dalam Quran yang tidak sempurna tersebut perlu disempurnakan oleh hukum buatan manusia. Sehingga untuk kasus ini Umar menyamakan pembaginya menjadi 7, sehingga suami mendapat 3/7 bagian dan dua saudara perempuan mendapat 4/7 bagian. Selain konsep aul dalam hukum waris juga dikenal konsep radd (mengembalikan), yang pada dasarnya juga sebagai penyempurna hukum waris dalam Quran tersebut (1).
Disinilah paradoksialnya Quran, di satu sisi beberapa orang berusaha menciptakan tafsiran-tafsiran baru agar Quran nampak sejalan dengan sains dan ilmu modern, namun disisi lainnya Quran sendiri jutru memakai metode matematika yang menyalahi ilmu modern untuk memecahkan keganjilan perhitungan waris. Apakah error perhitungan ini akibat kesalahan Allah, kesalahan Jibril ataukah kesalahan Muhammad?
Dengan menafikan kesalahan yang ada pada Quran, beberapa orang justru membuat cucomologi mengenai keajaiban angka pada Quran, seperti kode 19, atau jumlah kata seimbang, yang terbukti tidak benar. Misalnya mengenai komposisi daratan dan lautan, dimana dikatakan kata laut disebut sebanyak 32 kali dan daratan 12 kali yang mungkin terlihat mengagumkan bagi orang yang tidak terlalu peduli mengenai kebenarannya. Dengan membaca Quran dengan cermat, atau dengan menggunakan software Quran, dapat dilihat bahwa dalam akar Arabnya kata yang berkonotasi dengan laut disebut sebanyak 41 kali. Lagipula secara sains perbandingan luas lautan daratan selalu berubah-ubah, tidak statis, dikarenakan banyak faktor. Jika Quran yang diklaim “disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci (QS 11:1)” saja salah dalam perhitungan matematika sederhana, bagaimana bisa cucomologi Quran tentang keajaiban kode matematika yang lebih rumit dapat diterima sebagai kebenaran.
2. ADAKAH PAKSAAN BERAGAMA DALAM ISLAM?
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2 : 256)
Bandingkan dengan;
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS 9:29)
Tafsir Ibn Kathir atas QS 2:256 menyebutkan mengenai anak-anak Nasrani dari orang tua Muslim, mereka bertanya, haruskah orang tua memaksa anaknya yg nasrani menjadi muslim, maka keluarlah ayat tersebut dari mulut Muhammad. Sedangkan tafsir Ibn Kathir atas QS 9:29 menyebutkan mengenai menggerutunya sebagian muslim yang takut miskin karena tidak dapat berbisnis di Mekah akibat pembatalan perjanjian dengan para kafir, kemudian keluarlah sebuah ayat dari ucapan Muhammad; “Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (QS 9:28). Kekayaan seperti apakah yang dimaksud Muhammad yang berasal dari karunia Allah tersebut? Muhammad kemudian mengucapkan sebuah ayat lanjutan; Perangilah ….. sampai mereka membayar jizyah (ayat 29).
(anda dapat membaca situs2 tafsir online Islami, yang walau disajikan tidak selengkap dalam kitab2 tafsirnya, namun dapat memberi gambaran maksud ayat tersebut)
Jelas ayat QS 2 :256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”, yang sering didengungkan sebagai dalil toleransi dan kedamaian dalam Islam jika dilihat konteksnya hanyalah perlakuan khusus terhadap anak Nasrani dari orang tua muslim, atau anak beragama Yahudi dari orang tua Muslim (2). Jadi ayat ini bukan perlakuan umum terhadap orang2 non muslim. Selain itu meskipun anak-anak ini diperbolehkan tetap menjadi Nasrani atau Yahudi, namun mereka tetap harus “membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS 9:29).
Konteks QS 9:29 juga bukan akibat kaum ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) memerangi Muhammad dan kaum muslim, namun akibat kekhawatiran kaum muslim yang takut menjadi miskin. Inilah kesalahan yang sering diulang2 oleh sebagian orang bahwa Muhammad memerangi sebagai akibat karena diperangi terlebih dahulu. Apakah terdapat sejarah kaum Nasrani Arab memerangi Muhammad terlebih dahulu? Tidak!
Bahkan terhadap kaum kafir sekalipun, apakah kafir Mekah memerangi terlebih dahulu Muhammad? Memusuhi Muhammad iya! Bahkan saat kaum kafir Quraish memboikot saudara mereka “bani Hasyim dan Abdul Mutallib”, bukan hanya muslim dari kedua bani tersebut yang diboikot, namun keseluruhan anggotanya termasuk juga yang kafir! Apakah ini bentuk memerangi? Satu2nya korban tewas pra hijrah yang tercatat di sejarah Islam hanyalah Sumayah, apakah dia dikategorikan sebagai korban perang? Terbunuhnya ia oleh salah satu “oknum” kafir Quraish apakah menjadi generalisasi jika seluruh kafir Quraish memusuhi, lalu menjadi pembenaran Muhammad untuk membalas dendam? Bukankah Mut’im bin Adi, seorang kafir, justru memberi perlindungan kepada Muhammad paska kematian Abu Tholib.
Bandingkan dengan perlakuan terhadap kaum Ahmadiah di Indonesia, dalam suatu peristiwa terdapat 3 korban kaum Ahmadiah tewas terbunuh oleh sekelompok orang (3). Apakah 3 orang tewas tersebut dapat dikategorikan sebagai korban perang? Lalu seandainya kaum Ahmadiah merasa diperangi, apakah dibenarkan mereka membalas dendam dengan memerangi umat muslim Indonesia dengan menjarah, merampoki dan melakukan teror, seperti yang Muhammad lakukan terhadap kaum kafir Quraish?
Jadi kita dapat melihat seperti apakah toleransi dalam Quran tersebut, “tidak ada paksaan dalam Islam bagi kaum ahli kitab”, namun mereka harus “patuh dan tunduk dibawah Islam dengan membayar jizyah”. Hukum ini hanya berlaku bagi kaum ahli kitab (Nasrani dan Yahudi), tidak berlaku bagi kaum kafir, karena dalam Quran pilihan bagi kaum kafir hanyalah dua, menerima Islam atau mati. Adakah kaum ahli kitab yang TIDAK DENGAN TERPAKSA mau tunduk dan patuh dengan membayar pajak jizyah?
Apakah kedua ayat ini berkontradiksi atau hanya inkonsistensi, penilaiannya tergantung persepsi masing2.
3. SIAPAKAH YANG MENYESATKAN MANUSIA ?
Yang menyesatkan manusia adalah Setan (Qs. 15:39-41)
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus; kewajiban Aku-lah (menjaganya).
Hal ini bertentangan dengan QS 4:88, yang menyesatkan manusia adalah ALLAH;
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.
Jawaban yang biasa atas permasalahan tersebut tentu yang menyesatkan adalah Iblis dengan seijin Allah. Karena Allah bertujuan “menunjukkan jalan yang lurus”, tetapi apa yang telah disesatkan Allah tidak dapat diluruskan oleh manusia.
Jika Allah tidak menunjukkan jalan yang lurus, namun ternyata justru menyesatkan bagaimana? Semisal orang kafir di China, atau suku-suku kafir di pedalaman di pelosok dunia, yang lahir dalam keluarga kafir hingga mereka tidak mendapatkan hidayah keindahan Islam, tidak mendapatkan sedikitpun penerang dan dakwah Islam hingga akhirnya mereka tersesat dan masuk neraka. Mengapa Allah tidak hanya melahirkan manusia dari keluarga muslim saja? Mengapa Allah tidak memandulkan keluarga2 kafir? Mengapa Allah mengijinkan keluarga2 kafir memiliki keturunan hingga akhirnya manusia2 ini tersesat? Bukankah ini menunjukkan bahwa dalam Quran watak iblis sama dengan watak Allah? Sama sama menyesatkan!
4. APAKAH MAKANAN PENGHUNI NERAKA?
Mereka tiada memperoleh makanan SELAIN dari pohon yang berduri (QS 88:6)
Bandingkan dengan QS 69:36;
Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) KECUALI dari darah dan nanah.
Kedua ayat diatas menyebutkan kata “SELAIN” / “KECUALI” (arab; illa) yang sama dengan kata “SELAIN / KECUALI” dalam kalimat Tiada Tuhan “SELAIN/KECUALI” Allah (La ilaha ill Allah). Dengan pemikiran logis ayat ini jelas adalah kontradiksi, tidak perlu memakai pengandaian bahwa bisa saja itu campuran antara pohon duri, darah dan nanah, seperti hal ES CAMPUR, yang mengandung cendol, gula, dsb.
5. KESIMPULAN
Akan lebih banyak lagi daftar kontradiksi jika semua ayat Quran dibahas secara detail satu persatu, mengenai kesalahan sains akan dibahas diartikel tersendiri. Namun seperti yang telah disebutkan diatas bahwa “jika terdapat satu saja pertentangan atau satu kesalahan yang ditemui dalam Quran, maka sudah cukup untuk menggugurkan keberadaan Quran sebagai Wahyu Allah.”
Mungkin sebagian orang akan berkata; “Bukan masalah besar jika ada yang salah dalam Quran, toh di kitab suci agama lain, seperti Taurat juga terdapat kontradiksi”.
Inilah persoalannya, dalam banyak hal, Quran adalah terjemahan Arab dari Taurat, jadi beberapa kesalahan Taurat tertransfer ke Quran. Kesalahan2 ini biasanya dibantah dengan menciptakan tafsir-tafsir baru, untuk menggantikan tafsir2 lama. Namun perbedaan besar antara Quran dan Taurat adalah proses pewahyuannya. Taurat tidak pernah mengklaim sebagai ucapan Tuhan kata perkata, yang didiktekan Jibril kata demi kata. Menurut tradisi Yahudi, Taurat disusun oleh Musa dengan ilham dari Tuhan. Jadi pemilihan kata, redaksionalnya tergantung pada pemikiran seorang Musa.
Sebaliknya Quran diklaim merupakan kalamullah, baik lafaznya, hurufnya ataupun maknanya, 100% berasal dari Allah, yang kemudian disampaikan kepada Jibril, yang pada akhirnya diterima oleh Muhammad, dimana tidak tercampur oleh pemikiran Muhammad sedikitpun.
Dengan terbuktinya bahwa Quran salah hitung, terdapat kesalahan sejarah, kontradiksi antar ayat, kesalahan sains, dan kesalahan2 lainnya, siapakah yang dipersalahkan? Apakah Allah atau Jibril yang salah? Berdasarkan konsep keagamaan yang paling mungkin memiliki sifat salah adalah Muhammad, sebagai seorang manusia, karena ayat2 Quran tersebut keluar dari ucapan Muhammad. Seperti halnya jika terdapat kesalahan dalam Taurat yang dipersalahkan adalah Musa. Jadi ketika Muhammad mengucap surah Al Lahab, darimana kalimat cacimaki kepada Abu Lahad ini berasal? Dari pikiran Allah ataukah pikiran Muhammad?
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS Al Lahab)
Referensi
(1) https://id.wikipedia.org/wiki/Warisan
(2) http://sunnah.com/abudawud/15/206
(3) https://id.wikipedia.org/wiki/Penyerangan_Cikeusik