SEJARAH PENYUSUNAN QURAN
Dalam Islam terdapat pandangan berbeda mengenai keotentikan, keaslian atau tidak berubahnya Quran. Terdapat beberapa ulama, baik Syiah maupun Sunni yang menganggap adanya tahrif Quran (1) (2), bahwa Quran yang ada sekarang telah terkorupsi, tidak original seperti masa Muhammad dulu, sedangkan sebagian ulama lain berpendapat bahwa Quran yang ada hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Muhammad lebih dari seribu empat ratus tahun silam, tidak berubah setitik pun. Berikut beberapa ayat yang seringkali dijadikan dalil mengenai tidak berubahnya Quran;
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al Anaam : 115)
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS Al Hijr : 9)
Apakah pendapat mengenai tidak adanya tahrif Quran sesuai dengan fakta atau hanya keyakinan kosong belaka? Quran menyatakan bahwa kitab ini merupakan salinan dari kitab yang ada disurga (Lauh Mahfuzh), sehingga Jibril mewahyukan kepada Muhammad, dan Muhammad mengingat tanpa terlupa sebuah katapun. Jika kita kaji lebih dalam, keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin2 Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
Mayoritas sarjana muslim berpendapat bahwa kata Quran berasal dari kata kerja qara’a (membaca), sehingga Quran diartikan sebagai bacaan. Kata Quran ini adalah derivasi (isytiqâq) dari bahasa Aram, qeryana, yang juga berarti bacaan. Qeryana adalah nama bacaan ibadah umat Nasrani Syria, berdasar hal ini para orientalis berpendapat bahwa nama Quran sebelum diambil menjadi nama kitab suci dalam Islam adalah nama bacaan umat Nasrani Arab pra Islam sebelum lahirnya Muhammad.
Terlepas dari asal muasalnya, artikel ini akan fokus untuk membahas sejarah kitabah Quran (pencatatan) dan tadwin Quran (pembukuan), hingga menjadi sebuah kitab seperti yang kita pegang sekarang ini. Dimana sebagian golongan dalam Islam mempercayai terdapat perubahan dalam Quran, dan sebagian golongan lainnya meyakini bahwa tidak ada perubahan setitikpun dalam Quran semenjak diturunkan oleh Jibril. Singkatnya, para ulama penentang adanya tahrif Quran memiliki beberapa pendapat mengenai keotentikan Quran;
• Muhammad secara sempurna menghafal dan mengingat ayat2 Quran yang disampaikan Jibril kepadanya.
• Quran adalah 100% firman Allah. Muhammad hanya mengucapkan ulang ayat2 Quran kepada para pengikutnya, dari apa yang ia terima tanpa pengaruh pikiran atau pendapat pribadinya
• Hanya ada satu versi Alquran.
• Mushaf Utsman adalah kitab yang sempurna, lengkap tanpa bertambah atau berkurang satu ayat pun seperti yang diwahyukan kepada Muhammad
• Keotentikan mushaf Utsmani dikuatkan dengan sanad, riwayat dari ribuan perawi Quran
• Quran lebih dijaga keotentikannya oleh Allah daripada kitab suci lainnya
Apakah pendapat2 tersebut tepat adanya? Jawabannya tentu tergantung subyektifitas masing2. Karenanya kita akan melakukan kajian mengenai bagaimana proses penyusunan Quran berdasar sumber sumber Islam.
Berikut adalah penjelasan mengenai klaim atau pendapat yang seringkali diungkapkan sebagian ulama penentang adanya tahrif ;
• Muhammad secara sempurna menghafal Quran yang diwahyukannya kepadanya.
Dikisahkan Aisha; Nabi mendengar seorang pria membaca Quran di masjid dan beliau berkata, " Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada dirinya , karena ia telah mengingatkan saya ayat-ayat pada sebuah Surah. (3)
Aisha melaporkan bahwa Rasulullah mendengar seseorang membaca Quran di malam hari. Setelah itu Rasulullah berkata : Semoga Allah menunjukkan belas kasihan kepadanya, ia telah mengingatkan saya ayat tersebut, yang telah ku lewatkan ayat pada surah tersebut. (4)
Abdullah bin Masud mengatakan ; Rasulullah memimpin kita shalat lima rakaat. Ketika beliau berpaling (selesai shalat), orang-orang saling berbisik. Rasulullah bertanya; ada apa dengan kalian? Mereka berkata: Rasulullah, apakah jumlah rakaat telah bertambah? Engkau telah melakukan lima rakaat shalat. Nabi kemudian berbalik dan melakukan dua sujud, dan setelah memberi salam, beliau kemudian berkata : Aku hanya seorang manusia, aku lupa, karena kamupun juga lupa. (5)
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula Muhammad, beberapa hadist menunjukkan bahwa Muhammad seringkali lupa pada ayat Quran yang pernah diucapkannya, itulah mengapa terdapat riwayat Jibril seringkali meninjau hapalan Quran Muhammad.
• Muhammad hanya mendiktekan Quran kepada para pengikutnya wahyu apa yang ia terima tanpa pengaruh pikiran pribadinya ataupun orang lain.
Diriwayatkan dari Al Barra Ibn Azib: dia berkata, “Ketika turun ayat ‘Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah ….’ Nabi memanggil Zaid dan memerintahkannya membawa alat tulis, lalu Nabi berkata; Tulislah: ‘Tidaklah sama antara mukmin yang duduk, dengan orang-orang ….’ Saat itu Ibnu Ummi Maktum, orang buta yang duduk dibelakang nabi berkata, “Oh Rasulullah! Apa pendapat anda terhadapku (sehubungan dengan ayat tersebut) sebab aku orang buta? Jadi bukan ayat di atas, lalu ayat berikut diturunkan; Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah ( QS 4.95 ). (6)
Benarkah Quran adalah salinan kitab di surga (Lauh Mahfuzh), ketika pendapat seorang buta dapat merubah wahyu yang disampaikan Jibril?
Sahih Bukhari, Volume 6, Book 60, Number 311
Diceritakan oleh Aisha: Aku memandang rendah wanita2 yang memberikan dirinya kepada Rasulullah dan aku katakan, "Dapatkah seorang wanita memberikan dirinya kepada seorang laki2 ? Tetapi ketika Allah mengungkapkan: "Kamu (Muhammad) dapat menunda giriran kepada saja yang kamu kehendaki atas istrimu, dan kamu boleh menerima siapapun yang kamu inginkan…" (QS 33.51) Aku berkata ( kepada Nabi), " Aku merasakan bahwa Allahmu bertindak cepat untuk memenuhi nafsu dan keingiananmu” (7)
Sahih Bukhari Book 60, Number 314:
Diriwayatkan Anas bin Malik; Ketika Rasulullah menikahi Zainab bint Jash, beliau mengundang orang-orang untuk makan daging. Merekapun makan-makan sambil duduk dan mengobrol. Lalu Nabi memberi tanda bahwa ia telah siap untuk berdiri (dengan tujuan untuk menyuruh mereka pulang), namun mereka tetap saja masih duduk. Ketika Nabi melihat orang-orang tidak merespon tindakannya, ia kemudian bangkit berdiri dan keluar, lalu orang-orang juga beranjak dari duduknya, kecuali 3 orang yang masih tetap duduk. Rasulullah kembali masuk, namun langsung keluar rumah lagi. Melihat itu tiga orang tersebut akhirnya pergi, aku kemudian berkata pada Nabi bahwa orang-orang tadi telah pergi, Nabi lalu melangkah untuk memasuki rumahnya. Aku berniat masuk kerumah bersama Nabi, namun beliau menurunkan tirai diantara aku dan beliau. Kemudian Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi …. (QS 33:53).” (8)
Hadist diatas menceritakan mengenai menit menit menjelang malam pertama Muhammad dengan Zainab, bekas menantunya.
• Hanya ada satu versi Quran.
Sahih Bukhari 41:601,
Dikisahkan oleh 'Umar bin Al-Khattab: Aku dengar Hisham bin Hakim bin Hizam melafalkan Surat al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan caraku. Rasulullah telah mengajarkan padaku (dengan cara yang berbeda). Lalu, aku hampir saja bertengkar dengan dia (pada saat shalat) tapi aku tunggu sampai dia selesai, lalu aku ikat bajunya di sekeliling lehernya dan kuseret dan kubawanya menghadap Rasulullah dan berkata, “Aku telah mendengar dia melafalkan Surat al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan yang kau ajarkan padaku.” Sang Rasul menyuruhku melepaskan dia dan meminta Hisham melafalkannya. Ketika dia melakukan itu, Rasulullah berkata, “Itu (Surat al-Furqan ) benar dilafalkan begitu.” Sang Rasul lalu meminta aku melafalkannya. Ketika aku melakukannya, dia berkata, “Itu benar dilafalkan begitu. Qur’an telah dinyatakan dalam tujuh cara yang berbeda, jadi lafalkan dengan cara yang mudah bagimu.” (9)
Terdapat banyak riwayat dari berbagai perawi tentang hal ini, sehingga hadist-hadist mengenai Quran dalam 7 versi ini derajatnya hampir mutawattir. Umar bin Al-Khattab dan Hisham bin Hakim berasal dari suku yang sama yaitu Quraish, apakah mereka berbeda dialek (lahjah), hingga terjadi perseteruan diantara mereka? Jika tidak lalu seperti apakah Quran dengan 7 cara berbeda itu? Ada berbagai pendapat mengenai kata “Al-Ahruf” yang pada hadist diatas kami terjemahkan dengan kata “cara”. Al-Ahruf adalah bentuk jamak dari huruf. Terdapat banyak penafsiran mengenai Quran diturunkan dengan 7 huruf tersebut, ada yang mengartikan sebagai 7 qiraat (bacaan), adapula yang mengartikan 7 bahasa, tetapi tetap saja tidak ada kesepakatan mengenai arti 7 huruf tersebut, mengingat Muhammad diklaim sebagai orang buta huruf.
Kaum Sunni meyakini bahwa semasa Muhammad hidup, Quran sudah terdiri dari 7 huruf atau versi, entah versi apakah yang dimaksud, karena dikemudian hari Khalifah Utsman memerintahkan pembakaran berbagai macam versi Quran ini, namun apakah versi versi yang diperintahkan dibakar tersebut benar benar berhasil dibakar? Kita buktikan nanti! Namun dengan membakar beragam versi ini Utsman melawan maksud Muhammad yang meminta Jibril agar Quran diturunkan dalam tujuh huruf? Wallahualam. Perlu dibedakan mengenai 7 versi Quran menurut Muhammad tersebut bukanlah 7 imam yang terkenal sebagai ahli qiraat (imam Qiraat As-Sab'ah) dengan ragam bacaannya.
• Mushaf Utsman adalah kitab yang sempurna, lengkap tanpa bertambah atau berkurang satu ayat pun seperti yang diwahyukan kepada Muhammad.
Umat Islam mengimani jika Muhammad adalah seorang yang buta huruf, sehingga penulisan Quran dilakukan oleh para sahabat dan murid Muhammad. Tulisan Quran dalam berbagai media seperti kulit binatang, pelepah pohon, dsb tersebut tersebar diberbagai tempat, sehingga beberapa orang memiliki beberapa bagian ayat, dan orang yang satu juga memiliki bagian tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Dan tentu pada saat tersebut tidak ada satupun orang yang hafal Quran secara lengkap, karena proses turunnya wahyu masih berlangsung hingga kematian Muhammad. Beberapa orang mengingat bagian ayat atau surah tertentu, dan sebagian lainnya tidak, dan selama proses turunnya ayat sebelum kematian Muhammad masih terjadi penyisipan ayat pada surah tertentu, penggantian ayat (nasakh mansuf), dsb.
Beberapa ulama berpendapat bahwa Quran susunannya sudah ditentukan oleh Allah, bukan ijtihad para sahabat. Namun kepastian seperti apa urutan yang benar hanya Muhammad yang tau. Kita tidak dapat menemukan riwayat yang mengatakan detail bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini, surat sekian setelah atau sebelum surat sekian, dsb. Sedangkan mengenai ayat paling awal dan akhir dalam Quran saja terdapat berbagai perbedaan pendapat, jumhur sunni berbeda dengan jumhur syiah, apalagi urutan surat dan ayat didalamnya.
Pendapat pertama mengenai ayat yang diturunkan paling awal adalah Iqra (QS Al Alaq: 1-5), pendapat ini dikisahkan Ibnu Ishaq dan beberapa hadist. Pendapat kedua adalah dengan sanad dari Yahya bin Abi Kathir, bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat Al Muddatstsir; Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Pendapat ketiga adalah surat Al-Fatihah menurut pendapat Al-Bayhaqi. Pendapat keempat adalah kalimat Bismillaahirrahmaanir-rahiim menurut pendapat al-Wahidi, dan pendapat kelima adalah ayat yang didukung As-Suyuti, yaitu mengenai surga dan neraka yang sanadnya berasal dari Aisyah. Sedangkan mengenai ayat yang paling akhir diturunkan setidaknya terdapat delapan pendapat berbeda, yang dapat kita temukan dalam kitab-kitab tradisional Islam.
Perbedaan lain mengenai susunan Quran adalah urutan surat-suratnya, setidaknya terdapat 4 pendapat berbeda mengenai urutan surat Quran sebelum masa standarisasi yang dilakukan Utsman. Berikut urutan 5 surat pertama menurut masing masing sahabat; Pendapat Ali bin Abu Talib, yaitu dari yang pertama hingga surat kelima, Al Baqarah, Yusuf, Al Ankabut, Al Rum, dan Luqman. Pendapat Ibn Abbas, yaitu Al Alaq, Al Qalam, Adh Dhuha, Al Muzammil, dan Al Mudatasir. Pendapat Ubay bin Kaab, yaitu Al Fatihah, Al Baqarah, An Nisa, Ali Imran, dan Al Anam. Pendapat Ibn Mas’ud, yaitu Al Baqarah, An Nisa, Ali Imran, dan Al Anam. Ali dan Ibnu Abbas mengurutkan berdasar kronologi urutan turunnya (tartib nuzul), sedangkan Ubay dan Mas’ud berdasar panjang – pendek surat. Bandingkan dengan Quran masa kini, yaitu cetakan Kairo 1924 yang kita yakini sebagai mushaf Utsman, yaitu Al Fatihah, Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa, dan Al Maidah.
Menurut riwayat sebuah hadist, Jibril melakukan peninjauan Quran yang telah diturunkan kepada Muhammad setahun sekali, namun seperti apa detail bentuk peninjauan tersebut tidak diceritakan, apakah Jibril mengulang ke 7 versi yang telah diturunkan baik susunan, urutan, bacaan, atau bagaimana? Jika peninjauan Quran tersebut benar terjadi seharusnya tidak terdapat silang pendapat antar para sahabat mengenai susunan Quran, jumlah ayat, dsb.
Mayoritas golongan dalam Islam menyakini bahwa semasa Muhammad hidup tidak ada upaya pembukuan ayat-ayat Quran dalam sebuah kitab yang utuh. Alasannya wahyu masih turun hingga kematian Muhammad, sehingga ayat-ayat lama masih dimungkinkan untuk disisipi ayat lain atau direvisi (nasakh mansuf). Pembukuan Quran semasa Muhammad hidup sebenarnya bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan, karena jika terdapat sisipan ayat ataupun proses nasakh mansuf Muhammad tinggal melakukan update, seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib terhadap mushaf Quran versinya. Pembukuan Quran tidak dilakukan karena memang Muhammad tidak ingin melakukannya, karena begitu banyak versi yang telah beredar yang kemungkinan jika disatukan dalam satu buku dapat menyebabkan perpecahan dan fitnah diantara umat.
Setelah kematian Muhammad, Ali bin Abi Talib sesuai wasiat Muhammad melakukan pengumpulan Quran menurut pengertiannya sesuai yang diajarkan Muhammad. Quran versi Ali, atau sering disebut mushaf Ali atau mushaf Fatimah tersebut berbeda dengan Quran yang beredar sekarang, baik dalam hal urutan surat, ataupun matan ayat didalamnya. Dalam hadist hadist Syiah, riwayat mengenai adanya mushaf Ali telah mencapai derajat mutawatir. Namun mengenai perbedaannya dengan Quran masa kini masih terjadi perselisihan. Al Kulaini misalnya, dalam kitab Al Kafi meriwayatkan bahwa Quran yang dibawa Jibril kepada Muhammad adalah tujuh belas ribu ayat, sehingga jika diperbandingkan, Quran Ali lebih tebal 3 kali lipat daripada Quran yang beredar sekarang. (10). Pendapat lain diungkapkan Ibnu Babawaih, sebagai penentang adanya tahrif Quran ia menyatakan bahwa Jibril memang menurunkan tujuh belas ribu ayat, namun ayat Quran yang diturunkan persis sama dengan Quran masa kini, sedangkan ayat lain yang diturunkan bukanlah Quran melainkan tanzil dan takwil (11).
Selesai mengumpulkan mushaf-mushaf Quran, Ali meletakkan Quran versinya diatas punggung unta dan membawanya ke masjid. Ketika itu para sahabat sedang mengelilingi Abu Bakar, Ali mengungkapkan kepada mereka bahwa ia telah mengumpulkan Quran seperti yang diwasiatkan Muhammad, namun Abu Bakar dan sahabat yang lain menolaknya, seseorang berkata “kami tidak membutuhkan apa yang kamu bawa. Cukup bagi kami apa yang ada bagi kami.” Mendengar respon seperti itu, Ali berkata ”mulai saat ini kalian tidak akan pernah melihat Quran ini lagi.” (12)
Apakah alasan orang-orang menolak mushaf Ali? Tidak terdapat jawaban pasti atas hal ini. Apakah terkait kurangnya pengetahuan Ali terhadap Quran dan kandungannya, apakah karena Muhammad saja tidak pernah melakukan perintah pembukuan Quran, ataukah karena sebab politis? Perlu diketahui saat pengumpulan Quran tersebut, Ali belum membaiat Abu Bakar, baik Ali dan Fatimah, putri Muhammad masih bersitegang dengan Abu Bakar dan pendukungnya. Menurut hadist Syiah, Ali dan Fatimah menganggap Abu Bakar telah mengkudeta Ali sebagai pemimpin yang sah yang telah dipilih Allah pasca kematian Muhammad. Sesaat setelah kematian Muhammad, Abu Bakar dan pendukungnya justru sibuk melakukan pemilihan pemimpin disaat Ali dan keluarganya sedang sibuk melakukan prosesi pemakaman Muhammad.
Setelah peristiwa penolakan tersebut, Ali tidak pernah lagi memperlihatkan Quran versinya. Upaya pembukuan Quran selanjutnya dilakukan di bawah kekuasaan Abu Bakar atas desakan Umar. Pada saat itulah qurra, yakni orang2 yang hafal bagian bagian Quran, terbunuh di Perang Yamama, yaitu perang melawan nabi Arab lainnya, Musailamah. Kumpulan ayat ini disimpan oleh Abu Bakar, dan setelah kematiannya, lalu disimpan oleh Umar dan diserahkan pada anak perempuan Umar, Hafsa, yang juga adalah janda Muhammad.
Sahih Bukhari 61:509
Dikisahkan oleh Zaid bin Tsabit: Abu Bakar memanggilku ketika orang-orang Yamama telah dibunuh. (Aku pergi kepadanya) dan menemukan Umar bin Khattab duduk dengannya. Abu Bakar lalu menceritakan (padaku) percakapannya dengan Umar, “Umar telah datang padaku dan berkata: “Banyak yang qurra Quran yang tewas di Perang Yamama dan aku takut akan lebih banyak lagi qurra yang akan tewas di medan perang lain, sehingga sebagian besar Quran bisa hilang. Karena itu aku menganjurkanmu agar memerintahkan ayat-ayat Quran dikumpulkan.” Aku berkata pada Umar, “Bagaimana kau dapat berbuat sesuatu yang Rasulullah saja tidak lakukan?” .…
Lalu Abu Bakar berkata (pada Zaid); “Engkau adalah anak muda yang bijaksana dan kami tidak curiga apapun padamu, dan kau biasa menulis wahyu Ilahi bagi Rasulullah. Maka kau harus mencari (naskah yang terpisah-pisah) Quran dan mengumpulkannya menjadi satu buku.” Demi Allah, jika mereka memerintahkanku untuk menggeser salah satu gunung, ini tidak akan sesukar perintah mengumpulkan ayat-ayat Quran. Lalu aku berkata pada Abu Bakar, “Bagaimana kau dapat berbuat sesuatu yang Rasulullah saja tidak lakukan?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, ini adalah usaha yang baik.” Abu Bakar terus saja membujukku untuk menerima usulnya sampai Allah membuka hatiku seperti Dia telah membuka hati Abu Bakar dan Umar. Lalu aku mulai mencari ayat-ayat Quran dan mengumpulkannya dari (yang ditulis di) tangkai palem, batu-batu tulis dan juga orang-orang yang mengingatnya dalam hati, sampai aku menemukan ayat akhir dari Surat At-Taubah dari Abi Khuzaima Al-Ansari, dan aku tidak menemukan ayat ini pada orang lain.…. Lalu naskah2 lengkap Quran disimpan Abu Bakar sampai dia mati, lalu disimpan Umar sampai akhir hidupnya, dan kemudian disimpan Hafsa, anak perempuan Umar. (13)
Hadis sahih di atas dan hadis yang lain yang sama pesannya menunjukkan bahwa perlu banyak usaha untuk mengumpulkan ayat2 Quran karena beberapa ayat hanya diingat oleh satu orang dan tidak ada orang lain yang mengingatnya. Apakah Zaid memang orang yang tepat untuk melaksanakan pembukuan Quran melebihi yang telah dilakukan Ali bin Abu Thalib dahulu? Zaid juga bukanlah orang yang dianjurkan Muhammad untuk mengajar Quran pada muslim lain.
Sahih Bukhari 61:521
Dikisahkan oleh Masriq: Abdullah bin Amr mengingatkan Abdullah bin Masud dan berkata, "Aku akan mencintai orang itu selamanya, karena aku mendengar sang Nabi berkata, “Belajarlah Quran dari empat orang ini: Abdullah bin Masud, Salim (Mawla Abu Hudhayfa / bin Ma’qil), Mu'adh (bin Jabal) dan Ubai bin Ka'b (14).
Akhirnya Zaid bin Tsabit berhasil membukukan Quran versinya, Quran versi Zaid jilid pertama ini dikemudian hari disebut sebagai mushaf Hafsa dikarenakan Hafsa sebagai penyimpan terakhir. Quran versi Zaid tersebut tidak disebarkan dikalangan umat, dan pada kenyataannya banyak versi Quran lain yang beredar pada saat itu, selain disebabkan Quran diturunkan dalam tujuh huruf, tiap tiap guru agama juga memiliki versi Qurannya masing masing. Salim ibin Ma‘qil dikisahkan memiliki versi Qurannya sendiri, sayangnya sebagai qurra ternama ia tewas saat perang Yamama. Ubai bin Ka'b, seorang guru lainnya yang direkomendasikan Muhammad, memiliki versi Quran lain, yang susunan dan isinya berbeda dengan Quran masa kini, salah satu perbedaannya adalah terdapat tambahan dua surat, yaitu surat Al-Khal dan Al-Hafd. Guru Quran yang lain seperti Abdullah bin Masud juga memiliki Quran versinya sendiri, dimana 3 surat dalam Quran versi Zaid yang menjadi Quran masa kini, yaitu surat al-Falaq, al-Naass, dan al-Fatihah tidak diakui sebagai surat dalam Quran versi bin Masud. (15)
Dimasa pemerintahan berikutnya, yaitu Khalifah Utsman, dilakukan standarisasi Quran, mengingat begitu banyak versi Quran yang beredar, yang berbeda baik qiraat, isi dan susunan. Bukhari meriwayatkan bahwa Utsman membentuk panitia untuk menyatukan berbagai versi Quran dengan memakai mushaf hasil pengumpulan Zaid dijaman Abu Bakar dahulu sebagai patokan. Salah satu keputusan kontoversial Utsman adalah menyatukan berbagai macam bacaan Quran menjadi satu bacaan, yaitu dialek Quraish. Karena Zaid bin Tsabit adalah seorang Ansar, bukan kaum Quraish, ia dibantu oleh tiga orang lainnya yang berasal dari suku Quraish. Selesai melakukan penyeragaman dialek pada mushaf Hafsa menjadi dialek Quraish, Utsman mengambil keputusan kontroversial lainnya, yaitu memerintahkan pembakaran seluruh Quran yang berbeda dengan Quran versi Zaid jilid kedua tersebut, atau yang sering disebut sebagai mushaf Utsmani, atau mushaf Al-Imam. Penyeragaman berbagai bacaan dan pembakaran berbagai versi Quran tersebut nampaknya justru bertentangan dengan klaim Quran sendiri yang dikatakan senantiasa terjaga dan terpelihara oleh Allah, padahal disisi lain diriwayatkan bahwa Allah telah menurunkan Quran kedalam tujuh huruf.
Meskipun mendapat tantangan dari beberapa sahabat, seperti Ibn Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari, mushaf Utsman yang tidak disahkan oleh para guru Quran terbaik tersebut pada akhirnya berhasil menyingkirkan Quran Quran versi lain. Dengan dukungan otoritas politik bani Umaiyah dan bani Abbasiyah, mushaf Utsman berhasil memantapkan diri sebagai bacaan Quran standar yang disepakati. Walau Utsman memerintahkan penghancuran Quran non Utsmani, namun beberapa bagian dari versi Quran lain ternyata selamat. Quran versi Utsman yang tersebar dan menjadi rujukan bacaan (qiraat) tersebut awalnya ditulis dalam aksara Arab yang primitif, yaitu aksara Arab pra kufic hijazi, yang kemudian mengalami proses evolusi yang panjang, melalui perdebatan dan pertikaian para ulama hingga terbentuk menjadi aksara Arab Quran seperti sekarang ini.
Quran yang ditulis dalam aksara Arab primitif tersebut kemudian memunculkan masalah lain karena menimbulkan beragam makna yang berbeda akibat tidak adanya titik dan harakat (arab gundul) serta penggunaan huruf yang sama untuk menyebut berbagai kata yang berbeda. Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi. Masalah diperuncing dengan adanya perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Utsmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.
Bagi sebagian orang yang terdidik dan belajar dari guru qiraat, Quran Utsman ini dapat dipahami maknanya dengan benar, namun bagi kebanyakan orang Arab sekalipun, Quran Utsman ini sukar dipahami dan multi tafsir. Karenanya pada pemerintahan Muawiyah, Abu Aswad Al-Duali mencontoh aksara Aram dengan membubuhkan syakal (tanda baca/harakat) pada huruf hijaiah untuk mempermudah membaca Quran dan meminimalisir kesalahan baca. Ia dianggap sebagai orang yang pertama kali mendefinisikan tata bahasa Arab dan mendapat julukan bapak bahasa Arab.
Pengembangan aksara Arab berikutnya dilakukan pada masa pemerintahan Abdul Malik Bin Marwan, karena huruf-huruf yang bentuknya sama dan ejaannya berbeda seringkali masih membingungkan. Oleh karena itu Nasr Bin ‘Ashim dan Yahya Bin Ya’mar memberi tanda berupa garis pendek yang diletakkan di atas atau di bawah huruf. Namun penambahan garis juga menimbulkan kesulitan baru, dengan semakin banyaknya titik dan garis. Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh al-Khalil Bin Ahmad, yang menyempurnakan tanda hamzah, tasydid, raum, dan isymam. Setelah berkembangnya ilmu tajwid pada masa Khalifah Abbasiyah, barulah tanda tajwid, tanda washal, atau waqaf dibubuhkan dalam Quran.
Belum sempurnanya aksara Arab pada salinan-salinan mushaf yang disebar ke berbagai daerah mengakibatkan banyaknya versi bacaan pada Quran Utsman tersebut, sehingga pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid melakukan penertiban. Setelah membandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian qiraat dari para tokoh qiraat ternama. Ketujuh mushaf versi Ibn Mujahid tersebut memberikan 14 kemungkinan qiraat karena masing-masing dari ketujuh mushaf itu bisa dilacak kepada dua perawi berbeda. Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan versi-versi lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, sehingga terjadilah inkuisisi (pengadilan agama) terhadap Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun, reaksi para ulama tersebut tidak banyak berpengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima oleh banyak orang. Pada akhirnya 3 versi bertahan, versinya Warsh (812) milik Nafi dari Medina, Hafs (805) milik Asim dari Kufa, dan al-Duri (860) milik Abu Amr dari Basra. Di jaman sekarang, hanya tinggal 2 versi yang terus digunakan. Yaitu versi Asim dari Kufa lewat Hafs, yang diberikan ijin resmi dengan diadopsi sebagai Quran edisi Mesir tahun 1924, dan milik Nafi lewat Warsh, yang digunakan di bagian bagian benua Afrika selain Mesir.
Pencetakan Quran di Mesir antara tahun 1923-1924 adalah upaya yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Quran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Quran Edisi Mesir itu merupakan versi Quran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim. Keberhasilan penyebarluasan Quran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa2 sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Quran versi Zaid jilid dua atau biasa disebut mushaf al-Imam adalah karya institusi yang didukung oleh penguasa politik.
Apakah pengetahuan Zaid terhadap Quran lebih baik daripada para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Masud, ataupun Ubai bin Ka'b? Pemilihan Zaid bin Tsabit oleh Abu Bakar dan Utsman sebagai pemimpin pembukuan dan standarisasi Quran jelas tak lepas dari unsur politik, suka tidak suka dan loyalitas. Zaid dikenal loyal kepada Utsman, bahkan selepas kematian Utsman, ia tidak mau berbaiat atas kepemimpinan Ali. Sebaliknya, Ubai bin Ka'b sepaham dengan Ali bin Abi Thalib yang pada awalnya menolak berbaiat pada Abu Bakar. Sedangkan Ibn Masud seringkali berselisih dengan Utsman saat Utsman menjabat kekhalifahan.
Apakah benar Zaid berhasil mengumpulkan seluruh Quran, mengingat Zaid pernah mendapatkan sebuah ayat yang hanya dihafal oleh satu orang? Bukankah kekhawatiran Umar jika ayat – ayat Quran hilang bersama tewasnya para qurra dalam peperangan sangat mungkin terjadi, sedangkan Quran versi Zaid tersebut diklaim hanya sepertiga dari Quran versi Ali bin Abi Thalib. Seperti juga ayat rajam yang diingat Umar dan Ubai bin Ka’b, namun tidak disertakan dalam Quran versi Zaid karena telah dinaskhkan. Atau pandangan sebagian golongan Muktazilah yang meragukan Quran versi Zaid karena bagi mereka, tidak mungkin wahyu yang mulia yang berasal dari “lauh mahfuzh” memuat hal-hal kotor seperti umpatan dan cacian kepada Abu Lahab, dsb.
Umar bin Khattab pernah mengatakan; "Janganlah ada diantara kalian yang mengatakan bahwa ia mendapatkan seluruh Quran, karena bagamana ia tahu bahwa itu memang keseluruhannya? Banyak dari Quran telah hilang. Oleh karena itu, kalian harus mengatakan “Saya mendapatkan sebagian Quran yang ada" (16)
• Keotentikan mushaf Utsmani dikuatkan dengan sanad, riwayat dari ribuan perawi Quran
Apakah klaim Quran masa kini yang dikuatkan ribuan sanad memiliki nilai kebenaran? Sebelumnya harus dipilah, apakah sanad tersebut terkait matan dan susunan ayat dalam proses standarisasi yang dilakukan Zaid ibn Tsabit, atau terkait dengan sanad dari qiraat (bacaan)nya dalam standarisasi yang dilakukan Ibn Mujahid. Jika terkait matan dan susunan ayat, jelas kitab-kitab asbabun nuzul saja tidak mampu menyajikan riwayat semua ayat Quran. Terdapat sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat Quran. Apalagi begitu banyak versi Quran yang diklaim memiliki keotentikannya masing-masing yang justru memiliki isi dan susunan yang berbeda dengan mushaf Utsmani. Kita juga tidak bisa menemukan detail riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini dan sebagainya. Bahkan kitab-kitab yang menjelaskan secara rinci sejarah Quran seperti al-Itqan/al-Tahbîr (al-Suyuthi) pun tidak memuat detail penempatan ayat-ayat Quran.
Hal yang sama juga terjadi pada qiraat mushaf Utsmani yang sanadnya diklaim tersambung hingga Muhammad. Jika matan dan susunan ayatnya saja sukar dibuktikan keotentikannya, apalagi ragam bacaannya. Pada kenyataannya sebelum Ibn Mujahid membakukan ketujuh varian qiraat, terdapat puluhan qiraat versi lain yang mengklaim sebagai versi paling mutawatir, namun lagi-lagi yang menentukan adalah persektif Ibn Mujahid yang didukung oleh penguasa saat itu.
Pemilihan tujuh qiraat oleh Ibn Mujahid didasari beberapa riwayat bahwa Quran diturunkan dalam tujuh ahruf. Dengan demikian jika dilacak dari dua jalur perawi maka terdapat 14 kemungkinan varian bacaan. Belum lagi bacaan masyhur dari tiga imam qiraat (qiraat al-Thalath) yang juga dapat dilacak dari dua jalur perawi sebagai tambahan versi qiraat oleh para ulama karena kelemahan sanad 7 varian qiraat pilihan Ibn Mujahid. Jadi setidaknya para sarjana qiraat telah memilah 20 kemungkinan varian qiraat mushaf Utsmani dari sepuluh imam qiraat terkenal (qiraat al-Asyr al-Kubra). Dari sisi pelacakan riwayat, standarisasi qiraat ini terjadi kurang lebih 300 tahun setelah pembakuan mushaf jilid kedua oleh Zaid bin Tsabit, sehingga dari begitu banyaknya versi qiraat pada abad kesepuluh, otoritas Islam memilih dua puluh versi yang diperkirakan mendekati tujuh qiraat yang diajarkan Muhammad.
Jika kita membaca biografi ketujuh imam qiraat tersebut akan terlihat bahwa mata rantai periwayatan yang bersifat mutawatir hanya berawal dari para imam kepada para perawi di bawahnya. Sementara kemutawatiran transmisi dari Muhammad kepada para imam tersebut nampak sangat meragukan dan dikategorikan sebagai periwayatan tunggal. Jadi klaim bahwa bacaan Quran Utsmani yang ada sekarang otentik dengan salah satu bacaan yang diajarkan Jibril kepada Muhammad adalah klaim kosong belaka, karena mata rantai perawinya tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk dipandang sebagai mutawatir, disisi lain justru terdapat qiraat qiraat yang rantai perawinya diklaim lebih jelas oleh sebagian ulama namun justru disisihkan oleh otoritas agama saat itu.
Berbeda dengan kaum Sunni, kaum Syiah tidak mengakui adanya tujuh varian bacaan, melainkan hanya ada satu qiraat yang diajarkan Jibril kepada Muhammad. Jika kaum Sunni konsekwen dengan keyakinan bahwa Quran diturunkan dalam tujuh qiraat bukankah lebih baik jika dilakukan standarisasi ulang terhadap Quran qiraat Asim riwayat Hafs yang dominan beredar dewasa ini dengan menyebar enam versi Quran yang lain, sehingga dengan demikian golongan ini tidak menjadi bagian dari golongan yang ingkar sunnah. Namun apakah ini mungkin, mengingat telah punahnya banyak varian qiraat akibat kesewenang-wenangan otoritas agama dimasa lampau.
• Penemuan Mushaf kuno (manuskrip) Quran membuktikan bahwa Quran lebih dijaga keotentikannya oleh Allah daripada kitab suci lainnya
Seperti halnya Quran, kitab suci agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Kristen juga memiliki sejarah kodifikasinya sendiri. Terdapat perbedaan perbedaan mendasar antara Quran dan Bible (Alkitab) sebagai sebuah kitab suci. Pertama, jika Quran dalam perspektif Islam dianggap sebagai kalam Allah, salinan dari Lauh Mahfuzh, kata demi kata, tidak demikian dengan Bible. Jika kita membaca buku buku sejarah Kristen, para pakar sependapat bahwa Bible adalah kumpulan kitab yang ditulis oleh berbagai penulis yang diilhami oleh Allah. Bible bukanlah kitab yang jatuh dari langit, sehingga isi, susunan, dan redaksional masing masing kitab tergantung pemikiran si penulis. Disisi lain, menurut perspektif Kristen, Kalam Allah tidak nuzul dalam bentuk bahasa dan tulisan dan menjadi sebuah kitab, namun Kalam Allah atau Firman itu nuzul sebagai seorang manusia, yaitu Isa Almasih. Jadi dalam pandangan orang Kristen Isa tidak pernah sekalipun membawa kitab bernama Injil, karena Isa sendirilah kalam Allah, Injil adalah kabar baik mengenai Isa, Firman Allah yang menjadi manusia.
Perbedaan kedua adalah jumlah penulis, rentang waktu penulisan, dan jumlah bahasa. Jika Quran hanya berasal dari satu orang yaitu Muhammad, dalam satu jaman, dan hanya satu bahasa, maka Bible ditulis setidaknya oleh 40 orang, dalam rentang penulisan ribuan tahun, dan ditulis dalam 3 bahasa berbeda, Aram, Ibrani, dan Yunani. Besarnya perbedaan ini mengakibatkan kompleksitas penafsiran dari Bible, dibandingkan Quran yang lebih sederhana.
Dalam Quran terdapat banyak ayat yang ditafsirkan sebagai dalil berubah dan diubahnya Taurat dan Injil (Bible). Meski demikian Quran sendiri tidak memberikan informasi mengenai bagian mana yang diubah dan siapakah yang merubah, sehingga hal ini memberi celah bagi sebagian kalangan untuk berspekulasi mengenai sebab dan siapa yang telah merubah Bible, dan yang paling sering menjadi tertuduh adalah Paulus dan pihak gereja Romawi. Namun ketika tuduhan ini diuji dengan membandingkan salinan salinan Bible Kuno dengan Bible masa kini, meski terdapat perbedaan tekstual namun bukanlah merupakan perbedaan signifikan.
Dead Sea Scrolls (17) misalnya, atau Naskah Laut Mati, yaitu naskah naskah kuno Bible dari gua Qumran bertarikh 300 tahun sebelum masehi, menunjukkan bahwa hampir 2300 tahun naskah Bible tetap terjaga keotentikannya, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam matan ayatnya. Sebagaimana Quran yang mengandung banyak perbedaan bacaan dalam berbagai mushafnya, Bible sebagai kitab yang lebih kuno juga mengalami hal yang sama. Perbedaan antara beberapa mushaf dalam Bible disebabkan oleh proses penyalinan yang hanya ditulis dengan tangan yang membutuhkan waktu lama dalam prosesnya, dan ongkos yang mahal untuk ukuran dijaman itu.
Contoh varian bacaan Bible misalnya terdapat dalam Lukas 2:21, disatu naskah ditulis dengan kata “digenapi”, satu naskah lain ditulis dengan “diselesaikan”, dan naskah lainnya ditulis “dilengkapi”. Karena Bible, khususnya Perjanjian Baru adalah dokumen kuno yang paling banyak salinan naskahnya, lebih dari 25.000 salinan yang terdiri dari ratusan ribu lembar dan naskah naskah tulisan tangan tersebut tetap terlestarikan hingga saat ini, sehingga para pakar Bible dapat mengidentifikasi ribuan variasi bacaan antar manuskrip tersebut. Namun dalam prakteknya, perbedaan varian bacaan antar manuskrip Bible tidak memiliki pengaruh apapun dalam dalam doktrin keagamaan (18).
Dalam konsep yang sedikit berbeda, varian bacaan juga menjadi masalah dalam sejarah standarisasi Quran. Dalam Islam perbedaan qiraat membawa pengaruh dalam praktek keagamaan, misalnya perbedaan qiraat dalam surat al Baqarah 5 tentang sholat, qiraat Ashim riwayat Syu‘bah membacanya wa arjulikum, sedangkan qiraat Ashim riwayat Hafs membacanya wa arjulakum. Bacaan pertama bermakna bahwa dalam berwudhu kaki hanya wajib diusap dengan air, seperti pengusapan pada kepala, yang menjadi pandangan golongan Syiah. Sedangkan bacaan kedua mengharuskan kaki dibasuh, seperti membasuh muka dan tangan, yang merupakan pandangan mayoritas kalangan Sunni.
Dalam mushaf Utsmani, perbedaan bacaan seperti ini eksis disemua qiraat dari sepuluh imam qiraat terkenal (qiraat al-Asyr al-Kubra), belum lagi varian qiraat lain yang dengan semena-mena disingkirkan oleh otoritas agama pada masa lalu. Pada masa kini tinggal 2 versi Quran yang beredar dimasyarakat umum, yaitu versi Hafs yang diedarkan secara luas dan versi Warsh yang hanya beredar disebagian Afrika Utara. Contoh perbedaan bacaan antara versi Hafs dan Warsh dapat dilihat misalnya di situs qurantext (19).
Selain perbedaan qiraat antar versi dalam mushaf Utsmani, penemuan Quran lain diluar mushaf Utsmani semakin menambah pengetahuan kita mengenai banyaknya perbedaan dalam berbagai versi Quran. Misalnya penemuan mushaf Quran di masjid Sanaa (20), di Yaman, yang jika diperbandingkan dengan mushaf Utsmani terdapat berbagai perbedaan, bukan hanya perbedaan qiraat, namun juga perbedaan kata, kalimat dan jumlah ayat. Quran Sanaa adalah sebuah palimpsest yaitu mushaf yang dituliskan di atas bahan yang sebelumnya sudah pernah ditulisi tulisan lain kemudian dicuci / dihilangkan tulisan lamanya. Jadi mushaf Sanaa terdiri dari dua tulisan Quran, tulisan bawah, yaitu tulisan Quran yang lama, yang terlihat remang-remang dan tulisan atas, yaitu tulisan baru yang menimpa tulisan lama, yang terlihat jelas dengan mata telanjang. Mushaf ini ditulis menggunakan huruf Arab gundul, tulisan atas menurut beberapa ahli meski tidak identik, serupa dengan mushaf Utsmani, sedangkan tulisan bawah, tulisan yang lebih awal adalah quran versi lain yang berbeda dengan mushaf Utsmani yang seringkali dikaitkan dengan mushaf Abdullah bin Masud atau Ubai bin Ka'b.
Penelitian radiokarbon terhadap tulisan bawah menunjukkan 75% kemungkinan bahwa mushaf tersebut berasal sebelum masa kekalifahan Utsman, sehingga menurut para ahli, meskipun bukan mushaf yang utuh, Quran Sanaa adalah mushaf pra Utsmani atau manuskrip Quran tertua didunia yang masih eksis, dibandingkan mushaf lain, seperti mushaf Birmingham, Samarkand, atau Topkapi. Sadeghi and Goudarzi dalam penelitiannya memberikan beberapa contoh perbedaan Quran Sanaa dengan Quran Mesir yang beredar dewasa ini, yang dapat kita lihat dalam situs Qurantext (21).
Elisabeth Puin di tahun 2009 menerbitkan hasil penelitiannya terhadap Quran Sanaa menyatakan bahwa terdapat banyak koreksi teks baik itu pada tulisan atas ataupun tulisan bawah, sehingga jika kita cermati terdapat empat kemungkinan versi Quran dalam mushaf Sanaa, tulisan bawah, sesudah dan sebelum koreksinya, serta tulisan atas dan koreksinya. Koreksi koreksi atas mushaf Sanaa ini bukan sebatas kesalahan penyalinan, namun merupakan penggantian kata atau kalimat. Karenanya Elisabeth menyatakan bahwa Quran adalah teks yang dibentuk melalui beberapa tahap pengembangan, bukan suatu teks final yang sudah terbentuk dijaman Muhammad. Pernyataan Elisabeth tersebut pada dasarnya sesuai dengan pendapat para sarjana muslim mengenai kodifikasi Quran.
Quran Sanaa adalah bukti fisik terhadap berbagai riwayat yang menyatakan bahwa terdapat beberapa versi Quran pada dekade awal lahirnya Islam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernyataan mengenai tradisi lisan dari berbagai perawi dapat dijadikan bukti keotentikan Quran, adalah pernyataan kosong belaka. Contohnya jika hal tersebut ditujukan pada mushaf Sanaa, maka klaim kemutawatiran riwayat tersebut dapat dikenakan baik pada tulisan atas ataupun tulisan bawah. Lalu versi manakah dari Quran Sanaa yang benar benar identik dengan 7 versi Quran yang diturunkan pada Muhammad? Lagi lagi pernyataan mengenai tidak adanya tahrif Quran, adalah self proclaim Quran sendiri, hal yang tidak bisa dibuktikan secara keilmuan, namun wajar dalam doktrinisasi keagamaan.
Jika ditelaah secara mendalam ungkapan ungkapan mengenai keajaiban dan mujizat Quran, tantangan membuat ayat serupa Quran atau mengenai tidak berubahnya Quran hanya ungkapan sebatas angan angan keagamaan, sebagai bagian dari propaganda agama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahasa Quran identik dengan karya karya sastra Arab pada masa pra Islam, meski Quran seringkali diklaim sebagai kiblat tatabahasa Arab, namun jika dicermati justru terdapat banyak kesalahan tatabahasa didalamnya, hal tersebut akan dibahas diartikel lain di situs ini. Banyak kata dalam Quran yang merupakan serapan dari bahasa asing, khususnya dari bahasa Habasyah dan Yunani, yang akar katanya tidak ditemukan dalam bahasa rumpun semitik.
Quran bukan hanya produk agama, namun juga adalah produk politik. Sejarah mencatat bahwa peranan penguasa dominan dalam pembentukan Quran, penyusunannya dilakukan saat Islam tengah gencar menaklukkan dan menjajah wilayah disekitar Arabia. Ayat Quran adalah pengobar semangat pasukan muslim untuk rela mati dalam menaklukan kaum ahlul kitab dan membunuh para kafir dengan janji janji harta rampasan dan bidadari surgawi. Dimasa kini, Quran masih saja menjadi landasan kekerasan dengan alasan membela Allah, entah itu terorisme, bom bunuh diri, ataupun separatis Islam. Meski sebagian muslim menyangkal ajaran kekerasan dalam Quran dengan membuat tafsir tafsir baru mengenai damainya Islam, namun kenyataan berkata sebaliknya, dimana para muslim kaffah seperti Amrozi, Imam Samudra atau teroris-teroris Islam lainnya justru menunjukkan ajaran Quran yang sesungguhnya, dengan mengikuti pola yang sama yang dilakukan penguasa Islam dimasa lalu. Dalam hal ini benar kata peribahasa, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Artikel terkait:
KESALAHAN KATA DAN TATABAHASA AL-QURAN
Referensi:
(1) http://www.islamawareness.net/Deviant/Shia/shia_quran.html
(2) https://www.al-islam.org/tahrif/
(3) http://sunnah.com/bukhari/66/60
(4) http://sunnah.com/muslim/6/265
(5) http://sunnah.com/abudawud/2/633
(6) http://sunnah.com/bukhari/66/12
(7) http://sunnah.com/urn/44660
(8) http://sunnah.com/urn/44690
(9) http://sunnah.com/bukhari/44/9
(10) Ushul Kafi, kitab Fadhlul Al Quran, bab An Nawadir 2/134
(11) Shi’ite Creed (al-I’tiqadat al-Imamiyyah), by Shaykh Saduq, English version, pp 78-79.
(12) Al-Shaharistani, Muhammad bin 'Abd al-Karim, Mafatih al-Asrar, vol. 1, pp. 119-121.
(13) http://sunnah.com/bukhari/66/8
(14) http://sunnah.com/bukhari/66/21
(15) As-Suyuti, Al-Itqan fii Ulum al-Qur'an, p.153
(16) As-Suyuti, Al-Itqan fii Ulum al-Qur'an, page 72
(17) https://id.wikipedia.org/wiki/Naskah_Laut_Mati
(18) https://en.wikipedia.org/wiki/Textual_variants_in_the_New_Testament
(19) http://www.qurantext.org/qiraat.html
(20) https://en.wikipedia.org/wiki/Sana'a_manuscript
(21) http://www.qurantext.org
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al Anaam : 115)
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS Al Hijr : 9)
Apakah pendapat mengenai tidak adanya tahrif Quran sesuai dengan fakta atau hanya keyakinan kosong belaka? Quran menyatakan bahwa kitab ini merupakan salinan dari kitab yang ada disurga (Lauh Mahfuzh), sehingga Jibril mewahyukan kepada Muhammad, dan Muhammad mengingat tanpa terlupa sebuah katapun. Jika kita kaji lebih dalam, keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin2 Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
Mayoritas sarjana muslim berpendapat bahwa kata Quran berasal dari kata kerja qara’a (membaca), sehingga Quran diartikan sebagai bacaan. Kata Quran ini adalah derivasi (isytiqâq) dari bahasa Aram, qeryana, yang juga berarti bacaan. Qeryana adalah nama bacaan ibadah umat Nasrani Syria, berdasar hal ini para orientalis berpendapat bahwa nama Quran sebelum diambil menjadi nama kitab suci dalam Islam adalah nama bacaan umat Nasrani Arab pra Islam sebelum lahirnya Muhammad.
Terlepas dari asal muasalnya, artikel ini akan fokus untuk membahas sejarah kitabah Quran (pencatatan) dan tadwin Quran (pembukuan), hingga menjadi sebuah kitab seperti yang kita pegang sekarang ini. Dimana sebagian golongan dalam Islam mempercayai terdapat perubahan dalam Quran, dan sebagian golongan lainnya meyakini bahwa tidak ada perubahan setitikpun dalam Quran semenjak diturunkan oleh Jibril. Singkatnya, para ulama penentang adanya tahrif Quran memiliki beberapa pendapat mengenai keotentikan Quran;
• Muhammad secara sempurna menghafal dan mengingat ayat2 Quran yang disampaikan Jibril kepadanya.
• Quran adalah 100% firman Allah. Muhammad hanya mengucapkan ulang ayat2 Quran kepada para pengikutnya, dari apa yang ia terima tanpa pengaruh pikiran atau pendapat pribadinya
• Hanya ada satu versi Alquran.
• Mushaf Utsman adalah kitab yang sempurna, lengkap tanpa bertambah atau berkurang satu ayat pun seperti yang diwahyukan kepada Muhammad
• Keotentikan mushaf Utsmani dikuatkan dengan sanad, riwayat dari ribuan perawi Quran
• Quran lebih dijaga keotentikannya oleh Allah daripada kitab suci lainnya
Apakah pendapat2 tersebut tepat adanya? Jawabannya tentu tergantung subyektifitas masing2. Karenanya kita akan melakukan kajian mengenai bagaimana proses penyusunan Quran berdasar sumber sumber Islam.
Berikut adalah penjelasan mengenai klaim atau pendapat yang seringkali diungkapkan sebagian ulama penentang adanya tahrif ;
• Muhammad secara sempurna menghafal Quran yang diwahyukannya kepadanya.
Dikisahkan Aisha; Nabi mendengar seorang pria membaca Quran di masjid dan beliau berkata, " Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada dirinya , karena ia telah mengingatkan saya ayat-ayat pada sebuah Surah. (3)
Aisha melaporkan bahwa Rasulullah mendengar seseorang membaca Quran di malam hari. Setelah itu Rasulullah berkata : Semoga Allah menunjukkan belas kasihan kepadanya, ia telah mengingatkan saya ayat tersebut, yang telah ku lewatkan ayat pada surah tersebut. (4)
Abdullah bin Masud mengatakan ; Rasulullah memimpin kita shalat lima rakaat. Ketika beliau berpaling (selesai shalat), orang-orang saling berbisik. Rasulullah bertanya; ada apa dengan kalian? Mereka berkata: Rasulullah, apakah jumlah rakaat telah bertambah? Engkau telah melakukan lima rakaat shalat. Nabi kemudian berbalik dan melakukan dua sujud, dan setelah memberi salam, beliau kemudian berkata : Aku hanya seorang manusia, aku lupa, karena kamupun juga lupa. (5)
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula Muhammad, beberapa hadist menunjukkan bahwa Muhammad seringkali lupa pada ayat Quran yang pernah diucapkannya, itulah mengapa terdapat riwayat Jibril seringkali meninjau hapalan Quran Muhammad.
• Muhammad hanya mendiktekan Quran kepada para pengikutnya wahyu apa yang ia terima tanpa pengaruh pikiran pribadinya ataupun orang lain.
Diriwayatkan dari Al Barra Ibn Azib: dia berkata, “Ketika turun ayat ‘Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah ….’ Nabi memanggil Zaid dan memerintahkannya membawa alat tulis, lalu Nabi berkata; Tulislah: ‘Tidaklah sama antara mukmin yang duduk, dengan orang-orang ….’ Saat itu Ibnu Ummi Maktum, orang buta yang duduk dibelakang nabi berkata, “Oh Rasulullah! Apa pendapat anda terhadapku (sehubungan dengan ayat tersebut) sebab aku orang buta? Jadi bukan ayat di atas, lalu ayat berikut diturunkan; Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah ( QS 4.95 ). (6)
Benarkah Quran adalah salinan kitab di surga (Lauh Mahfuzh), ketika pendapat seorang buta dapat merubah wahyu yang disampaikan Jibril?
Sahih Bukhari, Volume 6, Book 60, Number 311
Diceritakan oleh Aisha: Aku memandang rendah wanita2 yang memberikan dirinya kepada Rasulullah dan aku katakan, "Dapatkah seorang wanita memberikan dirinya kepada seorang laki2 ? Tetapi ketika Allah mengungkapkan: "Kamu (Muhammad) dapat menunda giriran kepada saja yang kamu kehendaki atas istrimu, dan kamu boleh menerima siapapun yang kamu inginkan…" (QS 33.51) Aku berkata ( kepada Nabi), " Aku merasakan bahwa Allahmu bertindak cepat untuk memenuhi nafsu dan keingiananmu” (7)
Sahih Bukhari Book 60, Number 314:
Diriwayatkan Anas bin Malik; Ketika Rasulullah menikahi Zainab bint Jash, beliau mengundang orang-orang untuk makan daging. Merekapun makan-makan sambil duduk dan mengobrol. Lalu Nabi memberi tanda bahwa ia telah siap untuk berdiri (dengan tujuan untuk menyuruh mereka pulang), namun mereka tetap saja masih duduk. Ketika Nabi melihat orang-orang tidak merespon tindakannya, ia kemudian bangkit berdiri dan keluar, lalu orang-orang juga beranjak dari duduknya, kecuali 3 orang yang masih tetap duduk. Rasulullah kembali masuk, namun langsung keluar rumah lagi. Melihat itu tiga orang tersebut akhirnya pergi, aku kemudian berkata pada Nabi bahwa orang-orang tadi telah pergi, Nabi lalu melangkah untuk memasuki rumahnya. Aku berniat masuk kerumah bersama Nabi, namun beliau menurunkan tirai diantara aku dan beliau. Kemudian Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi …. (QS 33:53).” (8)
Hadist diatas menceritakan mengenai menit menit menjelang malam pertama Muhammad dengan Zainab, bekas menantunya.
• Hanya ada satu versi Quran.
Sahih Bukhari 41:601,
Dikisahkan oleh 'Umar bin Al-Khattab: Aku dengar Hisham bin Hakim bin Hizam melafalkan Surat al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan caraku. Rasulullah telah mengajarkan padaku (dengan cara yang berbeda). Lalu, aku hampir saja bertengkar dengan dia (pada saat shalat) tapi aku tunggu sampai dia selesai, lalu aku ikat bajunya di sekeliling lehernya dan kuseret dan kubawanya menghadap Rasulullah dan berkata, “Aku telah mendengar dia melafalkan Surat al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan yang kau ajarkan padaku.” Sang Rasul menyuruhku melepaskan dia dan meminta Hisham melafalkannya. Ketika dia melakukan itu, Rasulullah berkata, “Itu (Surat al-Furqan ) benar dilafalkan begitu.” Sang Rasul lalu meminta aku melafalkannya. Ketika aku melakukannya, dia berkata, “Itu benar dilafalkan begitu. Qur’an telah dinyatakan dalam tujuh cara yang berbeda, jadi lafalkan dengan cara yang mudah bagimu.” (9)
Terdapat banyak riwayat dari berbagai perawi tentang hal ini, sehingga hadist-hadist mengenai Quran dalam 7 versi ini derajatnya hampir mutawattir. Umar bin Al-Khattab dan Hisham bin Hakim berasal dari suku yang sama yaitu Quraish, apakah mereka berbeda dialek (lahjah), hingga terjadi perseteruan diantara mereka? Jika tidak lalu seperti apakah Quran dengan 7 cara berbeda itu? Ada berbagai pendapat mengenai kata “Al-Ahruf” yang pada hadist diatas kami terjemahkan dengan kata “cara”. Al-Ahruf adalah bentuk jamak dari huruf. Terdapat banyak penafsiran mengenai Quran diturunkan dengan 7 huruf tersebut, ada yang mengartikan sebagai 7 qiraat (bacaan), adapula yang mengartikan 7 bahasa, tetapi tetap saja tidak ada kesepakatan mengenai arti 7 huruf tersebut, mengingat Muhammad diklaim sebagai orang buta huruf.
Kaum Sunni meyakini bahwa semasa Muhammad hidup, Quran sudah terdiri dari 7 huruf atau versi, entah versi apakah yang dimaksud, karena dikemudian hari Khalifah Utsman memerintahkan pembakaran berbagai macam versi Quran ini, namun apakah versi versi yang diperintahkan dibakar tersebut benar benar berhasil dibakar? Kita buktikan nanti! Namun dengan membakar beragam versi ini Utsman melawan maksud Muhammad yang meminta Jibril agar Quran diturunkan dalam tujuh huruf? Wallahualam. Perlu dibedakan mengenai 7 versi Quran menurut Muhammad tersebut bukanlah 7 imam yang terkenal sebagai ahli qiraat (imam Qiraat As-Sab'ah) dengan ragam bacaannya.
• Mushaf Utsman adalah kitab yang sempurna, lengkap tanpa bertambah atau berkurang satu ayat pun seperti yang diwahyukan kepada Muhammad.
Umat Islam mengimani jika Muhammad adalah seorang yang buta huruf, sehingga penulisan Quran dilakukan oleh para sahabat dan murid Muhammad. Tulisan Quran dalam berbagai media seperti kulit binatang, pelepah pohon, dsb tersebut tersebar diberbagai tempat, sehingga beberapa orang memiliki beberapa bagian ayat, dan orang yang satu juga memiliki bagian tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Dan tentu pada saat tersebut tidak ada satupun orang yang hafal Quran secara lengkap, karena proses turunnya wahyu masih berlangsung hingga kematian Muhammad. Beberapa orang mengingat bagian ayat atau surah tertentu, dan sebagian lainnya tidak, dan selama proses turunnya ayat sebelum kematian Muhammad masih terjadi penyisipan ayat pada surah tertentu, penggantian ayat (nasakh mansuf), dsb.
Beberapa ulama berpendapat bahwa Quran susunannya sudah ditentukan oleh Allah, bukan ijtihad para sahabat. Namun kepastian seperti apa urutan yang benar hanya Muhammad yang tau. Kita tidak dapat menemukan riwayat yang mengatakan detail bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini, surat sekian setelah atau sebelum surat sekian, dsb. Sedangkan mengenai ayat paling awal dan akhir dalam Quran saja terdapat berbagai perbedaan pendapat, jumhur sunni berbeda dengan jumhur syiah, apalagi urutan surat dan ayat didalamnya.
Pendapat pertama mengenai ayat yang diturunkan paling awal adalah Iqra (QS Al Alaq: 1-5), pendapat ini dikisahkan Ibnu Ishaq dan beberapa hadist. Pendapat kedua adalah dengan sanad dari Yahya bin Abi Kathir, bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat Al Muddatstsir; Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Pendapat ketiga adalah surat Al-Fatihah menurut pendapat Al-Bayhaqi. Pendapat keempat adalah kalimat Bismillaahirrahmaanir-rahiim menurut pendapat al-Wahidi, dan pendapat kelima adalah ayat yang didukung As-Suyuti, yaitu mengenai surga dan neraka yang sanadnya berasal dari Aisyah. Sedangkan mengenai ayat yang paling akhir diturunkan setidaknya terdapat delapan pendapat berbeda, yang dapat kita temukan dalam kitab-kitab tradisional Islam.
Perbedaan lain mengenai susunan Quran adalah urutan surat-suratnya, setidaknya terdapat 4 pendapat berbeda mengenai urutan surat Quran sebelum masa standarisasi yang dilakukan Utsman. Berikut urutan 5 surat pertama menurut masing masing sahabat; Pendapat Ali bin Abu Talib, yaitu dari yang pertama hingga surat kelima, Al Baqarah, Yusuf, Al Ankabut, Al Rum, dan Luqman. Pendapat Ibn Abbas, yaitu Al Alaq, Al Qalam, Adh Dhuha, Al Muzammil, dan Al Mudatasir. Pendapat Ubay bin Kaab, yaitu Al Fatihah, Al Baqarah, An Nisa, Ali Imran, dan Al Anam. Pendapat Ibn Mas’ud, yaitu Al Baqarah, An Nisa, Ali Imran, dan Al Anam. Ali dan Ibnu Abbas mengurutkan berdasar kronologi urutan turunnya (tartib nuzul), sedangkan Ubay dan Mas’ud berdasar panjang – pendek surat. Bandingkan dengan Quran masa kini, yaitu cetakan Kairo 1924 yang kita yakini sebagai mushaf Utsman, yaitu Al Fatihah, Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa, dan Al Maidah.
Menurut riwayat sebuah hadist, Jibril melakukan peninjauan Quran yang telah diturunkan kepada Muhammad setahun sekali, namun seperti apa detail bentuk peninjauan tersebut tidak diceritakan, apakah Jibril mengulang ke 7 versi yang telah diturunkan baik susunan, urutan, bacaan, atau bagaimana? Jika peninjauan Quran tersebut benar terjadi seharusnya tidak terdapat silang pendapat antar para sahabat mengenai susunan Quran, jumlah ayat, dsb.
Mayoritas golongan dalam Islam menyakini bahwa semasa Muhammad hidup tidak ada upaya pembukuan ayat-ayat Quran dalam sebuah kitab yang utuh. Alasannya wahyu masih turun hingga kematian Muhammad, sehingga ayat-ayat lama masih dimungkinkan untuk disisipi ayat lain atau direvisi (nasakh mansuf). Pembukuan Quran semasa Muhammad hidup sebenarnya bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan, karena jika terdapat sisipan ayat ataupun proses nasakh mansuf Muhammad tinggal melakukan update, seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib terhadap mushaf Quran versinya. Pembukuan Quran tidak dilakukan karena memang Muhammad tidak ingin melakukannya, karena begitu banyak versi yang telah beredar yang kemungkinan jika disatukan dalam satu buku dapat menyebabkan perpecahan dan fitnah diantara umat.
Setelah kematian Muhammad, Ali bin Abi Talib sesuai wasiat Muhammad melakukan pengumpulan Quran menurut pengertiannya sesuai yang diajarkan Muhammad. Quran versi Ali, atau sering disebut mushaf Ali atau mushaf Fatimah tersebut berbeda dengan Quran yang beredar sekarang, baik dalam hal urutan surat, ataupun matan ayat didalamnya. Dalam hadist hadist Syiah, riwayat mengenai adanya mushaf Ali telah mencapai derajat mutawatir. Namun mengenai perbedaannya dengan Quran masa kini masih terjadi perselisihan. Al Kulaini misalnya, dalam kitab Al Kafi meriwayatkan bahwa Quran yang dibawa Jibril kepada Muhammad adalah tujuh belas ribu ayat, sehingga jika diperbandingkan, Quran Ali lebih tebal 3 kali lipat daripada Quran yang beredar sekarang. (10). Pendapat lain diungkapkan Ibnu Babawaih, sebagai penentang adanya tahrif Quran ia menyatakan bahwa Jibril memang menurunkan tujuh belas ribu ayat, namun ayat Quran yang diturunkan persis sama dengan Quran masa kini, sedangkan ayat lain yang diturunkan bukanlah Quran melainkan tanzil dan takwil (11).
Selesai mengumpulkan mushaf-mushaf Quran, Ali meletakkan Quran versinya diatas punggung unta dan membawanya ke masjid. Ketika itu para sahabat sedang mengelilingi Abu Bakar, Ali mengungkapkan kepada mereka bahwa ia telah mengumpulkan Quran seperti yang diwasiatkan Muhammad, namun Abu Bakar dan sahabat yang lain menolaknya, seseorang berkata “kami tidak membutuhkan apa yang kamu bawa. Cukup bagi kami apa yang ada bagi kami.” Mendengar respon seperti itu, Ali berkata ”mulai saat ini kalian tidak akan pernah melihat Quran ini lagi.” (12)
Apakah alasan orang-orang menolak mushaf Ali? Tidak terdapat jawaban pasti atas hal ini. Apakah terkait kurangnya pengetahuan Ali terhadap Quran dan kandungannya, apakah karena Muhammad saja tidak pernah melakukan perintah pembukuan Quran, ataukah karena sebab politis? Perlu diketahui saat pengumpulan Quran tersebut, Ali belum membaiat Abu Bakar, baik Ali dan Fatimah, putri Muhammad masih bersitegang dengan Abu Bakar dan pendukungnya. Menurut hadist Syiah, Ali dan Fatimah menganggap Abu Bakar telah mengkudeta Ali sebagai pemimpin yang sah yang telah dipilih Allah pasca kematian Muhammad. Sesaat setelah kematian Muhammad, Abu Bakar dan pendukungnya justru sibuk melakukan pemilihan pemimpin disaat Ali dan keluarganya sedang sibuk melakukan prosesi pemakaman Muhammad.
Setelah peristiwa penolakan tersebut, Ali tidak pernah lagi memperlihatkan Quran versinya. Upaya pembukuan Quran selanjutnya dilakukan di bawah kekuasaan Abu Bakar atas desakan Umar. Pada saat itulah qurra, yakni orang2 yang hafal bagian bagian Quran, terbunuh di Perang Yamama, yaitu perang melawan nabi Arab lainnya, Musailamah. Kumpulan ayat ini disimpan oleh Abu Bakar, dan setelah kematiannya, lalu disimpan oleh Umar dan diserahkan pada anak perempuan Umar, Hafsa, yang juga adalah janda Muhammad.
Sahih Bukhari 61:509
Dikisahkan oleh Zaid bin Tsabit: Abu Bakar memanggilku ketika orang-orang Yamama telah dibunuh. (Aku pergi kepadanya) dan menemukan Umar bin Khattab duduk dengannya. Abu Bakar lalu menceritakan (padaku) percakapannya dengan Umar, “Umar telah datang padaku dan berkata: “Banyak yang qurra Quran yang tewas di Perang Yamama dan aku takut akan lebih banyak lagi qurra yang akan tewas di medan perang lain, sehingga sebagian besar Quran bisa hilang. Karena itu aku menganjurkanmu agar memerintahkan ayat-ayat Quran dikumpulkan.” Aku berkata pada Umar, “Bagaimana kau dapat berbuat sesuatu yang Rasulullah saja tidak lakukan?” .…
Lalu Abu Bakar berkata (pada Zaid); “Engkau adalah anak muda yang bijaksana dan kami tidak curiga apapun padamu, dan kau biasa menulis wahyu Ilahi bagi Rasulullah. Maka kau harus mencari (naskah yang terpisah-pisah) Quran dan mengumpulkannya menjadi satu buku.” Demi Allah, jika mereka memerintahkanku untuk menggeser salah satu gunung, ini tidak akan sesukar perintah mengumpulkan ayat-ayat Quran. Lalu aku berkata pada Abu Bakar, “Bagaimana kau dapat berbuat sesuatu yang Rasulullah saja tidak lakukan?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, ini adalah usaha yang baik.” Abu Bakar terus saja membujukku untuk menerima usulnya sampai Allah membuka hatiku seperti Dia telah membuka hati Abu Bakar dan Umar. Lalu aku mulai mencari ayat-ayat Quran dan mengumpulkannya dari (yang ditulis di) tangkai palem, batu-batu tulis dan juga orang-orang yang mengingatnya dalam hati, sampai aku menemukan ayat akhir dari Surat At-Taubah dari Abi Khuzaima Al-Ansari, dan aku tidak menemukan ayat ini pada orang lain.…. Lalu naskah2 lengkap Quran disimpan Abu Bakar sampai dia mati, lalu disimpan Umar sampai akhir hidupnya, dan kemudian disimpan Hafsa, anak perempuan Umar. (13)
Hadis sahih di atas dan hadis yang lain yang sama pesannya menunjukkan bahwa perlu banyak usaha untuk mengumpulkan ayat2 Quran karena beberapa ayat hanya diingat oleh satu orang dan tidak ada orang lain yang mengingatnya. Apakah Zaid memang orang yang tepat untuk melaksanakan pembukuan Quran melebihi yang telah dilakukan Ali bin Abu Thalib dahulu? Zaid juga bukanlah orang yang dianjurkan Muhammad untuk mengajar Quran pada muslim lain.
Sahih Bukhari 61:521
Dikisahkan oleh Masriq: Abdullah bin Amr mengingatkan Abdullah bin Masud dan berkata, "Aku akan mencintai orang itu selamanya, karena aku mendengar sang Nabi berkata, “Belajarlah Quran dari empat orang ini: Abdullah bin Masud, Salim (Mawla Abu Hudhayfa / bin Ma’qil), Mu'adh (bin Jabal) dan Ubai bin Ka'b (14).
Akhirnya Zaid bin Tsabit berhasil membukukan Quran versinya, Quran versi Zaid jilid pertama ini dikemudian hari disebut sebagai mushaf Hafsa dikarenakan Hafsa sebagai penyimpan terakhir. Quran versi Zaid tersebut tidak disebarkan dikalangan umat, dan pada kenyataannya banyak versi Quran lain yang beredar pada saat itu, selain disebabkan Quran diturunkan dalam tujuh huruf, tiap tiap guru agama juga memiliki versi Qurannya masing masing. Salim ibin Ma‘qil dikisahkan memiliki versi Qurannya sendiri, sayangnya sebagai qurra ternama ia tewas saat perang Yamama. Ubai bin Ka'b, seorang guru lainnya yang direkomendasikan Muhammad, memiliki versi Quran lain, yang susunan dan isinya berbeda dengan Quran masa kini, salah satu perbedaannya adalah terdapat tambahan dua surat, yaitu surat Al-Khal dan Al-Hafd. Guru Quran yang lain seperti Abdullah bin Masud juga memiliki Quran versinya sendiri, dimana 3 surat dalam Quran versi Zaid yang menjadi Quran masa kini, yaitu surat al-Falaq, al-Naass, dan al-Fatihah tidak diakui sebagai surat dalam Quran versi bin Masud. (15)
Dimasa pemerintahan berikutnya, yaitu Khalifah Utsman, dilakukan standarisasi Quran, mengingat begitu banyak versi Quran yang beredar, yang berbeda baik qiraat, isi dan susunan. Bukhari meriwayatkan bahwa Utsman membentuk panitia untuk menyatukan berbagai versi Quran dengan memakai mushaf hasil pengumpulan Zaid dijaman Abu Bakar dahulu sebagai patokan. Salah satu keputusan kontoversial Utsman adalah menyatukan berbagai macam bacaan Quran menjadi satu bacaan, yaitu dialek Quraish. Karena Zaid bin Tsabit adalah seorang Ansar, bukan kaum Quraish, ia dibantu oleh tiga orang lainnya yang berasal dari suku Quraish. Selesai melakukan penyeragaman dialek pada mushaf Hafsa menjadi dialek Quraish, Utsman mengambil keputusan kontroversial lainnya, yaitu memerintahkan pembakaran seluruh Quran yang berbeda dengan Quran versi Zaid jilid kedua tersebut, atau yang sering disebut sebagai mushaf Utsmani, atau mushaf Al-Imam. Penyeragaman berbagai bacaan dan pembakaran berbagai versi Quran tersebut nampaknya justru bertentangan dengan klaim Quran sendiri yang dikatakan senantiasa terjaga dan terpelihara oleh Allah, padahal disisi lain diriwayatkan bahwa Allah telah menurunkan Quran kedalam tujuh huruf.
Meskipun mendapat tantangan dari beberapa sahabat, seperti Ibn Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari, mushaf Utsman yang tidak disahkan oleh para guru Quran terbaik tersebut pada akhirnya berhasil menyingkirkan Quran Quran versi lain. Dengan dukungan otoritas politik bani Umaiyah dan bani Abbasiyah, mushaf Utsman berhasil memantapkan diri sebagai bacaan Quran standar yang disepakati. Walau Utsman memerintahkan penghancuran Quran non Utsmani, namun beberapa bagian dari versi Quran lain ternyata selamat. Quran versi Utsman yang tersebar dan menjadi rujukan bacaan (qiraat) tersebut awalnya ditulis dalam aksara Arab yang primitif, yaitu aksara Arab pra kufic hijazi, yang kemudian mengalami proses evolusi yang panjang, melalui perdebatan dan pertikaian para ulama hingga terbentuk menjadi aksara Arab Quran seperti sekarang ini.
Quran yang ditulis dalam aksara Arab primitif tersebut kemudian memunculkan masalah lain karena menimbulkan beragam makna yang berbeda akibat tidak adanya titik dan harakat (arab gundul) serta penggunaan huruf yang sama untuk menyebut berbagai kata yang berbeda. Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi. Masalah diperuncing dengan adanya perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Utsmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.
Bagi sebagian orang yang terdidik dan belajar dari guru qiraat, Quran Utsman ini dapat dipahami maknanya dengan benar, namun bagi kebanyakan orang Arab sekalipun, Quran Utsman ini sukar dipahami dan multi tafsir. Karenanya pada pemerintahan Muawiyah, Abu Aswad Al-Duali mencontoh aksara Aram dengan membubuhkan syakal (tanda baca/harakat) pada huruf hijaiah untuk mempermudah membaca Quran dan meminimalisir kesalahan baca. Ia dianggap sebagai orang yang pertama kali mendefinisikan tata bahasa Arab dan mendapat julukan bapak bahasa Arab.
Pengembangan aksara Arab berikutnya dilakukan pada masa pemerintahan Abdul Malik Bin Marwan, karena huruf-huruf yang bentuknya sama dan ejaannya berbeda seringkali masih membingungkan. Oleh karena itu Nasr Bin ‘Ashim dan Yahya Bin Ya’mar memberi tanda berupa garis pendek yang diletakkan di atas atau di bawah huruf. Namun penambahan garis juga menimbulkan kesulitan baru, dengan semakin banyaknya titik dan garis. Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh al-Khalil Bin Ahmad, yang menyempurnakan tanda hamzah, tasydid, raum, dan isymam. Setelah berkembangnya ilmu tajwid pada masa Khalifah Abbasiyah, barulah tanda tajwid, tanda washal, atau waqaf dibubuhkan dalam Quran.
Belum sempurnanya aksara Arab pada salinan-salinan mushaf yang disebar ke berbagai daerah mengakibatkan banyaknya versi bacaan pada Quran Utsman tersebut, sehingga pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid melakukan penertiban. Setelah membandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian qiraat dari para tokoh qiraat ternama. Ketujuh mushaf versi Ibn Mujahid tersebut memberikan 14 kemungkinan qiraat karena masing-masing dari ketujuh mushaf itu bisa dilacak kepada dua perawi berbeda. Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan versi-versi lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, sehingga terjadilah inkuisisi (pengadilan agama) terhadap Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun, reaksi para ulama tersebut tidak banyak berpengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima oleh banyak orang. Pada akhirnya 3 versi bertahan, versinya Warsh (812) milik Nafi dari Medina, Hafs (805) milik Asim dari Kufa, dan al-Duri (860) milik Abu Amr dari Basra. Di jaman sekarang, hanya tinggal 2 versi yang terus digunakan. Yaitu versi Asim dari Kufa lewat Hafs, yang diberikan ijin resmi dengan diadopsi sebagai Quran edisi Mesir tahun 1924, dan milik Nafi lewat Warsh, yang digunakan di bagian bagian benua Afrika selain Mesir.
Pencetakan Quran di Mesir antara tahun 1923-1924 adalah upaya yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Quran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Quran Edisi Mesir itu merupakan versi Quran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim. Keberhasilan penyebarluasan Quran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa2 sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Quran versi Zaid jilid dua atau biasa disebut mushaf al-Imam adalah karya institusi yang didukung oleh penguasa politik.
Apakah pengetahuan Zaid terhadap Quran lebih baik daripada para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Masud, ataupun Ubai bin Ka'b? Pemilihan Zaid bin Tsabit oleh Abu Bakar dan Utsman sebagai pemimpin pembukuan dan standarisasi Quran jelas tak lepas dari unsur politik, suka tidak suka dan loyalitas. Zaid dikenal loyal kepada Utsman, bahkan selepas kematian Utsman, ia tidak mau berbaiat atas kepemimpinan Ali. Sebaliknya, Ubai bin Ka'b sepaham dengan Ali bin Abi Thalib yang pada awalnya menolak berbaiat pada Abu Bakar. Sedangkan Ibn Masud seringkali berselisih dengan Utsman saat Utsman menjabat kekhalifahan.
Apakah benar Zaid berhasil mengumpulkan seluruh Quran, mengingat Zaid pernah mendapatkan sebuah ayat yang hanya dihafal oleh satu orang? Bukankah kekhawatiran Umar jika ayat – ayat Quran hilang bersama tewasnya para qurra dalam peperangan sangat mungkin terjadi, sedangkan Quran versi Zaid tersebut diklaim hanya sepertiga dari Quran versi Ali bin Abi Thalib. Seperti juga ayat rajam yang diingat Umar dan Ubai bin Ka’b, namun tidak disertakan dalam Quran versi Zaid karena telah dinaskhkan. Atau pandangan sebagian golongan Muktazilah yang meragukan Quran versi Zaid karena bagi mereka, tidak mungkin wahyu yang mulia yang berasal dari “lauh mahfuzh” memuat hal-hal kotor seperti umpatan dan cacian kepada Abu Lahab, dsb.
Umar bin Khattab pernah mengatakan; "Janganlah ada diantara kalian yang mengatakan bahwa ia mendapatkan seluruh Quran, karena bagamana ia tahu bahwa itu memang keseluruhannya? Banyak dari Quran telah hilang. Oleh karena itu, kalian harus mengatakan “Saya mendapatkan sebagian Quran yang ada" (16)
• Keotentikan mushaf Utsmani dikuatkan dengan sanad, riwayat dari ribuan perawi Quran
Apakah klaim Quran masa kini yang dikuatkan ribuan sanad memiliki nilai kebenaran? Sebelumnya harus dipilah, apakah sanad tersebut terkait matan dan susunan ayat dalam proses standarisasi yang dilakukan Zaid ibn Tsabit, atau terkait dengan sanad dari qiraat (bacaan)nya dalam standarisasi yang dilakukan Ibn Mujahid. Jika terkait matan dan susunan ayat, jelas kitab-kitab asbabun nuzul saja tidak mampu menyajikan riwayat semua ayat Quran. Terdapat sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat Quran. Apalagi begitu banyak versi Quran yang diklaim memiliki keotentikannya masing-masing yang justru memiliki isi dan susunan yang berbeda dengan mushaf Utsmani. Kita juga tidak bisa menemukan detail riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian ditempatkan setelah ayat ini dan sebagainya. Bahkan kitab-kitab yang menjelaskan secara rinci sejarah Quran seperti al-Itqan/al-Tahbîr (al-Suyuthi) pun tidak memuat detail penempatan ayat-ayat Quran.
Hal yang sama juga terjadi pada qiraat mushaf Utsmani yang sanadnya diklaim tersambung hingga Muhammad. Jika matan dan susunan ayatnya saja sukar dibuktikan keotentikannya, apalagi ragam bacaannya. Pada kenyataannya sebelum Ibn Mujahid membakukan ketujuh varian qiraat, terdapat puluhan qiraat versi lain yang mengklaim sebagai versi paling mutawatir, namun lagi-lagi yang menentukan adalah persektif Ibn Mujahid yang didukung oleh penguasa saat itu.
Pemilihan tujuh qiraat oleh Ibn Mujahid didasari beberapa riwayat bahwa Quran diturunkan dalam tujuh ahruf. Dengan demikian jika dilacak dari dua jalur perawi maka terdapat 14 kemungkinan varian bacaan. Belum lagi bacaan masyhur dari tiga imam qiraat (qiraat al-Thalath) yang juga dapat dilacak dari dua jalur perawi sebagai tambahan versi qiraat oleh para ulama karena kelemahan sanad 7 varian qiraat pilihan Ibn Mujahid. Jadi setidaknya para sarjana qiraat telah memilah 20 kemungkinan varian qiraat mushaf Utsmani dari sepuluh imam qiraat terkenal (qiraat al-Asyr al-Kubra). Dari sisi pelacakan riwayat, standarisasi qiraat ini terjadi kurang lebih 300 tahun setelah pembakuan mushaf jilid kedua oleh Zaid bin Tsabit, sehingga dari begitu banyaknya versi qiraat pada abad kesepuluh, otoritas Islam memilih dua puluh versi yang diperkirakan mendekati tujuh qiraat yang diajarkan Muhammad.
Jika kita membaca biografi ketujuh imam qiraat tersebut akan terlihat bahwa mata rantai periwayatan yang bersifat mutawatir hanya berawal dari para imam kepada para perawi di bawahnya. Sementara kemutawatiran transmisi dari Muhammad kepada para imam tersebut nampak sangat meragukan dan dikategorikan sebagai periwayatan tunggal. Jadi klaim bahwa bacaan Quran Utsmani yang ada sekarang otentik dengan salah satu bacaan yang diajarkan Jibril kepada Muhammad adalah klaim kosong belaka, karena mata rantai perawinya tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk dipandang sebagai mutawatir, disisi lain justru terdapat qiraat qiraat yang rantai perawinya diklaim lebih jelas oleh sebagian ulama namun justru disisihkan oleh otoritas agama saat itu.
Berbeda dengan kaum Sunni, kaum Syiah tidak mengakui adanya tujuh varian bacaan, melainkan hanya ada satu qiraat yang diajarkan Jibril kepada Muhammad. Jika kaum Sunni konsekwen dengan keyakinan bahwa Quran diturunkan dalam tujuh qiraat bukankah lebih baik jika dilakukan standarisasi ulang terhadap Quran qiraat Asim riwayat Hafs yang dominan beredar dewasa ini dengan menyebar enam versi Quran yang lain, sehingga dengan demikian golongan ini tidak menjadi bagian dari golongan yang ingkar sunnah. Namun apakah ini mungkin, mengingat telah punahnya banyak varian qiraat akibat kesewenang-wenangan otoritas agama dimasa lampau.
• Penemuan Mushaf kuno (manuskrip) Quran membuktikan bahwa Quran lebih dijaga keotentikannya oleh Allah daripada kitab suci lainnya
Seperti halnya Quran, kitab suci agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Kristen juga memiliki sejarah kodifikasinya sendiri. Terdapat perbedaan perbedaan mendasar antara Quran dan Bible (Alkitab) sebagai sebuah kitab suci. Pertama, jika Quran dalam perspektif Islam dianggap sebagai kalam Allah, salinan dari Lauh Mahfuzh, kata demi kata, tidak demikian dengan Bible. Jika kita membaca buku buku sejarah Kristen, para pakar sependapat bahwa Bible adalah kumpulan kitab yang ditulis oleh berbagai penulis yang diilhami oleh Allah. Bible bukanlah kitab yang jatuh dari langit, sehingga isi, susunan, dan redaksional masing masing kitab tergantung pemikiran si penulis. Disisi lain, menurut perspektif Kristen, Kalam Allah tidak nuzul dalam bentuk bahasa dan tulisan dan menjadi sebuah kitab, namun Kalam Allah atau Firman itu nuzul sebagai seorang manusia, yaitu Isa Almasih. Jadi dalam pandangan orang Kristen Isa tidak pernah sekalipun membawa kitab bernama Injil, karena Isa sendirilah kalam Allah, Injil adalah kabar baik mengenai Isa, Firman Allah yang menjadi manusia.
Perbedaan kedua adalah jumlah penulis, rentang waktu penulisan, dan jumlah bahasa. Jika Quran hanya berasal dari satu orang yaitu Muhammad, dalam satu jaman, dan hanya satu bahasa, maka Bible ditulis setidaknya oleh 40 orang, dalam rentang penulisan ribuan tahun, dan ditulis dalam 3 bahasa berbeda, Aram, Ibrani, dan Yunani. Besarnya perbedaan ini mengakibatkan kompleksitas penafsiran dari Bible, dibandingkan Quran yang lebih sederhana.
Dalam Quran terdapat banyak ayat yang ditafsirkan sebagai dalil berubah dan diubahnya Taurat dan Injil (Bible). Meski demikian Quran sendiri tidak memberikan informasi mengenai bagian mana yang diubah dan siapakah yang merubah, sehingga hal ini memberi celah bagi sebagian kalangan untuk berspekulasi mengenai sebab dan siapa yang telah merubah Bible, dan yang paling sering menjadi tertuduh adalah Paulus dan pihak gereja Romawi. Namun ketika tuduhan ini diuji dengan membandingkan salinan salinan Bible Kuno dengan Bible masa kini, meski terdapat perbedaan tekstual namun bukanlah merupakan perbedaan signifikan.
Dead Sea Scrolls (17) misalnya, atau Naskah Laut Mati, yaitu naskah naskah kuno Bible dari gua Qumran bertarikh 300 tahun sebelum masehi, menunjukkan bahwa hampir 2300 tahun naskah Bible tetap terjaga keotentikannya, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam matan ayatnya. Sebagaimana Quran yang mengandung banyak perbedaan bacaan dalam berbagai mushafnya, Bible sebagai kitab yang lebih kuno juga mengalami hal yang sama. Perbedaan antara beberapa mushaf dalam Bible disebabkan oleh proses penyalinan yang hanya ditulis dengan tangan yang membutuhkan waktu lama dalam prosesnya, dan ongkos yang mahal untuk ukuran dijaman itu.
Contoh varian bacaan Bible misalnya terdapat dalam Lukas 2:21, disatu naskah ditulis dengan kata “digenapi”, satu naskah lain ditulis dengan “diselesaikan”, dan naskah lainnya ditulis “dilengkapi”. Karena Bible, khususnya Perjanjian Baru adalah dokumen kuno yang paling banyak salinan naskahnya, lebih dari 25.000 salinan yang terdiri dari ratusan ribu lembar dan naskah naskah tulisan tangan tersebut tetap terlestarikan hingga saat ini, sehingga para pakar Bible dapat mengidentifikasi ribuan variasi bacaan antar manuskrip tersebut. Namun dalam prakteknya, perbedaan varian bacaan antar manuskrip Bible tidak memiliki pengaruh apapun dalam dalam doktrin keagamaan (18).
Dalam konsep yang sedikit berbeda, varian bacaan juga menjadi masalah dalam sejarah standarisasi Quran. Dalam Islam perbedaan qiraat membawa pengaruh dalam praktek keagamaan, misalnya perbedaan qiraat dalam surat al Baqarah 5 tentang sholat, qiraat Ashim riwayat Syu‘bah membacanya wa arjulikum, sedangkan qiraat Ashim riwayat Hafs membacanya wa arjulakum. Bacaan pertama bermakna bahwa dalam berwudhu kaki hanya wajib diusap dengan air, seperti pengusapan pada kepala, yang menjadi pandangan golongan Syiah. Sedangkan bacaan kedua mengharuskan kaki dibasuh, seperti membasuh muka dan tangan, yang merupakan pandangan mayoritas kalangan Sunni.
Dalam mushaf Utsmani, perbedaan bacaan seperti ini eksis disemua qiraat dari sepuluh imam qiraat terkenal (qiraat al-Asyr al-Kubra), belum lagi varian qiraat lain yang dengan semena-mena disingkirkan oleh otoritas agama pada masa lalu. Pada masa kini tinggal 2 versi Quran yang beredar dimasyarakat umum, yaitu versi Hafs yang diedarkan secara luas dan versi Warsh yang hanya beredar disebagian Afrika Utara. Contoh perbedaan bacaan antara versi Hafs dan Warsh dapat dilihat misalnya di situs qurantext (19).
Selain perbedaan qiraat antar versi dalam mushaf Utsmani, penemuan Quran lain diluar mushaf Utsmani semakin menambah pengetahuan kita mengenai banyaknya perbedaan dalam berbagai versi Quran. Misalnya penemuan mushaf Quran di masjid Sanaa (20), di Yaman, yang jika diperbandingkan dengan mushaf Utsmani terdapat berbagai perbedaan, bukan hanya perbedaan qiraat, namun juga perbedaan kata, kalimat dan jumlah ayat. Quran Sanaa adalah sebuah palimpsest yaitu mushaf yang dituliskan di atas bahan yang sebelumnya sudah pernah ditulisi tulisan lain kemudian dicuci / dihilangkan tulisan lamanya. Jadi mushaf Sanaa terdiri dari dua tulisan Quran, tulisan bawah, yaitu tulisan Quran yang lama, yang terlihat remang-remang dan tulisan atas, yaitu tulisan baru yang menimpa tulisan lama, yang terlihat jelas dengan mata telanjang. Mushaf ini ditulis menggunakan huruf Arab gundul, tulisan atas menurut beberapa ahli meski tidak identik, serupa dengan mushaf Utsmani, sedangkan tulisan bawah, tulisan yang lebih awal adalah quran versi lain yang berbeda dengan mushaf Utsmani yang seringkali dikaitkan dengan mushaf Abdullah bin Masud atau Ubai bin Ka'b.
Penelitian radiokarbon terhadap tulisan bawah menunjukkan 75% kemungkinan bahwa mushaf tersebut berasal sebelum masa kekalifahan Utsman, sehingga menurut para ahli, meskipun bukan mushaf yang utuh, Quran Sanaa adalah mushaf pra Utsmani atau manuskrip Quran tertua didunia yang masih eksis, dibandingkan mushaf lain, seperti mushaf Birmingham, Samarkand, atau Topkapi. Sadeghi and Goudarzi dalam penelitiannya memberikan beberapa contoh perbedaan Quran Sanaa dengan Quran Mesir yang beredar dewasa ini, yang dapat kita lihat dalam situs Qurantext (21).
Elisabeth Puin di tahun 2009 menerbitkan hasil penelitiannya terhadap Quran Sanaa menyatakan bahwa terdapat banyak koreksi teks baik itu pada tulisan atas ataupun tulisan bawah, sehingga jika kita cermati terdapat empat kemungkinan versi Quran dalam mushaf Sanaa, tulisan bawah, sesudah dan sebelum koreksinya, serta tulisan atas dan koreksinya. Koreksi koreksi atas mushaf Sanaa ini bukan sebatas kesalahan penyalinan, namun merupakan penggantian kata atau kalimat. Karenanya Elisabeth menyatakan bahwa Quran adalah teks yang dibentuk melalui beberapa tahap pengembangan, bukan suatu teks final yang sudah terbentuk dijaman Muhammad. Pernyataan Elisabeth tersebut pada dasarnya sesuai dengan pendapat para sarjana muslim mengenai kodifikasi Quran.
Quran Sanaa adalah bukti fisik terhadap berbagai riwayat yang menyatakan bahwa terdapat beberapa versi Quran pada dekade awal lahirnya Islam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernyataan mengenai tradisi lisan dari berbagai perawi dapat dijadikan bukti keotentikan Quran, adalah pernyataan kosong belaka. Contohnya jika hal tersebut ditujukan pada mushaf Sanaa, maka klaim kemutawatiran riwayat tersebut dapat dikenakan baik pada tulisan atas ataupun tulisan bawah. Lalu versi manakah dari Quran Sanaa yang benar benar identik dengan 7 versi Quran yang diturunkan pada Muhammad? Lagi lagi pernyataan mengenai tidak adanya tahrif Quran, adalah self proclaim Quran sendiri, hal yang tidak bisa dibuktikan secara keilmuan, namun wajar dalam doktrinisasi keagamaan.
Jika ditelaah secara mendalam ungkapan ungkapan mengenai keajaiban dan mujizat Quran, tantangan membuat ayat serupa Quran atau mengenai tidak berubahnya Quran hanya ungkapan sebatas angan angan keagamaan, sebagai bagian dari propaganda agama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahasa Quran identik dengan karya karya sastra Arab pada masa pra Islam, meski Quran seringkali diklaim sebagai kiblat tatabahasa Arab, namun jika dicermati justru terdapat banyak kesalahan tatabahasa didalamnya, hal tersebut akan dibahas diartikel lain di situs ini. Banyak kata dalam Quran yang merupakan serapan dari bahasa asing, khususnya dari bahasa Habasyah dan Yunani, yang akar katanya tidak ditemukan dalam bahasa rumpun semitik.
Quran bukan hanya produk agama, namun juga adalah produk politik. Sejarah mencatat bahwa peranan penguasa dominan dalam pembentukan Quran, penyusunannya dilakukan saat Islam tengah gencar menaklukkan dan menjajah wilayah disekitar Arabia. Ayat Quran adalah pengobar semangat pasukan muslim untuk rela mati dalam menaklukan kaum ahlul kitab dan membunuh para kafir dengan janji janji harta rampasan dan bidadari surgawi. Dimasa kini, Quran masih saja menjadi landasan kekerasan dengan alasan membela Allah, entah itu terorisme, bom bunuh diri, ataupun separatis Islam. Meski sebagian muslim menyangkal ajaran kekerasan dalam Quran dengan membuat tafsir tafsir baru mengenai damainya Islam, namun kenyataan berkata sebaliknya, dimana para muslim kaffah seperti Amrozi, Imam Samudra atau teroris-teroris Islam lainnya justru menunjukkan ajaran Quran yang sesungguhnya, dengan mengikuti pola yang sama yang dilakukan penguasa Islam dimasa lalu. Dalam hal ini benar kata peribahasa, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Artikel terkait:
KESALAHAN KATA DAN TATABAHASA AL-QURAN
Referensi:
(1) http://www.islamawareness.net/Deviant/Shia/shia_quran.html
(2) https://www.al-islam.org/tahrif/
(3) http://sunnah.com/bukhari/66/60
(4) http://sunnah.com/muslim/6/265
(5) http://sunnah.com/abudawud/2/633
(6) http://sunnah.com/bukhari/66/12
(7) http://sunnah.com/urn/44660
(8) http://sunnah.com/urn/44690
(9) http://sunnah.com/bukhari/44/9
(10) Ushul Kafi, kitab Fadhlul Al Quran, bab An Nawadir 2/134
(11) Shi’ite Creed (al-I’tiqadat al-Imamiyyah), by Shaykh Saduq, English version, pp 78-79.
(12) Al-Shaharistani, Muhammad bin 'Abd al-Karim, Mafatih al-Asrar, vol. 1, pp. 119-121.
(13) http://sunnah.com/bukhari/66/8
(14) http://sunnah.com/bukhari/66/21
(15) As-Suyuti, Al-Itqan fii Ulum al-Qur'an, p.153
(16) As-Suyuti, Al-Itqan fii Ulum al-Qur'an, page 72
(17) https://id.wikipedia.org/wiki/Naskah_Laut_Mati
(18) https://en.wikipedia.org/wiki/Textual_variants_in_the_New_Testament
(19) http://www.qurantext.org/qiraat.html
(20) https://en.wikipedia.org/wiki/Sana'a_manuscript
(21) http://www.qurantext.org