SUMPAH PALAPA CIKAL BAKAL NKRI
I. PENDAHULUAN
Hanya dengan kekuatan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersemayam pada manusia-manusia Indonesia yang mengerti, Indonesia akan terhindar dari calon giliran sasaran tembak kekuatan-kekuatan asing yang berbahaya. Dalam rangka mencari pencerahan inilah kita perlu merenung melalui naskah-naskah kuno yang mampu menjadi perekat atau semen bagi bangsa-bangsa di Nusantara.
Di jaman Majapahit perekat bangsa-bangsa di Nusantara sudah ada, yaitu berupa Sumpah Palapa, sebuah sumpah yang diucapkan oleh Gajah Mada ketika ia mendapatkan kehormatan di wisuda menjadi Patih Amangkubhumi, tahun 1336 Masehi. Sumpah Palapa intinya adalah mengusahakan kesatuan dan persatuan Nusantara. Bahasa sekarang : Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI.
2. Pararaton dan Negarakretagama
Sebagai Perekat NKRI, terdapat kitab Pararaton –ditulis dalam tahun 1613M (Padmapuspita, 1966 : 91)-- dan Negarakretagama –ditulis dalam tahun 1365 M ke posisi sentral yang terhormat dan mulia, sebab naskah Pararaton menyebut di dalamnya Sumpah Palapa yang terkenal itu, sedangkan Negarakretagama memuat wilayah negeri yang masuk dalam kekuasaan dan wibawa Majapahit.
Sumpah Palapa yang dicanangkan oleh Gajah Mada dilakukan ketika Gajah Mada dilantik sebagai Patih Amangkubhumi kerajaan besar Majapahit, pada tahun Saka 1258, atau tahun Masehai 1336.
Jadi pentingnya Pararaton dibicarakan di sini, karena ia memuat Sumpah Palapa. Sedang pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/ tirakatnya).
II. MAKNA SUMPAH PALAPA
1. Bunyi Sumpah Palapa
Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat Pararaton. Kitab tersebut mempunyai peran yang strategis, karena di dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata sumpah itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuna menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut :
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada : “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Terjemahannya adalah :
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa (nya). Beliau Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil) mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya)”.
2. Pemahaman Intertekstual
Kalau kita membaca kutipan Serat Pararaton sebagaimana tersebut di atas, timbul pertanyaan : “Kalau begitu, apakah wilayah-wilayah yang dipersatukan oleh Sumpah Palapa Gajah Mada hanya meliputi sepuluh negeri ?” Tidak sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Namun kalau kita menggunakan metode intertekstual, yaitu dengan bantuan menggunakan kitab Nagarakretagama sebagai penunjang, maka kita akan tahu wilayah-wilayah mana yang sesungguhnya berada di dalam naungan Majapahit.
Pupuh XIII, XIV, dan XV dari kitab Nagarakretagama menginformasikan secara terperinci wilayah-wilayah yang menjadi negara bawahan Majapahit, yaitu meliputi :
Kawasan Melayu : Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, Kandis, Kahwa, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Temihang, Perlak, Padang, Lwas, Samodra, Lamuri, Batan, Lampung, Barus.
Kawasan Kalimantan meliputi : Tanjung negara, Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landa Samadang, Tirem, Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano, Tanjung Pura.
Kawasan Hujung Medini meliputi : Pahang, Langkasuka, Saimwang, Kelantan, Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai, Kanjapiniran.
Kawasan Timur Jawa meliputi : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali, Pulau Gurun (Lombok Merah), Sasak, Bantayan (Kota Luwuk), Udamakatraya, dan pulau-pulau lainnya.
Kawasan Timur lainnya meliputi: Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Solot, Muar, Wanda (n), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa pulau-pulau lainnya.
Catatan :
Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing, karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
Di samping itu, Nagarakretagama menginformasikan pula persahabatan Majapahit dengan Siam, Ayudyapura, Darma nagari, Marutma, Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja dan Yawana (Pupuh XV, bait 1).
3. Kajian Komunikatif
Sebuah ungkapan apalagi sebuah sumpah kalau dikaji benar-benar menawarkan bentuk, isi, nilai, ideologi, dan enerji. Dari sisi bentuk Sumpah Palapa adalah prosa. Sedangkan isinya mengandung pernyataan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi dengan disaksikan oleh para menteri dan pejabat-pejabat lainnya, yang substansinya Gajah Mada baru mau melepaskan (menghentikan) puasanya apabila telah terkuasai Nusantara. Sayangnya tidak diterangkan di dalam teks tersebut tentang jenis puasa dan berapa lama pelaksanaan puasanya itu.
Dari sisi nilai Sumpah Palapa mengandung pelbagai nilai : nilai kesatuan dan persatuan wilayah Nusantara, nilai historis, nilai keberanian, nilai percaya diri, nilai rasa memiliki kerajaan Majapahit yang besar dan ber-wibawa, nilai geopolitik, nilai sosial budaya, nilai filsafat, dsb.
Dari sisi ideologi, Sumpah Palapa yang juga dikenal sebagai Sumpah Gajah Mada atau Sumpah Nusantara , Sumpah Palapa memiliki ideologi kebineka tunggal ikaan, artinya menuju pada ketunggalan keyakinan, ketunggalan ide, ketunggalan senasib dan sepenanggungan, dan ketunggalan ideologi akan tetapi tetap diberi ruang gerak kemerdekaan budaya bagi wilayah-wilayah negeri se Nusantara dalam mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraannya masing-masing.
Dari sisi enerji Sumpah Palapa dianugerahi enerji Ketuhanan Yang Maha Dasyat karena tanpa enerji tersebut tak mungkin Gajah Mada berani mencanangkan sumpah tersebut.
Sumpah Palapa akan menjadi sangat menarik lagi apabila dikaji dengan pendekatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti : Kepada siapa Sumpah Palapa diucapkan, dalam lingkungan apa (situasi, kondisi, iklim, dan suasana) Sumpah Palapa dicanangkan, dengan sasaran apa dan siapa Sumpah Palapa dideklarasikan, mengapa atau apa perlunya Gajah Mada mengumumkan Sumpah Palapa, dan manfaat apa yang mau dicapai adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama.
Betapapun Sumpah Gajah Mada itu kontekstual. Tidak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan di jawab di sini, namun pertanyaan manfaat apa yang mau dicapai, kiranya perlu dijawab sekarang dengan lebih cermat.
Menurut pemahaman saya Gajah Mada mempunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia (Segoro Kidul). Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit.
Uraian singkat tersebut dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kerajaan Majapahit khususnya ketika berada dalam penguasaan Gajah Mada telah berorientasi jauh ke depan, kalau istilah sekarang mempersiapkan diri sebagai negara yang modern, kuat, dan tangguh.
4. Wilayah Nusantara Raya
Yang menarik dipertanyakan adalah bagaimana cara menafsirkan wilayah-wilayah negeri yang disebut dalam Serat Pararaton dan Nagarakretagama. Pertanyaan ini muncul karena wilayah-wilayah yang disebut oleh Sumpah Palapa (dalam Serat Pararaton) hanya berjumlah 10 (sepuluh) sedangkan yang disebut dalam Nagarakretagama sangat banyak sampai berjumlah 90 (terdiri dari Kawasan Melayu : 23, Kawasan Kalimantan : 22, Kawasan Hujung Medini : 14, Kawasan Timur Jawa : 16, dan Kawasan Timur lainnya : 15 ; ini belum termasuk Kawasan yang terdiri dari pulau-pulau lainnya).
Ada dua negeri, yaitu Gurun dan Sunda, disebut dalam Serat Pararaton tetapi tidak disebut di dalam Nagarakretagama yang memuat 90 wilayah negeri itu. Sebaliknya banyak wilayah-wilayah negeri yang disebut di dalam Nagarakretagama yang berjumlah 90 negeri itu, tetapi tidak disebut di dalam Sumpah Palapa. Bagaimana menafsirkan kenyataan teks ini ?
Serat Pararaton ditulis sesudah Nagarakretagama, yaitu tahun 1613 M. dalam arti semua wilayah Nusantara telah berada di dalam naungan dan wibawa Majapahit, namun tinggal hanya 10 (sepuluh) wilayah negeri saja yang belum masuk ke dalam naungan dan wibawa Majapahit. Kalau begitu mungkinkah dapat diatafsirkan bahwa wilayah negeri yang 10 (sepuluh) itu, merupakan negeri-negeri yang masih harus dipersatukan ke dalam Nusantara raya ? Artinya ke semua wilayah negeri sudah masuk ke dalam Nusantara sedang wilayah negeri yang berjumlah 10 (sepuluh) itu memang perlu dinyatakan secara eksplisit dalam Sumpah Palapa, sebagai wilayah negeri yang masih harus diperjuangkan supaya masuk ke Nusantara di bawah naungan dan wibawa Majapahit.
Dari sini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat pembaca sudah mengetahui wilayah-wilayah negeri Nusantara, namun bagi Gajah Mada belum puas rasanya kalau ke 10 (sepuluh) negeri tersebut belum masuk secara integratif ke dalam wilayah Nusantara Raya, oleh sebab itu Gajah Mada perlu meng- eksplisitkan ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut ke dalam sumpahnya yang terkenal itu. Dengan kata lain terjadinya Sumpah Palapa disebabkan karena ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut dipandang masih belum sepenuhnya masuk berintegrasi ke dalam wilayah kawasan Nusantara Raya.
Tafsir lain adalah bahwa wilayah-wilayah negeri seperti Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik adalah sekedar contoh saja (sample) dalam Sumpah Palapa untuk mewakili wilayah negeri Nusanatara. Tidak seluruh wilayah negeri Nusantara disebut, mengingat terlampau banyak, sehingga terlampau panjang kalau diformat ke dalam sebuah sumpah seperti Palapa.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketika Sumpah Palapa dicanangkan oleh Patih Gajah Mada ketika itu, Majaphit telah memiliki wilayah negeri Nusantara yang luas, yaitu berjumlah 90 negeri, akan tetapi tinggal 10 (sepuluh) wilayah negeri yang belum masuk ke dalam naungan wibawa Majapahit. Oleh sebab itu wajar apabila Patih Amangkubhumi Gajah Mada mendeklarasikan Sumpah Palapa-nya yang intinya ia tidak akan berbuka puasa, apabila ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut belum masuk secara integratif ke dalam Nusantara Raya.
Jangan dikira bahwa ketika Sumpah Palapa di canangkan tidak ada tantangan dari orang-orang sekitarnya. Perhatikan kalimat berikutnya, seperti dikutib dari teks Serat Pararaton:
Sira sang mantri samalungguh ring panangkilan pepek. Sira Kembar apameleh, ring sira Gajah mada, anuli ingumanuman, sira Banyak kang amuluhi milu apameleh, sira Jabung Terewes, sira Lembu Peteng gumuyu. Tumurun sira Gajah mada matur ing talampakan bhatara ring Koripan, runtik sira katadahan kabuluhan denira arya Tadah. Akweh dosanira Kembar, sira Warak ingilangaken, tan ucapen sira Kembar, sami mati.
Terjemahannya adalah :
Mereka para menteri duduk di paseban lengkap. Ia Kembar mengemukakan hal-hal tidak baik kepada Gajah Mada, kemudian ia (Gajah Mada) dimaki-maki, Banyak yang menjadi penengah (malah ikut) menyampaikan hal-hal yang tidak baik, Jabung Tarewes mengomel, sedang Lembu Peteng tertawa. Turunlah Gajah Mada dan menghaturkan kata-kata di telapak bathara Koripan, marah dia mendapatkan celaan dari Arya Tadah. Banyak dosa Kembar, Warak dilenyapkan, demikian pula Kembar, mereka semua mati.
Kutipan tersebut di atas, menengarai bahwa perjuangan mulai Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara Raya mengalami tantangan, gangguan, dan hambatan tidak berbeda dengan perjuangan Bung Karno untuk mempersatukan bangsa Indonesia, ternyata mendapatkan rintangan dari DI/TII, Kartosoewiryo, dan gerakan PRRI dan PERMESTA Kahar Muzakar.
III. HIKMAH SUMPAH PALAPA
1. Apakah Sumpah ?
Arti kata Sumpah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) halaman 973 (diambil seperlunya), adalah:
1 pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.); 2 pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenar- annya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; 3 janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Ketiga pengertian tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan dapat dipakai dalam konteks pengertian Sumpah Palapa. Pengertian tersebut berdimensi spiritual artinya tidak main-main. Oleh sebab itu tidak berlebihan, apabila dikatakan bahwa Sumpah Palapa itu sakral.
Dalam perspektif sejarah Indonesia perjalanan Sumpah Palapa hingga sekarang boleh dikata tidak mulus, disebabkan karena sesudah Majapahit tidak berfungsi secara optimal perjalanan sejarah berikutnya sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dipernuhi dengan periode-periode sejarah yang tidak terpuji, seperti periode-periode Demak, Pajang, Mataram, dan pecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, di mana dalam periode-periode tersebut disibuki oleh konfrontasi budaya antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh sisa-sisa kekuatan Majapahit dengan kaum pembaharu yang diwakili oleh kalangan Demak yang bernafaskan Islam, sementara itu dipercundangi oleh masuknya kekuatan VOC yang kemudian berubah menjadi penjajah.
Pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945 didengungkan oleh Soekarno-Hatta, baru kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka. Sejak waktu itu, lebih-lebih sekarang di mana terjadi salah penafsiran terhadap demokrasi beserta kebebasannya, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran jaman) Indonesia.
2. Hikmah Penjajahan
Ketika VOC pertama kali menginjakkan kakinya ke Batavia (Jakakarta) dalam tahun 1602, maka sejak itu praktis Belanda dianggap telah menjajah Indonesia. Pada waktu itu bangsa Nusantara, khususnya bangsa-bangsa yang tinggal di Jawa tidak sanggup dan tidak mampu untuk mengusir sang penjajah. Secara teoritis, hal tersebut disebabkan karena tidak ada kesatuan dan persatuan di antara bangsa-bangsa di Nusantara, terutama sejak Majapahit sudah tidak berkibar lagi.
Betapapun alasannya bangsa-bangsa di Nusantara tidak berdaya, lemah, sakit, atau apapun istilahnya yang penting Belanda menjadi mudah melakukan kolonisasinya. Akibat dari penjajahan Belanda bangsa-bangsa di Nusantara berada di telapak kakinya sang penjajah, yang mengakibatkan kekayaan alam Nusantara, seperti rempah-rempah (lada, cengkih, pala, kapulogo, kemukus, ketumbar, cabe lempuyang dll.) dikuras habis oleh Belanda, diusung dan dijual ke Eropa. Dari deretan hasil bumi yang diangkut ke Belanda, jangan lupa banyak sekali kekayaan rohaniah berupa naskah-naskah kuno yang diangkut ke negeri Belanda. Khusus tentang naskah-naskah kuno, untungnya di sana dipelihara rapi, sehingga tidak rusak.
Waktu berputar, nasib berjalan seperti “cokro manggilingan”. Bangsa Indonesia yang tadinya berada di bawah karena ditindas oleh Belanda, berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan naik ke atas, yang berhasil mencapai puncaknya setelah ada seorang pahlawan pemberani bernama Bung Karno yang diberkahi Tuhan untuk membebaskan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sesuatu yang mengejutkan dan di luar dugaan! Dari kehiruk pikukan, berhasil penjajah tersebut dijungkir balikkan bertekuk lutut di bawah kesatuan dan persatuan rakyat Indonesia, yang akhirnya dalam tempo yang singkat yang waktunya bersamaan dengan masuknya Jepang menguasai Indonesia selama tiga setengah tahun, Belanda berhasil diusir dan hengkang dari bumi Indonesia.
Hikmah yang dipetik dari revolusi rakyat Indonesia adalah bahwa seluruh jajahan Belanda –yang biasa disebut dengan istilah Hindia Belanda (Nederlands oost Indie)– langsung menjadi milik resmi bangsa Indonesia. Irian Barat yang semula dikukuhi sebagai tanah jajahan Belanda, pada akhirnya lepas kembali masuk ke pangkuan ibu Pertiwi, walaupun melalui diplomasi dan perang yang cukup seru.
Di sinilah letaknya hikmah penjajahan Belanda atas Nusantara. Seandainya Nusantara dipecah-pecah menjadi jajahan bangsa-bangsa Eropa –sebut saja misalnya Belanda, Inggris, Portugal, Jerman, Perancis, dan lain-lain– maka bisa dibayang- kan Nusantara tidak akan penuh diterima seperti sekarang ini, tetapi masih akan terbelah-belah atau terpecah-pecah menjadi wilayah-wilayah jajahan dari bangsa-bangsa Eropa tersebut.
Jika dilihat dari Sumpah Palapa, wilayah Nusantara yang dikuasai oleh rakyat dan bangsa Indonesia sudah mendekati luasnya dengan wilayah negeri Nusantara yang disebut oleh Sumpah Palapa. Masih ada kurangnya, seperti Malaysia, Singapore, dan Brunei, hal mana disebabkan wilayah-wilayah tersebut sudah pernah menjadi jajahan Inggris.
3. Hikmah Sumpah Palapa
Sekarang makin terasa bahwa Sumpah Palapa yang dideklarasikan oleh Gajah Mada sungguh sangat sakti, suci, dan membawa berkah bagi kita rakyat dan bangsa Indonesia. Sakti, karena secara gaib nama Nusantara masih bisa dipakai sebagai tali pengikat di antara bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara. Padahal arti Nusanatara yang sesungguhnya adalah pulau-pulau lain di luar Jawa (Nusa berarti pulau, antara berarti lainnya). Suci dalam arti sumpah tersebut benar-benar diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, artinya sumpah tersebut diberi kekuatan oleh Tuhan, berupa kekuatan persatuan dan kesatuan. Secara spiritual Nusantara harus diterima sebagai karunia Tuhan, yang walaupun di antara pulau-pulau terpisah satu sama lainnya oleh lautan, namun rasa kesatuan dan persatuan tetap terbentuk secara utuh menyeluruh.
Oleh sebab itu Nusantara harus dipandang sebagai kumpulan kepulauan yang utuh menyeluruh, yang secara gaib dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia-manusia yang ber-Ketuhanan YME walaupun berbeda-beda suku, agama, dan Kepercayaannya. Membawa berkah bermakna tidak ada seorangpun yang rela kalau Nusantara dirobek-robek oleh penghuninya sendiri, kecuali oleh orang-orang yang tidak mengerti, yaitu orang-orang yang tidak berke-Tuhanan.
4. Masa depan Sumpah Palapa
Bagaimana masa depan Sumpah Palapa ? Bagi orang yang mengerti Sumpah Palapa itu tidak hanya sakti, suci, dan membawa berkah, tetapi juga –dan ini justru yang teramat penting-- mengandung amanat bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia untuk memelihara, mengembangkan, dan melestari kannya. Bukankah kalau direnungkan secara Ketuhanan, masing-masing bangsa membawa misi hidupnya ? India misalnya, yang umumnya dianggap sebagai ibu budaya, adalah bangsa yang menerima misi Tuhan untuk menyadarkan manusia-manusia di dunia agar tahu tentang hakekat hidup dan tugas manusia hidup di dunia nyata dan di dunia akhir.
Hidup di dunia nyata dianggapnya merupakan katarsis (penyucian diri) sebagai bekal untuk meningkatkan diri dalam hidup berikutnya, supaya tidak terbawa oleh putaran reinkarnasi (hidup kembali), dalam dunia nyata. Orang-orang Barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat diberi misi untuk mencerdaskan pikiran (rasio), berupa misalnya kemampuan meciptakan produk-produk iptek, seperti mesin-mesin pembuatan kapal-kapal (darat, udara dan lautan), mobil, telepon, komputer, HP, dsb. Cina misalnya bangsa yang dianugerahi misi untuk mengembangkan perdagangan. Contoh-contoh lain tentang misi sesuatu bangsa bisa diperbanyak, asal kita cermat mengamatinya.
Bagaimana halnya dengan misi bangsa Nusantara ? Secara umum bangsa Indonesia yang majemuk itu sesungguh- nya memiliki misi yang sama, karena bangsa-bangsa Nusantara hidup di atas platform (landasan dasar) yang sama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Wujudnya mereka hidup meng- gunakan jalan agama dan/atau jalan kebudayaan atau kedua-duanya, yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena Tuhan Yang Maha Esa itu mempunyai sifat hanya satu, yaitu yang baik-baik maka barang siapa memiliki sifat satu, ia di dalam dirinya bersemayam sifat Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya akibat seseorang di dalam rohaninya tidak bersemayam Ketuhanan Yang Maha Esa, seseorang akan mengeluh, marah, ngrasani (membicarakah keburukan orang),
menghujat, merampok, merampas, mengebom, membunuh, dsb./dll.
Oleh karena rakyat dan bangsa Indonesia sudah di- karuniai dari sono-nya fitrah yang sangat luhur, kenapa fitrah seperti itu tidak diaktualisasikan dan dikembangkan sebagai misi hidup manusia Indonesia ? Sacara rasional, spiritual, dan imajinatif misi hidup orang, komunitas, masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia sesungguhnya sudah ada, terungkap dari dalam jati diri dan kepribadiannya masing-masing yang kalau dirumuskan secara plastis, berbunyi sebagai berikut : “Memayu Hayuning Bawono” (mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Jadi setiap orang Indonesia bahkan juga setiap orang di dunia wajib merealisasikan misi tersebut. Pendek kata bukan orang namanya kalau ia tidak memiliki kebiasaan untuk memberi, menyumbangkan, dan/atau melayani keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia.
Dalam proyeksi Sumpah Palapa posisi “Memayu Hayuning Bawono” sangat strategis, karena tanpa diberi enerji Ketuhanan Yang Maha Esa dan Memayu Hayuning Bawono niscaya Sumpah Palapa tidak sakti, suci, dan membawa berkah, yang gejalanya dapat dirasakan beberapa waktu yang lalu dengan munculnya aspirasi-aspirasi yang ingin membelot ataupun memisahkan diri dari NKRI. Mereka yang tidak mengerti sesungguhnya hanya tiru-tiru situasi luar negeri, ingin berdiri sendiri seperti Uni Soviet, dan Yugoslavia yang terpecah-pecah ke negara-negara kecil. Atau NKRI akan dirongrong oleh sejumlah orang yang ingin menyalurkan ambisi memisahkan diri, sesuatu yang rendah dan sempit itu ? Mudah-mudahan kita sebagai sesama orang Indonesia yang menjunjung tinggi Sumpah Palapa akan semakin sadar dalam kerukunan, solidaritas, serta kesatuan dan persatuan NKRI yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
IV. NASKAH PEREKAT DAN BUKAN PEREKAT BANGSA
1. Naskah Sebagai Perekat NKRI
Pencanangan atau deklarasi tentang Sumpah Palapa sebagaimana dimuat dalam Serat Pararaton, sudah barang tentu ini merupakan perekat NKRI. Namun bagaimana halnya dengan serat Babad Gianti yang berisi strategi penjajah Belanda untuk memecah belah Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu : Yogyakarta dan Surakarta (1755) ?
Dan bagaimana halnya dengan Perjanjian Salatiga (1757), yang otaknya adalah Belanda, dimana Belanda berhasil membentuk Kadipaten Mangkunegaran yang diperankan sebagai aparat Kasunanan yang sekaligus juga diperankan sebagai aparat Belanda, demikian juga Kadipaten Pakualaman.
Bagaimana pula halnya dengan serat Darmo Gandul yang berisi kritik terhadap pemerintahan Islam Kerajaan Demak yang dianggap oleh masyarakat Jawa tradisi tidak sopan dalam menggusur raja Majapahit, Prabu Brawijaya V (terakhir) berikut tokoh spiritualnya yang terkenal bernama Sabdopalon dan Noyogenggong ? Masih mundur ke belakang bagaimana halnya dengan Kidung Sundayana yang menceritakan betapa kasarnya perlakuan Gajah Mada terhadap utusan Sribaginda Maharaja Sunda menghaturkan putrinya yang cantik untuk dipersembahkan kepada raja Majapahit Hayam Wuruk, namun karena ada kesalah pahaman lalu terjadi peperangan, yang disebut Perang Bubat ? Bagaimana cara membaca dan memberikan maknanya ?
Bagi kita sekarang yang masih dianugerahi hidup, cara membacanya harus penuh dengan kearifan. Hikmah yang bisa dipetik adalah segala komunikasi yang tidak dilandasi oleh budi pekerti luhur, mengakibatkan kesalah pahaman dan konflik yang berakhir pada perang terbuka. Luka-luka dan kejadian-kejadian yang tidak terpuji itu kalau tidak dihadapi dengan jiwa besar, niscaya akan membawa kenangan pahit dan tidak mustahil tersimpan dendam kesumat selama hidupnya.
Penjajah Belanda akan dikenang sebagai bangsa penindas, pemeras, dan pemecah belah bangsa Indonesia, kalau kita hanyut dalam emosi-emosi rendah. Apalagi peristiwa Perang Bubat, peristiwa Demak berkonfrontasi dengan Majapahit, peristiwa Perjanjian Giyanti, dan peristiwa Perjanjian Salatiga. Karena itu peristiwa-peristiwa tersebut tetaplah sebagai catatan sejarah yang perlu diwaspadai, namun tidak perlu diingat sampai menimbulkan dendam kesumat. Lebih baik kita sebagai bangsa Nusantara menyongsong masa depan yang indah bagaimana mewujudkan NKRI agar secara lahir-batin, materiil-spiritual dan nasional- internasional bisa senantiasa selamat, bahagia, dan sejahtera menuju pada Indonesia yang akan menjadi Pusat, Obor, dan Pemimpin Dunia.
2. Bagaimana Membacanya ?
Kita berada dalam dunia komunikasi dan informasi yang global. Batas-batas wilayah antara satu dengan lainnya relatif tidak menjadi hambatan. Akibat dari globalisasi, komunikasi berjalan deras, sekaligus daya-daya cipta-rasa-karsa terangkat. Ini membawa akibat meningkatnya kecerdasan cipta-rasa-karsa dan rasional-spiritual-imajinatif dalam memahamkan merebut makna sesuatu hal. Tinggal sekarang yang menjadi persoalan utama : Bagaimana niatnya ? Niat baik atau niat tidak baikkah yang akan dipakai sebagai sudut pandang dalam meng- aktualisasikan kecerdasan-kecerdasan tersebut ?
Seseorang yang memajang tokoh wayang Bilung, Limbuk, Buto Cakil, atau Buto Ijo, di ruang tamu jangan sekali-kali menafsirkan bahwa si tuan/nyonya rumah kemudian sifat-sifatnya sama dengan Bilung, Limbuk, Buto Cakil, atau Buto Ijo. Tidak, tidak sama sekali ! Tokoh-tokoh wayang yang dipasang itu ternyata berperan sebagai pengingat, agar dirinya yaitu si tuan/nyonya rumah tidak bersifat (memiliki karakter) seperti Bilung, Limbuk, Buto Cakil, atau Buto Ijo. Mungkin pula dia memasang gambar-gambar wayang tersebut semata-mata karena remitnya tatah sungging, lebih-lebih wayang-wayang tersebut berasal dari hadiah sahabatnya yang ahli membuat wayang.
Oleh sebab itu dalam memahamkan Kidung Sundayana, Serat Darmogandul, Babad Gianti, Perjanjian Salatiga, dll., kita harus tidak terbawa dan terseret emosi yang berlebihan. Kitab-kitab tersebut tetap patut dicermati dengan persiapan mental yang tinggi, kalau ada hal-hal yang tidak mengenakkan, lebih baik dianggap sebagai sejarah masa lalu dan dicatat sebagai kewaspadaan, bukan sebagai stempel yang paten terhadap orang-orang yang dikenai.
Bagaimanapun juga dalam proyeksi Ketuhanan Yang Maha Esa, kalau terjadi hal-hal yang tidak baik, tentulah disebabkan karena manusianya yang memiliki sifat dasar tidak baik. Bukan sifat laten dari seseorang, komunitas, masyarakat, ataupun bangsa yang melakukan.
3. Meluhurkan Kebangsaan dan Kebudayaan Kita
Apakah anda setuju kalau dikatakan bahwa bangsa kita memiliki kebudayaan yang luhur ? Antara kebangsaan dan kebudayaan bisa pisah atau melekat tergantung dari situasi dan kondisi yang dihadapinya. Kalau sedang dalam kebaikan dan dalam kesadaran yang tinggi seseorang akan mengiyakan bahwa bangsa Indonesia itu memiliki budaya yang luhur, satu di antara misalnya karyenak tyasing sasomo (membuat enak hati orang lain), dan contoh lainnya misalnya dari kutipan tembang Mijil terkenal :
Dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane, tumungkula yen dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur
(Jalan menuju ke kepandaian dan kejayaan, harus rendah hati, berani mengalah luhur akhirnya, tunduklah kalau kena marah, segala penghalang hendaknya dihindari, ada pembicaraan yang tidak baik hendaknya tidak didengar).
Banyak nilai-nilai luhur bangsa kita yang tersimpan dan terekam di dalam naskah-naskah dan sastra/budaya lisan.
Setiap nilai luhur memiliki kadar perekat bangsa, bahkan juga memiliki kadar perekat kemanusiaan. Oleh sebab itu nilai-nilai luhur yang telah digali atau di-dhudhah dari naskah-naskah dan/atau sastra/budaya lisan, sebaiknya disebar luaskan melalui terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia tanpa melupakan teks aslinya.
Menjadi tugas bagi para pejabat dan lembaga yang ber-weweang menjaga keutuhan NKRI untuk menyebar luaskan nilai-nilai luhur tersebut ke seluruh orang-orang Nusantara, agar pergaulan kebinekaan dan ketunggal ikaan dapat terselenggara dengan baik di dalam pangkuan NKRI. Pergaulan semacam itu niscaya akan membawa pengertian tentang sifat, adat, perilaku, cara berfikir, dan sebagainya dari bangsa-bangsa di Nusantara.
4. Tantangan Sumpah Palapa
Sumpah Palapa tampil sebagai pernyataan dan tekad suci dari seorang Patih Amangkubhumi yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan kerajaan Majapahit. Hubungan antara raja dan rakyat menurut tradisi Jawa sering digambarkan secara ideal sebagai loro-loroning atunggal (dua kekuatan yang manunggal) atau juga sering digambarkan sebagai manunggal ing kawulo lan Gusti (mangunggalnya rakyat dan raja).
Hubungan seperti ini memang dalam kenyataan terjadi, di mana seorang raja tampil sebagai pemimpin yang wajib diteladani oleh rakyatnya. Rakyat diposisikan sebagai kawula yang diperankan senantiasa menurut kepada rajanya, akan tetapi sayangnya tidak merata untuk diperankan sebagai kekuatan produksi di bidang tugasnya masing-masing, misalnya pertanian, perikanan, perindustrian, dsb. Rakyat sebenarnya tidak mempunyai waktu luang yang memadai guna memikirkan filsafat (pandangan hidup), ideologi, ataupun pengetahuan-pengetahuan tinggi, karena waktunya habis untuk memikirkan hidupnya sehari-hari.
Oleh sebab itu rakyat telah mempercayakan nasib hidupnya sepenuhnya kepada raja. Ini dihayatinya secara berkesadaran, sebab untuk apa melakukan kegiatan-kegiatan yang “aneh-aneh”, kalau tidak memiliki kekuatan yang sinergis untuk menjalankan sesuatu gagasan. Benar kalau dikatakan bahwa dalam konvensi budaya Jawa, rakyat adanya hanya nrimo ing pandum (menerima nasib), lebih-lebih kalau seorang raja dimitoskan sebagai wakil Tuhan di dunia. Rakyat digambarkan dalam bahasa pewayangan sebagai binanda sumonggo asto (diikat diberikan tangannya) dan tinigas sumonggo jonggo (dipenggal diberikan lehernya).
Dalam konvensi budaya seperti itu dapat dipahami bahwa tenaga penggerak roda pemerintahan bersumber dari kalangan kerajaan. Raja beserta kroni-kroninya dipandang oleh rakyat sebagai orang-orang yang duduk di sebuah pentas berwibawa yang penuh dengan cahaya yang berkilau-kilauan. Ucapan Sabdo Pandito Ratu (Sabda seorang ratu tidak bisa ditarik), yang artinya sekali sesuatu sabda telah dikeluarkan oleh seorang raja mustahil dicabut kembali adalah kenyataan sehari-hari.
Dari uraian tersebut dapat dibayangkan betapa Sumpah Palapa pasti diterima dengan penuh kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat “tempur” yang tinggi bagi rakyat yang men- dengarkan, mengetahui, dan mengerti. Oleh sebab itu penyebar luasan ke seantero Nusantara tidak sulit diterima, karena sistem komunikasi yang efektif dilaksanakan dengan tradisi gethok tular (dari mulut ke mulut) yang tentunya diperkuat oleh lembaran ter-tulis singkat seperti layaknya sebuah piagam.
Dalam Pararaton diceritakan ketika Gajah Mada di hadapan sang ratu dan disaksikan oleh para menteri dan pejabat lainnya mencanangkan sumpahnya sebagai pernyataan puncak tekad pengabdian yang dari seseorang yang menerima wisuda sebagai Patih Amangkubhumi, ternyata ada sejumlah pejabat tinggi yang melecehkan dan menertawakan, seperti yang dilakukan oleh Kembar, Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Arya Warak, dan Banyak. Apa maknanya kalau dalam forum yang tertinggi di istana kerajaan Majapahit terjadi sikap yang terbuka seperti itu ? Tentunya pembaca modern harap maklum, bahwa di dalam kerajaan Majapahit justru berlangsung tradisi pentas resmi yang demokratis.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesuatu gagasan sekalipun tinggi mutunya tidak serta merta dengan mulus berhasil disosialisasikan di sekitarnya. Jer basuki mawa beya kata pepatah Jawa, artinya tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan, dan ini berlaku universal.
Meskipun Pararaton tidak menceritakan pelaksanaan dari Sumpah Palapa namun dari Nagarakretagama dapat diketahui bahwa melalui Sumpah Palapa terbentang luas wilayah negeri Nusantara yang berada di bawah panji-panji Majapahit. Pertanyaannya adalah bagaimana sekarang menjaga kelestarian-nya dalam wadah NKRI ? Di atas telah diterangkan bahwa karena kerajaan-kerajaan di Nusantara sesudah Majapahit disibukkan dengan masuknya Islam, lalu dipercundangi oleh masuknya VOC yang ternyata membawa penjajahan Belanda, maka nasib Sumpah Palapa nampaknya Cat kapireng, cat mboten (kadang-kadang terdengar, kadang-kadang tidak). Kalau dirumuskan kesibukan-kesibukan tersebut berupa kesibukan politik yang melibatkan kesibukan kalangan elit. Yang jelas karena kesibukan politik, maka banyak kalangan atas termasuk raja-raja sedikit atau bahkan mungkin lupa memelihara pesan budaya berupa kesatuan dan persatuan Nusantara.
Kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai alat untuk mengusir penjajah Belanda yang menguasai hampir seluruh Nusantara ternyata ampuh untuk mengembalikan wilayah jajahan Belanda ke tangan rakyat dan bangsa Indonesia. Peristiwa pengusiran penjajah Belanda langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar harus dibaca sebagai realisasi Sumpah Palapa yang sakti itu.
5. Memayu Hayuning Bawono
Bagaimana menghindarkan diri agar rakyat dan bangsa Indonesia tidak masuk ke dalam perangkap negara-negara kapitalis, komunis atau theokrtais yang pada dasarnya berusaha keras untuk menawarkan karya-karyanya berupa ajaran/ ideologi /konsep yang bertentangan dengan jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia ?
Jawabannya tidak lain harus dengan keberanian menggali dan menemukan ajaran/ ideologi/ konsep miliknya sendiri yaitu Memayu Hayuning Bawono (mengusaha kan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Inti dari paradigma hidup alternatif ini adalah menawarkan kehidupan selamat-menyelamatkan, bahagia-membahagiakan, dan sejahtrera-mensejahterakan. Dalam pemahaman ini bukan di sebut manusia yang mengerti kalau tidak siap memberikan, menyumbangkan, dan melayani keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia.
MHB (Memayu Hayuning Bawono) secara sosial kultural, sosial keamanan, sosial historis, sosial psikologis, dan sosial ekonomi dsb. merupakan kekuatan yang dasyat untuk mendukung terwujudnya Sumpah Palapa dan terealisasinya Pancasila. Tanpa diberi misi MHB niscaya Sumpah Palapa dan Pancasila jalannya terseok-seok. Kalau begitu MHB menjadi misi yang ampuh kalau ingin mengantarkan dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kokoh dan berjaya lahir batin, materiil-spiritual, dan nasional-internasional.
Tidak hanya itu dengan MHB , Indonesia yang oleh para pinisepuh dan para penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa diharapkan sebagai Pusat, Obor, dan Pemimpin Dunia tidak mustahil akan dapat menjadi kenyataan. Sudah barang tentu pelaksanaan MHB dapat menjadi kenyataan sempurna apabila dibarengi dengan terobosan-terobosan ambrastha dur angkoro (memberantas segala nafsu).
VI. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. NKRI ada setelah penjajah Belanda berhasil diusir dari Nusantara Raya, oleh tokoh besar nasional pemersatu bangsa Indonesia Bung Karno.
2. Nusantara Raya ada setelah pencanangan Sumpah Palapa oleh tokoh besar nasional pemersatu Nusantara Gajah Mada. Jadi Sumpah Palapa merupakan cikal bakal NKRI
3. Sumpah Palapa terdapat di dalam naskah Serat Pararaton. Jumlah 10 (sepuluh) negeri yang disebut dalam Sumpah Palapa hendakanya diberi makna sebagai wilayah yang masih perlu diperjuangkan masuk ke dalam Nusantara Raya yang terdiri dari 90 (sembilan puluh) negeri, sebagaimana di sebut dalam naskah Ngarakretagama. Ke dua naskah tersebut tidak bisa dilupakan perannya sebagai Perekat NKRI.
4. NKRI wajib dan harus dipelihara dengan semangat Sumpah Palapa.
5. Semangat Sumpah Palapa dapat terus dihidup-hidupkan sepanjang masa, dan diintegrasikan dalam rangka idiologi Pancasila.
6. Sumpah Palapa dan Pancasila dijamin dapat lestari, apabila orang dan warga negara Indonesia digerakkan untuk men- jalankan misi Memayu Hayuning Bawono (mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
7. Rakyat dan para cendekiawan harus dibiayai dalam menciptakan karya-karya budaya dan produk-produk iptek untuk me–nyejahterakan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
8. Pemerintah dan NKRI wajib dan harus kosisten meluhurkan Sumpah Palapa dan Pancasila, dengan membangun misi Memayu Hayuning Bawono. Dalam rangka itu perlu dicegah para elit politik dan elit Pemerintahan untuk tidak menghabiskan waktunya menggeluti masalah-masalah yang tidak berkaitan langsung dengan pembangunan Jati diri dan Kepribadian Bangsa Indonesia. Pemerintah wajib dan harus melindungi budaya Nusantara terhadap ancaman, hambatan, rintangan dan gangguan dari manapun datangnya yang akan melemahkan, menggusur dan meminggirkan ajaran/ ideologi/ konsep pribumi Nusantara.
Artikel ini disadur dari makalah oleh :
KRT Dr. B. Pradiptonagoro
Makalah ini disajikan untuk “Seminar Naskah Kuno Nusantara dengan tema Naskah Kuno sebagai perekat NKRI”, diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Hari Selasa 12 Okotber 2004 di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 18, Jakarta Pusat.