BAGAIMANA WAHYU QURAN DITURUNKAN
Umat muslim khususnya golongan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah meyakini jika Al Quran itu qadim, artinya Al Quran itu tidak diciptakan. Berbeda dengan golongan Syiah yang meyakini bahwa Al Quran itu makhluk atau diciptakan. Perbedaan pemahaman ini diakibatkan karena tidak dipisahkannya Al Quran dalam pengertian kata-kata, bahasa atau aksara Arab (kalam lafdzi) dan Al Quran dalam pengertiannya sebagai kalam Allah, yaitu sifat Allah yang berfirman (kalam nafsi) .
Dengan memahami keqadiman Al Quran ini kemudian menghubungkannya dengan proses turunnya wahyu Al Quran, kita dapat melihat secara utuh bagaimana konsep pewahyuan Al Quran dalam Islam.
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS Asy-Syura : 51)
Para ulama menyatakan penurunan Al Quran dari Allah hingga keluar sebagai ucapan Muhammad terjadi dalam dua bentuk yaitu secara sekaligus, dan bertahap. Terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai tahapan bagaimana wahyu dari Allah, hingga diterima di pikiran Muhammad, berikut diantaranya beberapa tahapan tersebut;
1. Allah berfirman, kemudian didengarkan oleh Jibril, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Muhammad, lafaznya persis sama dengan yang difirmankan Allah.
2. Allah menuliskan kalamnya pada Lauh Mahfuzh, kemudian Jibril membacanya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan lafaznya kepada Muhammad, persis sama yang terdapat dalam Lauh Mahfuzh.
3. Allah menyampaikan makna intinya saja kepada Jibril, lafaz atau susunan kata atau kalimatnya, sesuai dengan pikiran Muhammad sendiri.
4. Allah menuliskan kalamnya seluruhnya dan sekaligus pada Lauh Mahfuzh, kemudian dari Lauh Mahfuzh diturunkan sekaligus ke langit dunia (Baitul Izzah), dari Baitul Izzah kemudian Jibril menyampaikannya secara bertahap kepada Muhammad selama kurang lebih 23 tahun.
Artikel ini tidak membahas kapan waktu tepatnya wahyu Al Quran diturunkan, namun secara khusus akan membahas tahapan diturunkannya wahyu Al Quran seperti tahapan nomor 4 diatas, karena pendapat ini secara umum diterima oleh mayoritas ulama.
DARI ALLAH KEPADA LAUH MAHFUZH
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur‘an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfudz”. (QS Al Buruj : 21-22).
Dalam Al Quran kata Lauh Mahfudz hanya disebut sekali, yaitu pada surat Al Buruj tersebut. Namun terdapat 15 kata lain yang ditafsirkan sebagai Lauh Mahfuzh untuk mendukung konsep tersebut. Misalnya dalam surat al Anbyaa 105, kata ba'didz dzikri dikonotasikan kepada Lauh Mahfuzh.
"Dan sesungguhnya, telah Kami tulis di dalam (kitab) Zabur, sesudah (sesudah Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh." (QS.21:105).
Lalu apakah yang dimaksud dengan Lauh Mahfuzh (lauhin mahfuuzhin) tersebut? Kata lauhin dapat diartikan sebagai papan atau tulang yang sudah ditulisi, sedangkan kata mahfuuzhin dapat diartikan terjaga atau terpelihara, jadi secara harafiah Lauh Mahfuzh dapat diartikan papan yang terpelihara. Hadist dari Ibn Abbas mendeskripsikan Lauh Mahfuzh seperti kitab besar yang diikatkan pada arsy.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS 6 : 59)
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS 10 : 61)
Dari ayat ayat diatas terdapat dua pengertian yang dapat diambil mengenai Lauh Mahfuzh ini, yaitu;
1. Ummul Kitab, atau induk kitab disisi Allah, yaitu tempat dimana Taurat, Injil, Al Quran dan keseluruhan kitab-kitab dari para nabi tertulis dan terjaga didalamnya.
2. Kitab yang mencatat seluruh peristiwa, dimana tak ada kejadian apapun, yang ghaib atau non-ghaib, dimasa lalu atau mendatang, yang sudah terjadi atau akan terjadi, semuanya tak mungkin tersembunyi, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit, keseluruhan isinya dicatatkan kedalam Lauh Mahfuzh!
Apakah Lauh Mahfuzh itu qadim atau ciptaan? Tentu benda tersebut adalah ciptaan seperti halnya arsy, surga, neraka dan lain-lain, karena umat Islam, khususnya sunni meyakini tiada yang qadim, yang tidak berawalan dan tidak berakhiran, selain Allah sendiri. Dari sini akan muncul beberapa hal terkait konsep wahyu Al Quran berasal dari Lauh Mahfuzh. Seperti;
a) Dalam Lauh Mahfuzh Allah menuangkan secara sekaligus seluruh kalamnya, fikirannya, apapun yang terjadi di alam semesta dari permulaan, sekarang, hingga sampai masa yang tiada penghabisan ke dalam papan tersebut. Inilah sebabnya mengapa ada jin dan syaitan yang berusaha mencuri berita dari Lauh Mahfuzh;
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang-(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syetan yang terkutuk, kecuali syetan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS al- Hijr [15]:16-18).
Tafsir ayat ini menjelaskan bahwa adanya bintang jatuh atau meteor yang melintas diangkasa adalah api yang disemburkan untuk menghalau syetan yang mencuri berita di Lauh Mahfuzh.
(http://www.eramuslim.com/peradaban/quran-sunnah/meteor-itu-panah-api-pengusir-syaitan-yang-mencuri-berita-langit.htm#.V0464pyF7IU)
b) Jika Lauh Mahfuzh diciptakan, kapan ia diciptakan, dan bagaimana sesuatu yang diciptakan dapat memuat kalam Allah yang qadim. Jika dikaitkan dengan konsep kalam lafdzi dan kalam nafsi maka Lauh Mahfuzh hanya memuat kalam lafdzi, yang berbentuk aksara dan bahasa, hal ini seperti perdebatan golongan Asyairah dengan golongan Muktazilah mengenai keqadiman Al Quran. Dan jika ia memuat kalam lafdzi, bahasa dan aksara apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh? Jawabannya tentu hanya Allah yang mengetahui, namun tentu bukanlah bahasa Arab.
c) Beberapa ulama menyatakan jika bahasa Arab adalah bahasa surga, meski terdapat sanggahan terhadap hal ini. Bahasa Arab dan aksaranya adalah ciptaan manusia, bahkan aksara sederhananya diperkirakan baru muncul pada abad 4 SM. Jadi jelas bahwa Lauh Mahfuzh yang memuat Injil, Zabur, Al Quran, dll. bukanlah berbahasa Arab, dan bahasa Arab memang bukanlah bahasa surga. Lalu ditahapan mana wahyu Al Quran bertransformasi ke dalam bahasa Arab? Beberapa rujukan meskipun pijakannya tidak kuat menyebut bahwa Malaikat Sayyarah yang bertindak sebagai penterjemah.
d) Al Quran mengenal konsep nasikh mansukh, https://en.wikipedia.org/wiki/Naskh_(tafsir)
seperti yang tertulis pada Al Baqarah : 106; Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)…
Contoh ayat Al Quran yang dihapuskan adalah ayat rajam;
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
Proses nasikh mansukh ini tentu sudah tertulis di Lauh Mahfuzh, artinya terdapat lafaz Lauh Mahfuzh yang menerangkan mana ayat yang dinasikh mansukhkan. Jadi lafaz di Quran tentu berbeda dengan lafaz di Lauh Mahfuzh, karena Quran tidak mencatat detil proses tersebut bukan? Jika Lauh Mahfuzh juga memuat hal-hal yang akan terjadi kemudian, kenapa ayat tersebut harus diturunkan kemudian dinaskhkan, tidak disunnahkan saja? Dengan hadist Qudsi misalnya. Terdapat beberapa jawaban atas pertanyaan ini.
e) Al Quran diturunkan kedalam tujuh qiraat, jadi apakah Lauh Mahfuzh juga memuat ketujuh qiraat? Perbedaan qiraat dalam Al Quran dapat menyebabkan perbedaan maknanya. Jika Al Quran diturunkan kedalam tujuh qiraat mengapa yang dominan sekarang hanya satu qiraat, bagaimana Allah menjaga qiraat-qiraat lainnya? Padahal Al Quran menyatakan;
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Jadi dari konsep nasikh mansukh dan 7 qiraat ini jelas jika Al Quran yang eksis sekarang sudah berbeda dengan saat diturunkan dari kitab induknya Lauh Mahfuzh.
DARI LAUH MAHFUZH KE BAITUL IZZAH
Hadist yang meriwayatkan Baitul Izzah berasal dari Ibnu Abbas seorang, jadi tergolong hadist ahad, sehingga kebenarannya masih diragukan. Dalam konsep yang diucapkan Ibnu Abbas, Baitul Izzah diibaratkan sebagai tempat transit wahyu-wahyu Al Quran, dimana Allah memindahkan wahyu-wahyu Al Quran, dan hanya Al Quran saja dari Lauh Mahfuzh kedalamnya. Dalam tafsirnya terhadap QS. Ad-Dukhaan ayat 3, Ibnu Katsir menulis;
“Allah menurunkan al-Quran sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke baitul izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Jadi konsep Baitul Izzah ini diadakan untuk mendukung konsep Lailatul Qadar, sehingga Jibril tidak terlalu jauh mondar mandir hari demi hari dari tempat Lauh Mahfuzh ke bumi.
BAITUL IZZAH KEPADA JIBRIL
Wahyu-wahyu Al Quran yang telah ditransfer ke Baitul Izzah tadi lalu disampaikan Jibril kepada Muhammad secara berangsur-angsur. Jadi berdasarkan konsep kalam Allah yang qadim maka di Baitul Izzah inilah malaikat membentuk lafaz-lafaz Al Quran kedalam bahasa Arab, para malaikat melakukan penterjemahan dari bahasa bahasa Lauh Mahfuzh menjadi bahasa bumi, yaitu ke bahasa Arab, sesuai dengan sasaran dan tujuannya.
Sehingga menjadi wajar jika dalam Al Quran terdapat banyak kata serapan dari berbagai bahasa ajam (non Arab), sesuai dengan sasaran penerjemahan tadi, meski Al Quran menyatakan berbahasa Arab terang (QS An Nahl 103). Hal ini dibuktikan dengan term-term atau istilah yang tidak ditemukan akar maknanya dalam kosakata bahasa Arab. Contohnya nama–nama malaikat seperti Jibril, Mikail, dll adalah serapan dari bahasa Yahudi, dan masih banyak kata serapan lain yang akan dibahas pada artikel lain di situs ini.
Proses transformasi bahasa di Baitul Izzah inilah yang membedakannya dengan hadist qudsi dimana maknanya berasal dari Allah namun lafaznya berasal dari Muhammad. Dengan adanya proses transformasi ini pernyataan bahwa lafaz Al Quran berasal dari Allah adalah salah karena bertentangan dengan logika keqadiman Allah, lafaz Al Quran berasal dari malaikat, maknanya dari Allah.
JIBRIL KEPADA MUHAMMAD
Nama Jibril dalam bahasa Arab adalah serapan nama Gabriel dalam bahasa Yahudi, yang berasal dari kata geber yang artinya laki-laki dan el yang artinya Tuhan, secara harafiah berarti laki-laki Allah, arti tersiratnya adalah “Tuhan kekuatanku”. Jibril dalam tradisi Yahudi dikenal sebagai malaikat pembawa berita.
Anehnya berbagai riwayat menginformasikan bahwa Muhammad sendiri ternyata tidak mengenal Jibril, padahal makhluk ini adalah satu-satunya perantara sehingga seluruh wahyu yang diterimanya dapat diklaim berasal dari Allah. Satu hadist menyebut saat kecil Muhammad dibelah dadanya oleh dua orang, yang membedah organ hatinya, dan mencucinya, namun baru jauh dikemudian hari orang yang membelah dada Muhammad ini diidentifikasi sebagai Jibril.
Atau saat Muhammad mendapatkan wahyu pertamanya di gua Hira, saat itu makhluk ghoib itu menekan dada Muhammad tiga kali dan memaksa Muhammad dengan mengatakan “Iqra” (bacalah!), Muhammad amat sangat ketakutan atas perilaku makhluk ghoib tersebut, ia berpikir ia akan menjadi gila atas hal tersebut. Bahkan disalah satu riwayat disebutkan bahwa Muhammad berniat bunuh diri karena hal tersebut.
Waraqah yang mendengar cerita mengenai peristiwa yang dialami Muhammad berkata bahwa makhluk yang menampakkan diri padanya adalah Namus. Adalah keanehan melihat bagaimana cara Jibril menemui Muhammad, dan lebih aneh lagi karena Muhammad mengira makhluk yang menemuinya adalah syetan atau jin. Masyarakat Arab pra Islam percaya pada syair atau ayat – ayat yang diinspirasi oleh syetan, mereka mengira bahwa ayat-ayat atau syair yang indah di inspirasi oleh syetan (Tabari vol.9, hal 167, note 1151)
Para ulama juga tidak bersepakat mengenai kapan kata Jibril pertama kali disebut. Ibnu Ishaq menulis dalam Siratnya bahwa Jibril telah memperkenalkan diri pada Muhammad. Kata Jibril dalam Al Quran hanya muncul 3 kali, sedangkan sisanya hanyalah kata-kata lain seperti ruh yang ditafsirkan sebagai Jibril. Padahal tentang ruh tidak banyak pengetahuan Muhammad yang miliki.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ‘Ruh itu adalah urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit” (Qs. 17:85)
Tafsir Ibnu Kathir menjelaskan bahwa ayat itu diucapkan Muhammad sebagai jawaban atas pertanyaan orang Yahudi kepada Muhammad dengan tujuan menguji pengetahuan keagamaan Muhammad. Orang-orang Yahudi bertanya, apakah ruh itu? Lalu dijawab Muhammad dengan ayat tersebut.
http://www.alim.org/library/quran/AlQuran-tafsir/TIK/17/85
Nah dengan pengetahuan yang sedikit ini menjadi wajar jika Muhammad tidak dapat membedakan mana Jin, Syetan, dan mana Jibril, sehingga ia amat ketakutan saat ditemui makhluk ghoib di Gua Hira.
Selain persoalan mengenai kebenaran siapa makhluk ghoib yang sering menemui Muhammad, persoalan lainnya adalah mengenai bagaimana Jibril tersebut mewahyukan Al Quran, hingga keluar menjadi ucapan Muhammad. Sebagai contoh pada surah Al Lahab 1-5;
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.
Tafsir Ibnu Kathir atas ayat ini menjelaskan bahwa ayat ini merupakan balasan dari Allah karena Abu Lahab berani mengumpat pada Muhammad. Kata Abu Lahab kepada Muhammad; “Tubbanlaka! Anak celaka!” Kemudian keluarlah ayat Al Quran dari ucapan Muhammad; ”Binasalah kedua tangan Abu Lahab, …”
http://www.alim.org/library/quran/AlQuran-tafsir/TIK/111/1
Kapan Jibril menyampaikan kutukan Allah yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh tersebut? Berdasarkan tahapan turunnya wahyu maka Jibril membisikkan lafaz tersebut kepada Muhammad setelah Abu Lahab mengumpat padanya. Jadi Jibril menunggu Abu Lahad selesai mengumpat baru kemudian membisikkan kepada Muhammad; Binasalah… Dan kemudian beberapa waktu kemudian, Muhammad juga berkata; Binasalah...
Bagi sebagian orang, pewahyuan seperti ini tidaklah logis, namun logis bagi sebagian yang lain dengan alasan terjadi di alam gaib. Irasionalnya proses pewahyuan telah mendapatkan komentar dari banyak orientalis, yang sayangnya kurang mendapat tanggapan dari pakar Islam.
WAHYU YANG DISAMPAIKAN MELALUI MIMPI
“Wahyu ilahi datang kepada Rasulallah dimulai dalam bentuk mimpi2 dalam bentuk sinar terang.” (Sahih Bukhari 1:3)
“Aisha, istri Rasulullah melaporkan: (Bentuk) pertama yang memulai wahyu kepada Rasulullah adalah gambaran dalam mimpi. Dan ia tidak melihat gambaran apapun kecuali wahyu yang datang seperti sinar cerah fajar.” (Sahih Muslim 301)
Dalam pandangan ilmu jiwa, orang yang sedang bermimpi adalah orang yang sedang tidak sadar atau berada di alam bawah sadar. Dengan demikian, sangat tidak logis jika orang yang sedang tidak sadar menerima pesan dari Jibril dengan baik dan benar. Bahkan dalam hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa orang yang sedang tidur tidak termasuk sebagai orang yang wajib melaksanakan hukum atau hukum menjadi gugur disebabkan mukallaf sedang tidur.
WAHYU DISAMPAIKAN DENGAN GEMERINCING LONCENG
Diriwayahkan oleh Aisha: Al-Harith bin Hisham bertanya Rasulullah 'Ya Rasul, bagaimana wahyu diberikan kepadamu ?" Rasulullah menjawab, "Kadang kala diberikan seperti gemerincing suara lonceng, bentuk pewahyuan seperti ini yang paling berat .... Kadang kala malaikat datang dan berbicara dengan saya dan saya mencoba mengerti apa yg dikatakannya." Aisha menambahkan: Sungguh saya melihat nabi diberikan wahyu pada hari yg sangat dingin dan melihat keringat menderas dari keningnya (saat wahyu selesai). (Sahih Bukhari 1:2)
Aisha melaporkan bahwa Harith b. Hisham bertanya kepada Rasulullah: Bagaimana wahyu diberikan kepadamu? Jawab Rasulullah: Kadangkala berupa gemerincing suara lonceng yang mana paling berat untukku... (Sahih Muslim 5765)
Adalah absurd jika lafaz Al Quran disampaikan dengan gemerincing lonceng karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Muhammad memahami bahasa lonceng. Sedangkan dibagian lain hadist menyebut lonceng identik dengan syaitan.
Abu Huraira melaporkan: Rasulullah berkata: Lonceng adalah alat musik syeitan (Sahih Muslim 5279)
Diriwayahkan oleh Umar ibn al-Khattab: Ibn az-Zubayr mengatakan bahwa seorang wanita mereka membawa puterinya az-Zubayr ke Umar ibn al-Khattab sambil mengenakan lonceng di kakinya. Umar mencabutnya dan mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah mengatakan bahwa: Ada Iblis disetiap lonceng. (Sunan Abu Dawud 34:4218)
Diriwayahkan Umm Habibah: Rasulullah mengatakan: Malaikat tidak akan menemani dimana ada suara gemerincing lonceng. (Sunan Abu 14:2548)
DENGAN BERBAGAI CARA LAIN
Selain bunyi gemerincing lonceng, terdapat kejadian-kejadian lain yang dialami Muhammad saat Jibril menyampaikan lafaz Al Quran.
“Nabi mengatakan, ‘Saya berdiri, namun jatuh pada lutut saya; dan merangkak pergi, bahu saya gemetaran.” (Tabari vol.6: p67)
“Wahyu datang kepada rasulullah dan ia diselimuti dengan selembar kain dan Ya'la mengatakan: Bisakah saya melihat datangnya wahyu kepada rasulullah. Ia (Omar) mengatakan: Apakah kau akan senang melihat Rasulullah menerima wahyu. 'Omar mengangkat sudut jubah nabi dan saya melihat padanya dan ia (nabi) terdengar sedang mengorok. Ia (narator) mengatakan: Saya menyangka itu suara onta.” (Sahih Muslim 2654):
“Ketika Jibril menurunkan Wahyu Ilahi kepada Rasulullah, ia menggerak2kan lidah dan bibirnya, keadaan itu sangat menyiksanya dan gerakan itu menunjukkan bahwa wahyu sedang diturunkan..” (Sahih Bukhari 60:451)
Ibn Sa'd mengatakan, “Pada saat turunnya wahyu, kecemasan melanda Nabi, dan raut wajahnya nampak gundah gelisah.” Ia melanjutkan, “Ketika wahyu diturunkan pada Nabi, selama beberapa jam ia biasanya menjadi mengantuk seperti orang tertidur. (Majma'uz Zawaa'id yang merujuk Tabraani)
“Saya tidak pernah membenci seseorang seperti saya membenci seorang penyair atau seorang kahin (kerasukan). Saya tidak sudi memandang keduanya. Saya tidak akan pernah bercerita kepada suku Quraish manapun tentang wahyu2 saya. Saya akan menaiki sebuah gunung dan melemparkan diri saya dan mati.” (Ibn Ishaq, Sirat Rasulullah, p.106)
Dari kisah2 diatas kita dapat membuat daftar dampak fisik dan psikologis turunnya wahyu terhadap diri Muhammad;
1. Melihat sinar terang atau mendengar suara2 seperti makhluk ghoib
2. Kejang2 tubuh dan sakit perut yang sangat menyiksa
3. Tiba2 dirasuki perasaan gelisah & ketakutan
4. Gerakan dalam otot2 leher
5. Gerakan bibir dan lidah yang tidak dapat dikontrol
6. Berkeringat pada hari2 yang sangat dingin
7. Wajah kemerah2an
8. Raut wajah yang gundah gelisah
9. Mengorok seperti onta
10. Mengantuk
11. Keinginan untuk bunuh diri
Para orientalis mengatakan bahwa hal itu adalah gejala2 penyakit temporal lobe epilepsy, orang Indonesia menyebutnya sebagai ayan. Namun kita tidak akan membahasnya secara mendetail, karena itu hanyalah pendapat sebagian orang yang tidak mendapat rujukan kuat.
WAHYU DISAMPAIKAN JIBRIL MENUNJUKKAN BENTUK ASLINYA
Digua Hira, makhluk ghoib itu menemui Muhammad dengan rupa aslinya, saat itu Muhammad ketakutan hingga berniat ingin bunuh diri. Dengan demikian, penyampaian wahyu dengan cara tersebut juga tidak komunikatif apalagi keadaan psikologis Muhammad terganggu dengan bentuk dan rupa makhluk ghoib yang menakutkan Muhammad.
Ibnu Ishaq dalam siratnya menyebut bahwa Jibril memperkenalkan dirinya pada Muhammad, hal yang tidak disebut dalam hadist. Ibnu Ishaq menulis bahwa Muhammad tidak yakin apakah makhluk goib yang menemuinya itu malaikat atau syaitan, karenanya Khadijah hendak menguji makhluk ghoib tersebut;
Riwayat Ismail bin Abu Hakim; …. Maka kemudian ketika Jibril datang kepadanya, Rasulullah berkata kepada Khadijah, “Ini adalah jibril yang telah datang menemuiku”. Khadijah berkata; “Kemarilah wahai anak pamanku, duduklah dipaha kiriku”. Kemudian Rasulullah melakukannya dan Khadijah berkata, “Apakah kau dapat melihatnya?”. “Ya”, jawab Rasulullah. Kemudian Khadijah berkata, “Berputarlah dan dan duduklah diatas paha kananku.” Rasulullah melakukannya dan Khadijah berkata, “Dapatkah kamu melihatnya?” Ketika Rasulullah mengangguk, dia meminta Rasulullah untuk duduk dipangkuannya . Ketika Rasulullah melakukannya, Khadijah menanyakan apakah Rasulullah masih dapat melihatnya. Ketika Rasulullah mengangguk, Khadijah membuka bajunya dan melempar kerudungnya, ketika Rasulullah masih duduk dipangkuannya. Kemudian dia berkata, “Apakah kamu masih dapat melihatnya”. Rasulullah menjawab, “Tidak”. Khadijah berkata, “Wahai anak pamanku, bergembiralah dan berbanggalah, demi Tuhan dia adalah malaikat dan bukan syetan”. (Ibnu Ishaq, Sirat Rasulullah, p107)
Saya menceritakan kepada Abdullah bin Hasan tentang kisah tersebut (saat Khadijah telanjang sambil memangku Muhammad), dan dia berkata, “Aku mendengar dari ibuku Fatimah, anak perempuan dari Husani, menceritakan tentang kisah tersebut dari Khadijah, tetapi yang aku dengar adalah bahwa Khadijah menyuruh Rasulullah menyelinap kebawah bajunya, dan seketika itu Jibril pergi, dan dia berkata kepada Rasulullah, “Sungguh dia adalah malaikat dan bukan syetan” (Ibnu Ishaq, Sirat Rasulullah, p107)
Jadi menurut sejarah Ibn Ishaq, keyakinan Muhammad bahwa makhluk ghoib yang menemuinya adalah Jibril bukan setan, diuji dan dibuktikan dengan cara bertelanjangnya Khadijah atau masuk kedalam baju diantara kaki Khadijah.
Dari tahapan dan cara-cara bagaimana lafaz Al Quran sampai kepada Muhammad, kita dapat melihat secara utuh proses pewahyuan Al Quran. Ini baru sebatas tahapan dan cara pewahyuan bukan kandungan atau isi dari wahyu Al Quran. Yang mana saat ini, isi dan kandungan wahyu tersebut justru menjadi sumber pengetahuan bagi para teroris untuk melakukan aksinya.
Agama adalah kepercayaan terhadap hal-hal ghaib, namun sampai batas mana kemustahilan tersebut dipercayai, ini kembali kepada persepsi tiap-tiap individu. Orang orang seperti Mirza Qulam Ahmad (Ahmadiah) ataupun Lia Eden mengatakan bahwa mereka juga bertemu serta mendapatkan wahyu dari Jibril, dan pengikut mereka pun mempercayainya. Namun sebagian orang yang lain menganggap bahwa Mirza Ahmad dan Lia Eden melakukan kebohongan. Batas kebohongan atau peristiwa ghaib dipercayai sebagai sebuah kebenaran hanya persepsi, karena kita bukanlah saksi mata. Diperlukan kearifan dan akal sehat untuk memilahnya.
.
Dengan memahami keqadiman Al Quran ini kemudian menghubungkannya dengan proses turunnya wahyu Al Quran, kita dapat melihat secara utuh bagaimana konsep pewahyuan Al Quran dalam Islam.
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS Asy-Syura : 51)
Para ulama menyatakan penurunan Al Quran dari Allah hingga keluar sebagai ucapan Muhammad terjadi dalam dua bentuk yaitu secara sekaligus, dan bertahap. Terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai tahapan bagaimana wahyu dari Allah, hingga diterima di pikiran Muhammad, berikut diantaranya beberapa tahapan tersebut;
1. Allah berfirman, kemudian didengarkan oleh Jibril, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Muhammad, lafaznya persis sama dengan yang difirmankan Allah.
2. Allah menuliskan kalamnya pada Lauh Mahfuzh, kemudian Jibril membacanya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan lafaznya kepada Muhammad, persis sama yang terdapat dalam Lauh Mahfuzh.
3. Allah menyampaikan makna intinya saja kepada Jibril, lafaz atau susunan kata atau kalimatnya, sesuai dengan pikiran Muhammad sendiri.
4. Allah menuliskan kalamnya seluruhnya dan sekaligus pada Lauh Mahfuzh, kemudian dari Lauh Mahfuzh diturunkan sekaligus ke langit dunia (Baitul Izzah), dari Baitul Izzah kemudian Jibril menyampaikannya secara bertahap kepada Muhammad selama kurang lebih 23 tahun.
Artikel ini tidak membahas kapan waktu tepatnya wahyu Al Quran diturunkan, namun secara khusus akan membahas tahapan diturunkannya wahyu Al Quran seperti tahapan nomor 4 diatas, karena pendapat ini secara umum diterima oleh mayoritas ulama.
DARI ALLAH KEPADA LAUH MAHFUZH
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur‘an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfudz”. (QS Al Buruj : 21-22).
Dalam Al Quran kata Lauh Mahfudz hanya disebut sekali, yaitu pada surat Al Buruj tersebut. Namun terdapat 15 kata lain yang ditafsirkan sebagai Lauh Mahfuzh untuk mendukung konsep tersebut. Misalnya dalam surat al Anbyaa 105, kata ba'didz dzikri dikonotasikan kepada Lauh Mahfuzh.
"Dan sesungguhnya, telah Kami tulis di dalam (kitab) Zabur, sesudah (sesudah Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh." (QS.21:105).
Lalu apakah yang dimaksud dengan Lauh Mahfuzh (lauhin mahfuuzhin) tersebut? Kata lauhin dapat diartikan sebagai papan atau tulang yang sudah ditulisi, sedangkan kata mahfuuzhin dapat diartikan terjaga atau terpelihara, jadi secara harafiah Lauh Mahfuzh dapat diartikan papan yang terpelihara. Hadist dari Ibn Abbas mendeskripsikan Lauh Mahfuzh seperti kitab besar yang diikatkan pada arsy.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS 6 : 59)
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS 10 : 61)
Dari ayat ayat diatas terdapat dua pengertian yang dapat diambil mengenai Lauh Mahfuzh ini, yaitu;
1. Ummul Kitab, atau induk kitab disisi Allah, yaitu tempat dimana Taurat, Injil, Al Quran dan keseluruhan kitab-kitab dari para nabi tertulis dan terjaga didalamnya.
2. Kitab yang mencatat seluruh peristiwa, dimana tak ada kejadian apapun, yang ghaib atau non-ghaib, dimasa lalu atau mendatang, yang sudah terjadi atau akan terjadi, semuanya tak mungkin tersembunyi, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit, keseluruhan isinya dicatatkan kedalam Lauh Mahfuzh!
Apakah Lauh Mahfuzh itu qadim atau ciptaan? Tentu benda tersebut adalah ciptaan seperti halnya arsy, surga, neraka dan lain-lain, karena umat Islam, khususnya sunni meyakini tiada yang qadim, yang tidak berawalan dan tidak berakhiran, selain Allah sendiri. Dari sini akan muncul beberapa hal terkait konsep wahyu Al Quran berasal dari Lauh Mahfuzh. Seperti;
a) Dalam Lauh Mahfuzh Allah menuangkan secara sekaligus seluruh kalamnya, fikirannya, apapun yang terjadi di alam semesta dari permulaan, sekarang, hingga sampai masa yang tiada penghabisan ke dalam papan tersebut. Inilah sebabnya mengapa ada jin dan syaitan yang berusaha mencuri berita dari Lauh Mahfuzh;
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang-(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syetan yang terkutuk, kecuali syetan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS al- Hijr [15]:16-18).
Tafsir ayat ini menjelaskan bahwa adanya bintang jatuh atau meteor yang melintas diangkasa adalah api yang disemburkan untuk menghalau syetan yang mencuri berita di Lauh Mahfuzh.
(http://www.eramuslim.com/peradaban/quran-sunnah/meteor-itu-panah-api-pengusir-syaitan-yang-mencuri-berita-langit.htm#.V0464pyF7IU)
b) Jika Lauh Mahfuzh diciptakan, kapan ia diciptakan, dan bagaimana sesuatu yang diciptakan dapat memuat kalam Allah yang qadim. Jika dikaitkan dengan konsep kalam lafdzi dan kalam nafsi maka Lauh Mahfuzh hanya memuat kalam lafdzi, yang berbentuk aksara dan bahasa, hal ini seperti perdebatan golongan Asyairah dengan golongan Muktazilah mengenai keqadiman Al Quran. Dan jika ia memuat kalam lafdzi, bahasa dan aksara apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh? Jawabannya tentu hanya Allah yang mengetahui, namun tentu bukanlah bahasa Arab.
c) Beberapa ulama menyatakan jika bahasa Arab adalah bahasa surga, meski terdapat sanggahan terhadap hal ini. Bahasa Arab dan aksaranya adalah ciptaan manusia, bahkan aksara sederhananya diperkirakan baru muncul pada abad 4 SM. Jadi jelas bahwa Lauh Mahfuzh yang memuat Injil, Zabur, Al Quran, dll. bukanlah berbahasa Arab, dan bahasa Arab memang bukanlah bahasa surga. Lalu ditahapan mana wahyu Al Quran bertransformasi ke dalam bahasa Arab? Beberapa rujukan meskipun pijakannya tidak kuat menyebut bahwa Malaikat Sayyarah yang bertindak sebagai penterjemah.
d) Al Quran mengenal konsep nasikh mansukh, https://en.wikipedia.org/wiki/Naskh_(tafsir)
seperti yang tertulis pada Al Baqarah : 106; Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)…
Contoh ayat Al Quran yang dihapuskan adalah ayat rajam;
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
Proses nasikh mansukh ini tentu sudah tertulis di Lauh Mahfuzh, artinya terdapat lafaz Lauh Mahfuzh yang menerangkan mana ayat yang dinasikh mansukhkan. Jadi lafaz di Quran tentu berbeda dengan lafaz di Lauh Mahfuzh, karena Quran tidak mencatat detil proses tersebut bukan? Jika Lauh Mahfuzh juga memuat hal-hal yang akan terjadi kemudian, kenapa ayat tersebut harus diturunkan kemudian dinaskhkan, tidak disunnahkan saja? Dengan hadist Qudsi misalnya. Terdapat beberapa jawaban atas pertanyaan ini.
e) Al Quran diturunkan kedalam tujuh qiraat, jadi apakah Lauh Mahfuzh juga memuat ketujuh qiraat? Perbedaan qiraat dalam Al Quran dapat menyebabkan perbedaan maknanya. Jika Al Quran diturunkan kedalam tujuh qiraat mengapa yang dominan sekarang hanya satu qiraat, bagaimana Allah menjaga qiraat-qiraat lainnya? Padahal Al Quran menyatakan;
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Jadi dari konsep nasikh mansukh dan 7 qiraat ini jelas jika Al Quran yang eksis sekarang sudah berbeda dengan saat diturunkan dari kitab induknya Lauh Mahfuzh.
DARI LAUH MAHFUZH KE BAITUL IZZAH
Hadist yang meriwayatkan Baitul Izzah berasal dari Ibnu Abbas seorang, jadi tergolong hadist ahad, sehingga kebenarannya masih diragukan. Dalam konsep yang diucapkan Ibnu Abbas, Baitul Izzah diibaratkan sebagai tempat transit wahyu-wahyu Al Quran, dimana Allah memindahkan wahyu-wahyu Al Quran, dan hanya Al Quran saja dari Lauh Mahfuzh kedalamnya. Dalam tafsirnya terhadap QS. Ad-Dukhaan ayat 3, Ibnu Katsir menulis;
“Allah menurunkan al-Quran sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke baitul izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Jadi konsep Baitul Izzah ini diadakan untuk mendukung konsep Lailatul Qadar, sehingga Jibril tidak terlalu jauh mondar mandir hari demi hari dari tempat Lauh Mahfuzh ke bumi.
BAITUL IZZAH KEPADA JIBRIL
Wahyu-wahyu Al Quran yang telah ditransfer ke Baitul Izzah tadi lalu disampaikan Jibril kepada Muhammad secara berangsur-angsur. Jadi berdasarkan konsep kalam Allah yang qadim maka di Baitul Izzah inilah malaikat membentuk lafaz-lafaz Al Quran kedalam bahasa Arab, para malaikat melakukan penterjemahan dari bahasa bahasa Lauh Mahfuzh menjadi bahasa bumi, yaitu ke bahasa Arab, sesuai dengan sasaran dan tujuannya.
Sehingga menjadi wajar jika dalam Al Quran terdapat banyak kata serapan dari berbagai bahasa ajam (non Arab), sesuai dengan sasaran penerjemahan tadi, meski Al Quran menyatakan berbahasa Arab terang (QS An Nahl 103). Hal ini dibuktikan dengan term-term atau istilah yang tidak ditemukan akar maknanya dalam kosakata bahasa Arab. Contohnya nama–nama malaikat seperti Jibril, Mikail, dll adalah serapan dari bahasa Yahudi, dan masih banyak kata serapan lain yang akan dibahas pada artikel lain di situs ini.
Proses transformasi bahasa di Baitul Izzah inilah yang membedakannya dengan hadist qudsi dimana maknanya berasal dari Allah namun lafaznya berasal dari Muhammad. Dengan adanya proses transformasi ini pernyataan bahwa lafaz Al Quran berasal dari Allah adalah salah karena bertentangan dengan logika keqadiman Allah, lafaz Al Quran berasal dari malaikat, maknanya dari Allah.
JIBRIL KEPADA MUHAMMAD
Nama Jibril dalam bahasa Arab adalah serapan nama Gabriel dalam bahasa Yahudi, yang berasal dari kata geber yang artinya laki-laki dan el yang artinya Tuhan, secara harafiah berarti laki-laki Allah, arti tersiratnya adalah “Tuhan kekuatanku”. Jibril dalam tradisi Yahudi dikenal sebagai malaikat pembawa berita.
Anehnya berbagai riwayat menginformasikan bahwa Muhammad sendiri ternyata tidak mengenal Jibril, padahal makhluk ini adalah satu-satunya perantara sehingga seluruh wahyu yang diterimanya dapat diklaim berasal dari Allah. Satu hadist menyebut saat kecil Muhammad dibelah dadanya oleh dua orang, yang membedah organ hatinya, dan mencucinya, namun baru jauh dikemudian hari orang yang membelah dada Muhammad ini diidentifikasi sebagai Jibril.
Atau saat Muhammad mendapatkan wahyu pertamanya di gua Hira, saat itu makhluk ghoib itu menekan dada Muhammad tiga kali dan memaksa Muhammad dengan mengatakan “Iqra” (bacalah!), Muhammad amat sangat ketakutan atas perilaku makhluk ghoib tersebut, ia berpikir ia akan menjadi gila atas hal tersebut. Bahkan disalah satu riwayat disebutkan bahwa Muhammad berniat bunuh diri karena hal tersebut.
Waraqah yang mendengar cerita mengenai peristiwa yang dialami Muhammad berkata bahwa makhluk yang menampakkan diri padanya adalah Namus. Adalah keanehan melihat bagaimana cara Jibril menemui Muhammad, dan lebih aneh lagi karena Muhammad mengira makhluk yang menemuinya adalah syetan atau jin. Masyarakat Arab pra Islam percaya pada syair atau ayat – ayat yang diinspirasi oleh syetan, mereka mengira bahwa ayat-ayat atau syair yang indah di inspirasi oleh syetan (Tabari vol.9, hal 167, note 1151)
Para ulama juga tidak bersepakat mengenai kapan kata Jibril pertama kali disebut. Ibnu Ishaq menulis dalam Siratnya bahwa Jibril telah memperkenalkan diri pada Muhammad. Kata Jibril dalam Al Quran hanya muncul 3 kali, sedangkan sisanya hanyalah kata-kata lain seperti ruh yang ditafsirkan sebagai Jibril. Padahal tentang ruh tidak banyak pengetahuan Muhammad yang miliki.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ‘Ruh itu adalah urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit” (Qs. 17:85)
Tafsir Ibnu Kathir menjelaskan bahwa ayat itu diucapkan Muhammad sebagai jawaban atas pertanyaan orang Yahudi kepada Muhammad dengan tujuan menguji pengetahuan keagamaan Muhammad. Orang-orang Yahudi bertanya, apakah ruh itu? Lalu dijawab Muhammad dengan ayat tersebut.
http://www.alim.org/library/quran/AlQuran-tafsir/TIK/17/85
Nah dengan pengetahuan yang sedikit ini menjadi wajar jika Muhammad tidak dapat membedakan mana Jin, Syetan, dan mana Jibril, sehingga ia amat ketakutan saat ditemui makhluk ghoib di Gua Hira.
Selain persoalan mengenai kebenaran siapa makhluk ghoib yang sering menemui Muhammad, persoalan lainnya adalah mengenai bagaimana Jibril tersebut mewahyukan Al Quran, hingga keluar menjadi ucapan Muhammad. Sebagai contoh pada surah Al Lahab 1-5;
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.
Tafsir Ibnu Kathir atas ayat ini menjelaskan bahwa ayat ini merupakan balasan dari Allah karena Abu Lahab berani mengumpat pada Muhammad. Kata Abu Lahab kepada Muhammad; “Tubbanlaka! Anak celaka!” Kemudian keluarlah ayat Al Quran dari ucapan Muhammad; ”Binasalah kedua tangan Abu Lahab, …”
http://www.alim.org/library/quran/AlQuran-tafsir/TIK/111/1
Kapan Jibril menyampaikan kutukan Allah yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh tersebut? Berdasarkan tahapan turunnya wahyu maka Jibril membisikkan lafaz tersebut kepada Muhammad setelah Abu Lahab mengumpat padanya. Jadi Jibril menunggu Abu Lahad selesai mengumpat baru kemudian membisikkan kepada Muhammad; Binasalah… Dan kemudian beberapa waktu kemudian, Muhammad juga berkata; Binasalah...
Bagi sebagian orang, pewahyuan seperti ini tidaklah logis, namun logis bagi sebagian yang lain dengan alasan terjadi di alam gaib. Irasionalnya proses pewahyuan telah mendapatkan komentar dari banyak orientalis, yang sayangnya kurang mendapat tanggapan dari pakar Islam.
WAHYU YANG DISAMPAIKAN MELALUI MIMPI
“Wahyu ilahi datang kepada Rasulallah dimulai dalam bentuk mimpi2 dalam bentuk sinar terang.” (Sahih Bukhari 1:3)
“Aisha, istri Rasulullah melaporkan: (Bentuk) pertama yang memulai wahyu kepada Rasulullah adalah gambaran dalam mimpi. Dan ia tidak melihat gambaran apapun kecuali wahyu yang datang seperti sinar cerah fajar.” (Sahih Muslim 301)
Dalam pandangan ilmu jiwa, orang yang sedang bermimpi adalah orang yang sedang tidak sadar atau berada di alam bawah sadar. Dengan demikian, sangat tidak logis jika orang yang sedang tidak sadar menerima pesan dari Jibril dengan baik dan benar. Bahkan dalam hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa orang yang sedang tidur tidak termasuk sebagai orang yang wajib melaksanakan hukum atau hukum menjadi gugur disebabkan mukallaf sedang tidur.
WAHYU DISAMPAIKAN DENGAN GEMERINCING LONCENG
Diriwayahkan oleh Aisha: Al-Harith bin Hisham bertanya Rasulullah 'Ya Rasul, bagaimana wahyu diberikan kepadamu ?" Rasulullah menjawab, "Kadang kala diberikan seperti gemerincing suara lonceng, bentuk pewahyuan seperti ini yang paling berat .... Kadang kala malaikat datang dan berbicara dengan saya dan saya mencoba mengerti apa yg dikatakannya." Aisha menambahkan: Sungguh saya melihat nabi diberikan wahyu pada hari yg sangat dingin dan melihat keringat menderas dari keningnya (saat wahyu selesai). (Sahih Bukhari 1:2)
Aisha melaporkan bahwa Harith b. Hisham bertanya kepada Rasulullah: Bagaimana wahyu diberikan kepadamu? Jawab Rasulullah: Kadangkala berupa gemerincing suara lonceng yang mana paling berat untukku... (Sahih Muslim 5765)
Adalah absurd jika lafaz Al Quran disampaikan dengan gemerincing lonceng karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Muhammad memahami bahasa lonceng. Sedangkan dibagian lain hadist menyebut lonceng identik dengan syaitan.
Abu Huraira melaporkan: Rasulullah berkata: Lonceng adalah alat musik syeitan (Sahih Muslim 5279)
Diriwayahkan oleh Umar ibn al-Khattab: Ibn az-Zubayr mengatakan bahwa seorang wanita mereka membawa puterinya az-Zubayr ke Umar ibn al-Khattab sambil mengenakan lonceng di kakinya. Umar mencabutnya dan mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah mengatakan bahwa: Ada Iblis disetiap lonceng. (Sunan Abu Dawud 34:4218)
Diriwayahkan Umm Habibah: Rasulullah mengatakan: Malaikat tidak akan menemani dimana ada suara gemerincing lonceng. (Sunan Abu 14:2548)
DENGAN BERBAGAI CARA LAIN
Selain bunyi gemerincing lonceng, terdapat kejadian-kejadian lain yang dialami Muhammad saat Jibril menyampaikan lafaz Al Quran.
“Nabi mengatakan, ‘Saya berdiri, namun jatuh pada lutut saya; dan merangkak pergi, bahu saya gemetaran.” (Tabari vol.6: p67)
“Wahyu datang kepada rasulullah dan ia diselimuti dengan selembar kain dan Ya'la mengatakan: Bisakah saya melihat datangnya wahyu kepada rasulullah. Ia (Omar) mengatakan: Apakah kau akan senang melihat Rasulullah menerima wahyu. 'Omar mengangkat sudut jubah nabi dan saya melihat padanya dan ia (nabi) terdengar sedang mengorok. Ia (narator) mengatakan: Saya menyangka itu suara onta.” (Sahih Muslim 2654):
“Ketika Jibril menurunkan Wahyu Ilahi kepada Rasulullah, ia menggerak2kan lidah dan bibirnya, keadaan itu sangat menyiksanya dan gerakan itu menunjukkan bahwa wahyu sedang diturunkan..” (Sahih Bukhari 60:451)
Ibn Sa'd mengatakan, “Pada saat turunnya wahyu, kecemasan melanda Nabi, dan raut wajahnya nampak gundah gelisah.” Ia melanjutkan, “Ketika wahyu diturunkan pada Nabi, selama beberapa jam ia biasanya menjadi mengantuk seperti orang tertidur. (Majma'uz Zawaa'id yang merujuk Tabraani)
“Saya tidak pernah membenci seseorang seperti saya membenci seorang penyair atau seorang kahin (kerasukan). Saya tidak sudi memandang keduanya. Saya tidak akan pernah bercerita kepada suku Quraish manapun tentang wahyu2 saya. Saya akan menaiki sebuah gunung dan melemparkan diri saya dan mati.” (Ibn Ishaq, Sirat Rasulullah, p.106)
Dari kisah2 diatas kita dapat membuat daftar dampak fisik dan psikologis turunnya wahyu terhadap diri Muhammad;
1. Melihat sinar terang atau mendengar suara2 seperti makhluk ghoib
2. Kejang2 tubuh dan sakit perut yang sangat menyiksa
3. Tiba2 dirasuki perasaan gelisah & ketakutan
4. Gerakan dalam otot2 leher
5. Gerakan bibir dan lidah yang tidak dapat dikontrol
6. Berkeringat pada hari2 yang sangat dingin
7. Wajah kemerah2an
8. Raut wajah yang gundah gelisah
9. Mengorok seperti onta
10. Mengantuk
11. Keinginan untuk bunuh diri
Para orientalis mengatakan bahwa hal itu adalah gejala2 penyakit temporal lobe epilepsy, orang Indonesia menyebutnya sebagai ayan. Namun kita tidak akan membahasnya secara mendetail, karena itu hanyalah pendapat sebagian orang yang tidak mendapat rujukan kuat.
WAHYU DISAMPAIKAN JIBRIL MENUNJUKKAN BENTUK ASLINYA
Digua Hira, makhluk ghoib itu menemui Muhammad dengan rupa aslinya, saat itu Muhammad ketakutan hingga berniat ingin bunuh diri. Dengan demikian, penyampaian wahyu dengan cara tersebut juga tidak komunikatif apalagi keadaan psikologis Muhammad terganggu dengan bentuk dan rupa makhluk ghoib yang menakutkan Muhammad.
Ibnu Ishaq dalam siratnya menyebut bahwa Jibril memperkenalkan dirinya pada Muhammad, hal yang tidak disebut dalam hadist. Ibnu Ishaq menulis bahwa Muhammad tidak yakin apakah makhluk goib yang menemuinya itu malaikat atau syaitan, karenanya Khadijah hendak menguji makhluk ghoib tersebut;
Riwayat Ismail bin Abu Hakim; …. Maka kemudian ketika Jibril datang kepadanya, Rasulullah berkata kepada Khadijah, “Ini adalah jibril yang telah datang menemuiku”. Khadijah berkata; “Kemarilah wahai anak pamanku, duduklah dipaha kiriku”. Kemudian Rasulullah melakukannya dan Khadijah berkata, “Apakah kau dapat melihatnya?”. “Ya”, jawab Rasulullah. Kemudian Khadijah berkata, “Berputarlah dan dan duduklah diatas paha kananku.” Rasulullah melakukannya dan Khadijah berkata, “Dapatkah kamu melihatnya?” Ketika Rasulullah mengangguk, dia meminta Rasulullah untuk duduk dipangkuannya . Ketika Rasulullah melakukannya, Khadijah menanyakan apakah Rasulullah masih dapat melihatnya. Ketika Rasulullah mengangguk, Khadijah membuka bajunya dan melempar kerudungnya, ketika Rasulullah masih duduk dipangkuannya. Kemudian dia berkata, “Apakah kamu masih dapat melihatnya”. Rasulullah menjawab, “Tidak”. Khadijah berkata, “Wahai anak pamanku, bergembiralah dan berbanggalah, demi Tuhan dia adalah malaikat dan bukan syetan”. (Ibnu Ishaq, Sirat Rasulullah, p107)
Saya menceritakan kepada Abdullah bin Hasan tentang kisah tersebut (saat Khadijah telanjang sambil memangku Muhammad), dan dia berkata, “Aku mendengar dari ibuku Fatimah, anak perempuan dari Husani, menceritakan tentang kisah tersebut dari Khadijah, tetapi yang aku dengar adalah bahwa Khadijah menyuruh Rasulullah menyelinap kebawah bajunya, dan seketika itu Jibril pergi, dan dia berkata kepada Rasulullah, “Sungguh dia adalah malaikat dan bukan syetan” (Ibnu Ishaq, Sirat Rasulullah, p107)
Jadi menurut sejarah Ibn Ishaq, keyakinan Muhammad bahwa makhluk ghoib yang menemuinya adalah Jibril bukan setan, diuji dan dibuktikan dengan cara bertelanjangnya Khadijah atau masuk kedalam baju diantara kaki Khadijah.
Dari tahapan dan cara-cara bagaimana lafaz Al Quran sampai kepada Muhammad, kita dapat melihat secara utuh proses pewahyuan Al Quran. Ini baru sebatas tahapan dan cara pewahyuan bukan kandungan atau isi dari wahyu Al Quran. Yang mana saat ini, isi dan kandungan wahyu tersebut justru menjadi sumber pengetahuan bagi para teroris untuk melakukan aksinya.
Agama adalah kepercayaan terhadap hal-hal ghaib, namun sampai batas mana kemustahilan tersebut dipercayai, ini kembali kepada persepsi tiap-tiap individu. Orang orang seperti Mirza Qulam Ahmad (Ahmadiah) ataupun Lia Eden mengatakan bahwa mereka juga bertemu serta mendapatkan wahyu dari Jibril, dan pengikut mereka pun mempercayainya. Namun sebagian orang yang lain menganggap bahwa Mirza Ahmad dan Lia Eden melakukan kebohongan. Batas kebohongan atau peristiwa ghaib dipercayai sebagai sebuah kebenaran hanya persepsi, karena kita bukanlah saksi mata. Diperlukan kearifan dan akal sehat untuk memilahnya.
.