FITNAH ALLAH DEWA BULAN DAN SINKRETISME ISLAM
Benarkah Allah adalah Dewa Bulan? Benarkah nama Allah untuk penyebutan dewa bulan sungguh pernah terjadi? Ataukah ini hanya sebatas tuduhan dan fitnah belaka? Hipotesis bahwa Allah adalah dewa bulan telah mendapatkan tanggapan dari beberapa situs muslim, contohnya dari link berikut;
www.islamic-awareness.org
Satu hal yang tidak bisa disangkal bahwa kepercayaan mayoritas masyarakat Mekah sebelum datangnya Muhammad adalah polytheisme. Kaum polytheisme Mekah juga menyebut tuhannya dengan nama Allah. Dalam artikel sebelumnya telah disebutkan nama Allah telah dipakai bersama sama oleh masyarakat Arab, baik yang polytheis maupun yang monotheis. Permasalahannya apakah masyarakat polytheis mempercayai nama Allah yang mereka sebut itu adalah Allah Ibrahim?
Agama Ibrahimik merupakan agama samawi jadi baik Yahudi, Nasrani, Islam, ataupun Bahai sekalipun, tentu melarang penyembahan kepada benda2 langit. Dalam Al Quran disebutkan;
"Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari, dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah." (QS.41:37)
Ayat tersebut serupa dengan yang tertulis di Bible;
“dan juga supaya jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga apabila engkau melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit, engkau disesatkan untuk sujud menyembah dan beribadah kepada sekaliannya itu, yang justru diberikan TUHAN, Allahmu, kepada segala bangsa di seluruh kolong langit sebagai bagian mereka” (Ulangan 4:19)
Manusia modern tentu tidak lagi menganggap matahari atau bulan sebagai Tuhan. Namun bagaimana dengan orang-orang jaman dulu ketika sains belum berkembang seperti sekarang ini? Timur Tengah kuno dikenal dengan maraknya penyembahan terhadap benda2 langit. Ribuan peninggalan sejarah seperti inkripsi, reruntuhan kuil, patung-patung dan banyak hal lainnya yang ditemukan di sepanjang jazirah Arab dari Kuwait hingga Yaman membuktikan hal tersebut.
Tapi apakah mereka mempercayai matahari, bulan, dan bintang sebagai benda-benda yang berkuasa atau penggunaan bulan dan matahari hanya sebagai simbolisasi semata? Dalam Hindu kita mengenal Chandra, sang Dewa Bulan, umat Hindu memahami Chandra sebagai sebuah pribadi, dengan bulan sebagai simbolnya. Memang terdapat beberapa aliran dalam agama Hindu, namun kebanyakan aliran menganggap adanya dewa dewi adalah pengambaran (visualisasi) dari sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan konsep Dewa Bulan tertua dalam literatur semitik terdapat dalam Epos Gilgamesh Mesopotamia, dimana Dewa Bulan disebut dengan nama “Sin” (1) Epos Gilgamesh diperkirakan dibuat 2700 tahun sebelum masehi, yang mana Dewa Bulan tidak sama dengan Bulan sebagai sebuah benda. Dalam konsep ketuhanan Semitik, Sin merupakan tuan dari segala tuhan, pemimpin dari segala dewa, dan sang pencipta dari segalanya. Masyarakat Semitik kuno mempercayai Dewa Bulan adalah pencipta dari keseluruhan benda2 langit, matahari, bintang, atau bulan sekalipun diciptakan oleh Sin. Bagaimana bisa Dewa Bulan menciptakan Bulan? Sebutan Sin sebagai dewa bulan, bukan karena bulan dianggap sebagai benda langit paling berkuasa, namun ini hanyalah simbolisasi peranan bulan dalam praktek astrologi semitik yang di pandang memiliki peranan terpenting bagi masyarakat. (2)
Dalam konsep astrologi Semitik terdapat 7 benda langit utama, tujuh adalah angka keramat dalam kepercayaan semitik, karena ketujuh benda langit ini adalah yang nampak dengan mata telanjang, yaitu bulan, matahari, merkurius, mars, venus, jupiter dan saturnus (3), yang dimasa modern disebut sebagai planet planet klasik. Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penamaan dari Dewa Dewi sebagai simbolisasi dari ketujuh planet tersebut sesuai dengan bahasa masing masing suku dan daerah. Dari ketujuh benda langit tersebut, dikelompokkan lagi menjadi 3 benda langit terpenting, yaitu Bulan, Matahari dan Venus, didasarkan pada pengaruh dalam astrologi dan kejelasan dalam pengamatan visual.
Bukti bukti arkeologis menunjukkan bahwa di Jazirah Arab dan sekitarnya terdapat banyak rumah ibadah bagi dewa dewi perbintangan. Di Ur, daerah Irak kini, terdapat rumah ibadah (kuil) Ziggurat bagi penyembahan terhadap dewa bulan Nanna (4). Tayma, sebuah daerah di Barat Laut Saudi Arabia, utara Mekah, pernah didirikan kuil dewa bulan Sin oleh raja Nabonidus (5). Di Hudaydah, Yaman, diadakan penggalian arkeologis dibekas kuil kuno oleh Dr. G. Caton Thompson dan ditemukan banyak artefak berlambang bulan sabit, dan inkripsi mengenai Sin (6). Di Ma’arib Yaman terdapat Mahram Bilqis, atau disebut juga kuil Awam, tempat penyembahan dewa bulan Almaqah, meski beberapa menyebutnya dewa matahari (7). Lalu bagaimana di daerah Mekah dan sekitarnya? Seluruh sejarawan Islam setuju jika polytheisme atau paganisme (al-watsaniyah) adalah agama mayoritas masyarakat Mekah saat itu. Al Quran menginformasikan beberapa dewi (tuhan perempuan) yang merupakan sekutu Allah;
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik), menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (sebagai sesembahanmu)? "dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?." – (QS. An-Najm : 19-20)
Dari Kitab al-Ashnam (Book of Idols) Hisyam al-Kalbi (8) kita mengetahui bahwa ketiga dewi tersebut merupakan bagian dari 27 dewa dewi Kabah yang disebut dalam kitab tersebut. Lebih detail lagi, Jawad ‘Ali dalam bukunya Al-Mufashashal fi Tarikhi al-‘Arab Qabla al-Islam mengupas mengenai polytheisme Arab pra Islam. Berikut pembahasan satu persatu, dari ketiga dewi sekutu Allah yang disebut dalam Al Quran;
ALLAT
Dalam kitab tafsirnya mengenai QS. An-Najm 19-20, al-Thabari menyatakan, masyarakat Arab pra Islam menjadikan kata al-lata untuk menyebut Tuhan yang berkonotasi perempuan, dibentuk dari kata Allah yang berarti Tuhan laki-laki (maskulin). Kata Allah dipertemukan dengan huruf ta` memberikan makna perempuan (feminim), sehingga sering sebut juga dengan Allat. Hal ini bukan menunjukkan bahwa Allah atau Allat memiliki alat kelamin, namun menyatakan konotasi gender dari nama tersebut. Misalnya nama Budi di Indonesia konotasinya adalah laki-laki, sedangkan nama Wati konotasinya adalah perempuan.
Selain terdapat patungnya di Mekah, tempat pemujaan khusus bagi Al-Lata berada di Taif, berjarak kurang lebih 70km dari Mekah. Bangunan tempat pemujaan Allat mirip dengan Kabah yang berada di Mekah, yakni berbentuk kubus dan berkelambu (ishtar). Seperti halnya kabah di Mekah, kabah di Thaif ini juga memiliki ritual thawaf (mengelilingi kabah). Rumah pemujaan Allat ini oleh masyarakat jahiliyah disebut dengan bait al-rabbah (rumah Dewi pemelihara jagad raya), yaitu bentuk kata perempuan (mu`annats) dari kata rabb yang memiliki arti Dewa pemelihara jagad raya.
Para sejarawan berpendapat Allat (9) adalah pasangan Allah, atau istri Allah, meski sebagian yang lain menyatakan sebagai putri Allah. Hisyam al-Kalbi menulis bahwa patung dewi Allat di Taif berbentuk kotak, yang bentuknya serupa dengan batu yang digunakan orang Yahudi untuk mengolah tepung. Lalu berkonotasi dengan planet apakah dewi Allat ini? Jauh sebelum Islam lahir, daerah Mekah, Taif, dan sekitarnya dikelilingi oleh kuil kuil dewa dewi astrologi semitik, entah itu dewa bulan, dewi matahari dan sebagainya, jadi tak dapat dipungkiri jika kepercayaan polytheis Mekah berhubungan juga dengan dewa dewi astrologi semitik.
Dari Mahram Bilqis di Yaman didapati beberapa inkripsi dari reruntuhan kuil yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Saba di Arab Selatan saat itu. Dalam inkripsi tersebut tertulis, “Putri putri dari Il, Al-Ilat dan Al-Uzza” (10). Il adalah sebutan bagi Almaqah, beberapa ahli seperti Dr. Wendell Phillips berpendapat bahwa ia adalah dewa bulan, sedangkan yang lain berpendapat ia dewa matahari. Namun beberapa penelitian terakhir, seperti penelitian yang dilakukan Wolf (11) di kuil Almaqah di Etophia (Habasyah dahulu) menguatkan pendapat bahwa Almaqah adalah dewa bulan, bukan matahari.
Al Quran memberikan keterangan menarik mengenai polytheisme di Saba ini;
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk. (QS An Naml 24)
Terdapat kalimat menyembah matahari selain Allah (min duunillahi), jadi selain menyembah Allah atau disamping menyembah Allah, masyarakat Saba juga menyembah matahari. Seperti halnya kata Allat bersifat feminim, kata matahari (shams) dalam bahasa Arab juga bersifat feminim.
Yusuf Ali (12) dalam komentarnya terhadap QS. An-Najm 19-20, menyatakan;
Allat, Uzza dan Manat, ketiganya adalah dewi perempuan. Lat merepresentasikan penyembahan terhadap matahari. Dalam bahasa Arab Matahari bersifat feminim dan begitu pula dalam bahasa semitik secara umum.
Egerton Sykes (13) dalam bukunya menulis:
Dalam budaya polytheisme pra-Islam Allat adalah pasangan kewanitaan dari Allah, Lat adalah nama lain dari dewi matahari Samas.
Merujuk pada surat An Naml tadi, penyembahan matahari seperti apa yang disembah masyarakat Saba selain Allah? Dalam inkripsi Saba yang memuat tulisan “Putri putri dari Il, Al-Ilat dan Al-Uzza”. Jika Il adalah sebutan bagi Almaqah dan sesosok dewa berkonotasi laki-kaki, sedangkan matahari yang konotasinya adalah perempuan (dewi), hal maka kemungkinan dewi matahari dalam kepercayaan Saba adalah antara Al-Ilat dan Al-Uzza.
UZZA
Sebuah Inkripsi di Nabatea menegaskan kembali bahwa Al-Uzza (14) adalah nama lain bagi Aphrodite Ourania yang tak lain adalah dewi Venus. Selain terdapat di Kabah Mekah, patung Al-Uzza secara khusus juga dipuja di Kuil Nakhla. Kuil di Nakhla ini dikemudian hari atas perintah Muhammad dihancurkan oleh Khalid bin al-Walid. Dalam kitabnya, Hisyam al-Kalbi dan Jawad ‘Ali sama sama menyebutkan bahwa Muhammad sebelum mengenal Tauhid, seringkali memberikan persembahan bagi Al-Uzza.
“Kami diberitahu bahwa Rasulullah pernah menyinggung hal tentang al-‘Uzza dan katanya, “Aku telah menyembelih domba putih kepada al-‘Uzza, ketika aku masih menjadi pengikut agama masyarakatku.”
MANAT
Menurut Jawad ‘Ali, kuil yang dikhususkan bagi dewi Manat (15) adalah kuil milik suku Khuza’ah dan Bani Ka’b di Yatsrib (Madinah). Pendapat berbeda dinyatakan oleh Hisyam al-Kalbi, bahwa kuil Manat adalah milik suku Aus dan Khazraj di Yatsrib. Kedua pendapat ini walaupun sedikit berbeda namun keduanya sepakat bahwa Kuil Manat berada di Yatsrib. Patung Manat berwujud wanita berkulit hitam, namun tidak terdapat informasi mengenai hubungan Manat dengan planet dengan tertentu.
Jawad Ali juga menyebutkan bahwa ritual keagamaan paganisme di kuil Manat sama seperti ketika ritual di Kabah. Yaitu haji, wuquf, dan tahallul (memotong rambut) di halaman kuil Manat. Banyak suku-suku penyembah berhala dari luar Yatsrib yang berkunjung ke kuil Manat, antara lain Quraish, Khuza’ah, Hudzail, Tsaqif, Azad, dan yang lainnya. Penyembah berhala mengagungkan Manat dan menyembelih binatang di pelatarannya (hatim) sebagai penghormatan terhadap Tuhan.
Hisyam al-Kalbi meriwayatkan bahwa kuil Manat ini atas perintah Muhammad dihancurkan oleh Ali bin Abu Thalib. Ali memperoleh banyak harta benda dari kuil itu. Riwayat lain menyebutkan bahwa kuil Manat tersebut dihancurkan oleh Sad bin Zaid al-Ashhali, bersamaan saat Muhammad memerintahkan Khalid bin al-Walid untuk menghancurkan kuil Uzza di Nakhla.
HUBAL
Adalah keanehan karena nama Hubal (16) ternyata tidak tercantum dalam Al Quran, padahal berdasar sejarah Islam ia adalah dewa penting di Kabah. Hisyam al-Kalbi mendeskripsikan Hubal dengan patung batu akik merah berwujud manusia, dimana tangan kanannya yang patah diganti dengan tangan emas oleh orang-orang Quraish. Menurut Karen Armstrong dan orientalis lainnya, Kabah Mekah adalah rumah Hubal, Kabah Mekah didirikan bagi Hubal, hal ini sejalan dengan pendapat Hisyam al-Kalbi bahwa Hubal adalah dewa utama di Kabah Mekah. Julius Wellhausen menyatakan bahwa dalam polytheisme Arab, Hubal dianggap sebagai anak lelaki al-Lat dan Hubal bersaudara dengan Wadd, sosok dewa yang juga disebut dalam Kitab al-Ashnam (17). Yoel Natan dalam papernya menyatakan bahwa Hubal adalah simbolisasi bagi Jupiter (18).
Ibnu Ishaq meriwayatkan sebuah kisah dimana dewa dewi Quraish hanyalah jembatan atau perantara (wasilah) kepada Allah;
Ketika Abdul Muttalib (kakek Muhammad) menerima perlawanan dari suku Quraish dalam menggali zamzam, dia berjanji jika dia diberikan 10 anak, dia akan menyembelih satu anaknya kepada Allah di Kabah...(tahun-tahun berikutnya, dia memiliki 10 anak, dan...) sehingga mereka kembali ke Mekah dan... Abdul Muttalib berdiri di hadapan Hubal dan berdoa kepada Allah. Kemudian dia mempersembahkan Abdullah (Ayah Muhammad) dan 10 unta sebagai kurban persembahan dan melemparkan panah undian.( Melemparkan panah undian adalah cara untuk mengetahui kehendak perantara (Hubal), seperti dadu undian). Dia ingin tahu apakah dia harus tetap meneruskan mempersembahkan anaknya, hasilnya adalah dia tidak perlu menyembelih anaknya. Pada saat itu orang dari suku Quraish berkata kepada Abdul Muttalib yang berdiri di dekat Hubal dan sedang berdoa kepadanya, "Sudah Selesai! Allah-mu, berkenan kepada-mu. Ya Abdul Muttalib..." (Sirat Rasul Allah. p.126).
Dibagian lain Ibn Ishaq juga menulis mengenai Abu Sufyan yang berteriak; “Mahakuasa Hubal”, yang kemudian dijawab Umar; “Mahakuasa Allah”. Bukhari juga meriwayatkan kisah ini dengan kalimat yang berbeda. Kisah ini terjadi saat Muhammad bersembunyi dari kejaran Abu Sufyan saat kekalahan kaum muslim di perang Uhud.
Abu Sufyan naik ke tempat tinggi dan berteriak; "Apakah Muhammad ada diantara kalian semua?" Nabi kemudian berkata; "Jangan menjawabnya." Abu Sufyan bertanya; "Apakah ada putra Abu Quhafa di antara kalian semua?" Nabi berkata; "Jangan menjawabnya." Abu Sufyan berkata; "Apakah putra Al Khattab ada diantara kalian semua?" Dia kemudian menambahkan, "Oooh semua orang ini telah tewas, jika mereka hidup tentu mereka akan menjawab." Saat itu Umar sudah tidak bisa menahan diri kemudian menjawab; "Kamu pembohong, Hai musuh Allah! Allah telah membuat apa yang akan membuatmu bahagia." Abu Sufyan berkata, "Mahakuasa Hubal!" Nabi berkata (kepada teman-temannya); "Balas ucapannya!" Mereka bertanya; "Apa yang bisa kita katakan?" Ia mengatakan; "Katakanlah: Allah A’la wa Jalla (Allah Mahatinggi dan Mahamulia)! "Abu Sufyan berkata, "Kami memiliki Uzza, sedangkan kamu tidak!" Nabi berkata (kepada teman-temannya); "Balas kepadanya!" Mereka mengatakan; "Apa yang harus kami katakan?" Nabi berkata; "Katakanlah: Allah adalah penolong kami dan kamu tidak memiliki penolong."
Membandingkan kisah Abdul Mutallib dan Abu Sufyan diatas tentu kita akan melihat sebuah kontradiksi. Bagaimana mungkin Abu Sufyan membandingkan Allah dengan Hubal, sedangkan dalam kisah Abdul Mutallib Hubal hanyalah wasilah (perantara) menuju Allah. Para mufassir juga menyatakan hal yang sama, bahwa kaum Quraish sudah mengenal Allah, contohnya pada ayat berikut;
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Yunus: 31)
Ayat ini sejalan dengan QS. an-Naml: 62, dan QS. al-’Ankabut: 63, yang menunjukkan kafir Quraish menyembah Allah Taala. Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa Kafir Quraish sebelum kedatangan Islam telah mengakui Allah adalah sang pencipta, yang menguasai alam semesta, dan tidak ada seorangpun diantara kaum Quraish yang mengingkari hal ini (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat). Muhammad At Tamimi juga menceritakan bahwa kaum Quraish sebelum Islam adalah orang2 yang rajin sholat, menunaikan ibadah haji, berzakat, berdzikir, dan berpuasa.
Dengan kenyataan tersebut maka terdapat beberapa kemungkinan; Pertama, Hubal memang merupakan pesaing dari Allah, dan Allah baru saja dikenal oleh orang Quraish, sehingga kaum kafir seperti Abu Sufyan membanggakan Hubal, sedangkan kaum muslim membanggakan Allah. Jika kemungkinan pertama yang diterima maka riwayat-riwayat sahih mengenai kaum Quraish yang telah mengenal Allah sejak dahulu kala adalah riwayat palsu. Kedua, Hubal memang merupakan wasilah, atau sebatas perantara kepada Allah, sama halnya Allat, Uzza, Manat hanyalah wasilah. Jika kemungkinan kedua yang diterima maka, riwayat mengenai Abu Sufyan yang membanggakan Hubal diragukan kebenarannya, meskipun hadist yang menceritakan hal tersebut derajatnya hampir mutawatir. Inilah yang ditentang kaum Qurainis, kaum ingkar sunnah, yang akan dibahas diartikel lain di situs ini. Menurut mereka hadist mutawatirpun belum tentu benar, dan hadist doif pun belum tentu salah.
Keseluruhan tafsir ayat-ayat Al-Quran menyiratkan bahwa kaum kafir Quraish memang telah mengenal Allah, namun bedanya dalam kepercayaan mereka Allah memiliki sekutu ilah lainnya. Misalnya tersirat dalam sebuah hadist;
Riwayat Ibnu Abbas, ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah bersabda,“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (Hadist Muslim no. 1185)
Bagaimana Muhammad yang dulu seorang polytheis, yang menyembelih domba bagi Uzza, dapat berubah pandangannya menjadi monotheis? Apakah pandangan Muhammad berubah karena bisikan Jibril? Jazirah Arabia pada masa pra Islam adalah medan dakwah bagi para misionaris Kristen. Ibn Ishaq misalnya menyebut Najran, daerah yang dahulu dihuni penganut polytheisme seperti halnya Mekah, yang kemudian mengenal tauhid Ibrahim melalui dakwah Kristen. Sejarah Islam juga mencatat bagaimana perebutan pengaruh antara Yahudi dan Nasrani di Yaman dimasa pra Islam, sampai akhirnya ditahun 570 masehi seorang gubernur Nasrani dari Habasyah bernama Abrahah berencana menghancurkan kekafiran di Mekah, namun justru Allah melindungi Kabah dengan 360 patung dewa dewinya dengan mengirim burung Ababil yang membawa batu panas untuk menghancurkan pasukan Habasyah, namun anehnya kaum muslim nantinya justru hijrah ke negara Kristen itu untuk mengungsi.
Ibnu Ishaq menceritakan mengenai 4 orang hanif mula mula di Mekah sebelum Muhammad, yaitu Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy, dan Ustman bin Huwairits. Mereka kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama hanif yang benar. Adapun Waraqah bin Naufal akhirnya memeluk agama Nasrani, sementara Ubaidillah bin Jahsy dan Utsman bin Huwairits masih melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah Islam. (Ubaidillah bin Jahsy pun beriman dan masuk Islam, namun akhir murtad dan memilih Nasrani dan tinggal di Habasyah (Abyssinia/ Ethopia). Sedangkan Utsman lebih memilih menjadi Nasrani dan tinggal di Romawi.) Sedangkan Zaid pergi hingga ke Syria, namun seorang pendeta Nasrani memberitahukannya bahwa Allah telah mengutus seseorang (Muhammad) untuk mengajarkan Tauhid Ibrahim di Mekah hingga ia berniat kembali ke Mekah. Namun Zaid telah dibunuh oleh Arab Badui sebelum sempat bertemu oleh orang yang dikatakan pendeta Syria tersebut.
Ibnu Ishaq juga meriwayatkan sebuah kisah dimana Zaid menentang ibadah haji di Kuil Kabah yang dilakukan para kafir Quraish; “Demi Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah menyimpang dari ajaran2 agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.” (Ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah hal. 100-101).
Muhammad bin Abdullah bukanlah orang yang pertama kali mensyiarkan tauhid di Mekah. Abrahah misalnya, melalui utusannya, Muhammad bin Khuza'i, tentu telah mensyiarkan tauhid Ibrahim dengan niat menghancurkan kekafiran di kuil Kabah dengan 360 patungnya. Atau Waraqah, sepupu dari Khadijah, istri pertama Muhammad, yang adalah seorang pendeta Nasrani. Sebagai seorang pendeta ia tentu berdakwah mengenai monotheisme. Jika dihitung dari tahun Muhammad menikah, yaitu ditahun 595M hingga meninggalnya Waraqah sekitar tahun 610M, berarti Muhammad bergaul dengan Waraqah lebih dari 15 tahun.
ALLAH
Lalu bagaimana sebenarnya pemahaman masyarakat polytheis Mekah terhadap Allah? Ayat-ayat Al Quran menunjukkan bahwa masyarakat kafir Mekah juga menganggap Allah sebagai tuhan utama. Seperti halnya Hubal yang adalah wasilah kepada Allah, demikian pula Allat, Uzza, dan Manat, adalah perantara kepada Allah. Jika dalam kepercayaan polytheis Saba, Almaqah adalah dewa bulan, Allat adalah dewi Matahari, Uzza adalah dewi Venus, identik dengan kepercayaan polytheis Mekah dimana Allat adalah dewi Matahari, Uzza adalah dewi Venus, Hubal adalah dewa Jupiter dan Manat adalah dewi namun tidak diketahui dikonotasikan dengan planet apa, maka kemungkinan besar dalam ketuhanan polytheis Mekah, dewa bulan sebagai dewa tertinggi dan utama tidak lain adalah Allah itu sendiri.
Seandainya Allah polytheis Arab diyakini sama dengan Allah Ibrahim, bukan sebagai dewa bulan, bukankah ini kontradiksi? Dalam Tauhid Ibrahim menyekutukan Allah adalah kejahatan terbesar. Dalam ideologi monotheisme Ibrahim, tuhan bersifat otoriter, sangat pencemburu, dan menuntut keesaan absolut, sehingga kecil kemungkinan ia akan berbagi tempat dengan tuhan-tuhan lain. Jika Allah dalam kepercayaan polytheis Arab dianggap sebagai Allah Ibrahim, mengapa saat pasukan gajah Abrahah hendak menghancurkan kekafiran di Kabah, Allah justru melindungi 360 patung patung berhala disana? Apakah bagi Allah patung dewi dewi itu dan bangunan kotak lebih berharga daripada nyawa tentara bergajah yang justru adalah orang-orang Nasrani yang dianggap beriman kepada Tauhid Ibrahim.
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al Fiil: 1-5).
Jadi mustahil jika Allah dalam kepercayaan kafir Quraish adalah Allah Ibrahim. Nama yang digunakan memang sama, namun subyeknya berbeda secara alur. Seperti penjelasan pada artikel terdahulu, bahwa kata Allah pada masa pra Islam seringkali dipakai sebagai nama pribadi maupun sebutan untuk gelar / jabatan ketuhanan, apapun agamanya (18). Yusuf Ali menyatakan bahwa ritual2 ibadah kaum polytheis Quraish masa lalu telah mengalami spiritisme Islam sehingga menjadi tata cara ibadah Islam masa kini (19).
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS Ali Imran:96)
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS Al Baqarah 125)
Jelas bahwa kisah mengenai Kabah yang didirikan Adam kemudian dilanjutkan Ibrahim hanyalah hal yang diciptakan belakangan, hasil sinkretisme tauhid Ibrahim dengan polytheisme Arab. Tidak terdapat satupun bukti arkeologis maupun syair-syair kuno pra Islam yang menyebut mengenai bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim. Syair-syair Arab kuno hanya menceritakan mengenai Adnan sebagai nenek moyang Arab, karenanya sejarawan Islam menciptakan silsilah palsu dari Adnan sampai kepada Ismail, tanpa didasari referensi apapun.
Sejarah Islam menyatakan bahwa kiblat awal mula umat Islam adalah Yerusalem, dimana ini adalah arah kiblat umat Yahudi Arab saat itu, yang sholat menghadap ke Baitullah Yerusalem. Lalu tiba2 pada tahun 624M Muhammad atas perintah Allah memindahkan kiblat ke arah Kabah (Masjidilharam) yang masih menjadi rumah bagi Allah Kafir Quraish dengan 360 patung berhalanya, dan baru menghancurkan patung2 itu di tahun 630M setelah pasukan Muslim berhasil menundukkan Mekah.
Berarti hampir kurang lebih 6 tahun, Muhammad dan kaum muslim berkiblat pada 360 patung2 di Kabah. Tidak ada dalil atau penjelasan apapun dari pakar Islam mengenai kenapa Allah melalaikan Kabah Mekah sehingga bisa menjadi pusat penyembahan berhala. Dan tidak ada penjelasan masuk akal juga mengenai urgensinya Muhammad memindahkan kiblat ke arah Kabah dengan 360 patungnya, tidak menunggu sampai Kabah bersih dari patung berhala.
Proses sinkretisme seperti ini jelas dilakukan Muhammad untuk menarik minat penganut polytheisme Allah Dewa Bulan kepada monotheisme Allah Ibrahim. Yusuf Ali menyatakan; bulan adalah tuhan laki2 dalam kepercayaan India Kuno, ia juga adalah tuhan laki2 dalam kepercayaan semitik kuno. Kata arab untuk bulan (qamar) bersifat maskulin (kelaki2an) dan untuk matahari (shams) bersifat feminim (kewanitaan). (20)
Selain itu ritual ritual yang dilakukan para polytheis Mekah menunjukkan bahwa mereka melakukan ritual penyembahan kepada tuhan-tuhan astrologi. Tawaf mengitari Kabah sebanyak tujuh kali tak lain adalah ritual penghormatan kepada astrologi semitik, yang melambangkan peredaran ketujuh planet utama, dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ritual tawaf ini juga dilakukan hampir disemua rumah ibadah pagan di jazirah Arab, bukan hanya di Mekah. Bahkan jika kita menilik pada kepercayaan Hindu dan Budha masa kini, terdapat ritual mengitari, yang disebut pradaksina. Dalam kompleks Kabah juga terdapat batu dengan relief jejak kaki, yang setelah Islam lahir disebut dengan nama Maqam Ibrahim, dan lagi lagi jejak kaki seperti ini juga seringkali ditemukan di kuil kuil Hindu, apakah ini hanya sebuah kebetulan?
Masyarakat astrologi semitik di Yaman yang menempatkan bulan sebagai dewa utama, menggunakan pergerakan bulan secara murni / penuh (lunar bukan lunisolar) sebagai penanggalannya. Demikian pula masyarakat kafir Quraish, dalam setiap ritual ibadahnya selalu didasari atas pergerakan bulan, seperti Hilal dalam penentuan awal bulan Ramadhan. Dalam penelitian terhadap budaya Sumeria, Seton Lloyd menulis; Masyarakat Mesopotania Kuno, dalam pengagungannya terhadap bulan, setiap bulan kesembilan sesuai dengan penanggalan mereka, mengadakan festival satu bulan penuh sebagai peringatan lahirnya dewa bulan Nanna. (21) Meski tidak sama, ritual bulan kesembilan ini mirip dengan konsep kesucian bulan ramadhan yang dilakukan masyarakat polytheis Mekah, yang juga diadopsi dalam Islam.
Benar yang disampaikan oleh Yusuf Ali, bahwa ritual-ritual ibadah kaum polytheis Quraish masa lalu telah mengalami spiritisme monotheisme sehingga menjadi tata cara ibadah Islam masa kini. Semua bukti menunjukkan bahwa ritual-ritual seperti tawaf, mencium hajar aswad, dan sebagainya adalah ritual paganisme, yang berkaitan dengan astrologi semitik. Adalah paradoksial, jika Muhammad menghancurkan patung-patung berhala namun menyisakan satu batu tauhid Hajar Aswad dan mengagungkannya, hingga semua muslim disunnahkan untuk melakukan istilam, mencium batu hajar aswad tersebut, meletakkan dahi dibatu itu dan mengucap ”bismillahi Allahu Akbar” dihadapan batu tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa Islam lahir dari rahim polytheisme dan paganisme yang memperoleh pengaruh tauhid Ibrahimik, sehingga ritual-ritual polytheisme tidak dapat dilepaskan dari ibadah muslim hingga saat ini. Proses sinkretisme atau percampuran kepercayaan astrologi semitik dengan kepercayaan tauhid Ibrahimik dalam Islam melahirkan kisah-kisah baru, seperti hajar aswad yang dulu adalah batu meteorid yang dianggap istimewa karena jatuh dari langit oleh masyarakat pagan, kemudian di-Islamkan dengan kisah bahwa batu tersebut berasal dari surga yang dibawa Jibril bagi Ismail yang warnanya berubah menjadi hitam akibat dosa manusia. Atau kisah batu dengan relief jejak kaki yang banyak ditemukan dikuil kuil polytheis, mengalami Islamisasi dengan dikisahkan sebagai batu dari surga yang digunakan sebagai pijakan Ibrahim saat membangun Kabah, dan masih banyak kisah kisah spiritisme Islam lainnya.
Tidak seluruh muslim percaya dan setuju akan ibadah pagan yang di-Islamkan. Kelompok yang paling terkenal adalah Ismailiyah Qarmatians, yang tidak menganggap haji sebagai hal sakral, sehingga mereka melakukan invasi ke Mekah, mengambil hajar aswad dan membunuh mayoritas jamaah haji yang ada disana. Kelompok tersebut menguasai hajar aswad kurang lebih selama 21 tahun, sampai akhirnya Khalifah Abassiah dengan kekuatan politik memaksa mereka untuk mengembalikan batu tersebut, meski dengan keadaan terpecah menjadi beberapa bagian.
Tak dapat diingkari bahwa akulturasi dan sinkretisme memang terjadi dalam semua agama, baik Islam, Nasrani, ataupun Yahudi. Namun bagaimana proses itu terjadi, inilah yang terpenting. Sungguh ironis, disaat jutaan jamaah berpergian tiap tahun ke Mekah, dan dengan bangga memutari sebuah batu, disisi lain terdapat kelompok kelompok kecil muslim yang menolak melakukan ritual haji, berusaha memurnikan tauhid dengan menolak ritual penyembahan kafir, namun justru dianggap sesat oleh kebanyakan kita.
Referensi:
1) https://en.wikipedia.org/wiki/Sin_(mythology)
2) https://en.wikipedia.org/wiki/Epic_of_Gilgamesh
3) https://en.wikipedia.org/wiki/Classical_planet
4) https://en.wikipedia.org/wiki/Ziggurat_of_Ur
5) https://en.wikipedia.org/wiki/Nabonidus
6) G. C. Thompson; Tombs and Moon Temple of Hureidah, p76
7) https://en.wikipedia.org/wiki/Almaqah
8) https://en.wikipedia.org/wiki/Book_of_Idols
9) https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Lat
10) Ryckmans, Jacques.EB, “Arabian religions,” 2004. P.180
11) Wolf, P. & Nowotnick, U., 2010, The Almaqah temple of Meqaber Ga'ewa near Wuqro (Tigray, Ethiopia), PSAS 40, 363-376
12) Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text and Translation, Appendix XIII. Ancient Forms of Pagan Worship, pp. 1623.
13) Sykes. Mythology, Allat(u) entry, p. 7.
14) https://en.wikipedia.org/wiki/Al-‘Uzzá
15) https://en.wikipedia.org/wiki/Manāt
16) https://en.wikipedia.org/wiki/Hubal
17) J. Wellhausen, "Reste Arabischen Heidenthums," p.221, 218, 219
18) Yoel Nathan, "Moontheism", vol. I, p. 329
19) Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Translation and Commentary, p. 80, fn. 223
20) www.sacred-texts.com/pag/pip.htm
21) Lloyd, Seton. Mesopotamia; excavation of Sumerian sites vol. 1, p. 162, 1936
.
www.islamic-awareness.org
Satu hal yang tidak bisa disangkal bahwa kepercayaan mayoritas masyarakat Mekah sebelum datangnya Muhammad adalah polytheisme. Kaum polytheisme Mekah juga menyebut tuhannya dengan nama Allah. Dalam artikel sebelumnya telah disebutkan nama Allah telah dipakai bersama sama oleh masyarakat Arab, baik yang polytheis maupun yang monotheis. Permasalahannya apakah masyarakat polytheis mempercayai nama Allah yang mereka sebut itu adalah Allah Ibrahim?
Agama Ibrahimik merupakan agama samawi jadi baik Yahudi, Nasrani, Islam, ataupun Bahai sekalipun, tentu melarang penyembahan kepada benda2 langit. Dalam Al Quran disebutkan;
"Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari, dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah." (QS.41:37)
Ayat tersebut serupa dengan yang tertulis di Bible;
“dan juga supaya jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga apabila engkau melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit, engkau disesatkan untuk sujud menyembah dan beribadah kepada sekaliannya itu, yang justru diberikan TUHAN, Allahmu, kepada segala bangsa di seluruh kolong langit sebagai bagian mereka” (Ulangan 4:19)
Manusia modern tentu tidak lagi menganggap matahari atau bulan sebagai Tuhan. Namun bagaimana dengan orang-orang jaman dulu ketika sains belum berkembang seperti sekarang ini? Timur Tengah kuno dikenal dengan maraknya penyembahan terhadap benda2 langit. Ribuan peninggalan sejarah seperti inkripsi, reruntuhan kuil, patung-patung dan banyak hal lainnya yang ditemukan di sepanjang jazirah Arab dari Kuwait hingga Yaman membuktikan hal tersebut.
Tapi apakah mereka mempercayai matahari, bulan, dan bintang sebagai benda-benda yang berkuasa atau penggunaan bulan dan matahari hanya sebagai simbolisasi semata? Dalam Hindu kita mengenal Chandra, sang Dewa Bulan, umat Hindu memahami Chandra sebagai sebuah pribadi, dengan bulan sebagai simbolnya. Memang terdapat beberapa aliran dalam agama Hindu, namun kebanyakan aliran menganggap adanya dewa dewi adalah pengambaran (visualisasi) dari sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan konsep Dewa Bulan tertua dalam literatur semitik terdapat dalam Epos Gilgamesh Mesopotamia, dimana Dewa Bulan disebut dengan nama “Sin” (1) Epos Gilgamesh diperkirakan dibuat 2700 tahun sebelum masehi, yang mana Dewa Bulan tidak sama dengan Bulan sebagai sebuah benda. Dalam konsep ketuhanan Semitik, Sin merupakan tuan dari segala tuhan, pemimpin dari segala dewa, dan sang pencipta dari segalanya. Masyarakat Semitik kuno mempercayai Dewa Bulan adalah pencipta dari keseluruhan benda2 langit, matahari, bintang, atau bulan sekalipun diciptakan oleh Sin. Bagaimana bisa Dewa Bulan menciptakan Bulan? Sebutan Sin sebagai dewa bulan, bukan karena bulan dianggap sebagai benda langit paling berkuasa, namun ini hanyalah simbolisasi peranan bulan dalam praktek astrologi semitik yang di pandang memiliki peranan terpenting bagi masyarakat. (2)
Dalam konsep astrologi Semitik terdapat 7 benda langit utama, tujuh adalah angka keramat dalam kepercayaan semitik, karena ketujuh benda langit ini adalah yang nampak dengan mata telanjang, yaitu bulan, matahari, merkurius, mars, venus, jupiter dan saturnus (3), yang dimasa modern disebut sebagai planet planet klasik. Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penamaan dari Dewa Dewi sebagai simbolisasi dari ketujuh planet tersebut sesuai dengan bahasa masing masing suku dan daerah. Dari ketujuh benda langit tersebut, dikelompokkan lagi menjadi 3 benda langit terpenting, yaitu Bulan, Matahari dan Venus, didasarkan pada pengaruh dalam astrologi dan kejelasan dalam pengamatan visual.
Bukti bukti arkeologis menunjukkan bahwa di Jazirah Arab dan sekitarnya terdapat banyak rumah ibadah bagi dewa dewi perbintangan. Di Ur, daerah Irak kini, terdapat rumah ibadah (kuil) Ziggurat bagi penyembahan terhadap dewa bulan Nanna (4). Tayma, sebuah daerah di Barat Laut Saudi Arabia, utara Mekah, pernah didirikan kuil dewa bulan Sin oleh raja Nabonidus (5). Di Hudaydah, Yaman, diadakan penggalian arkeologis dibekas kuil kuno oleh Dr. G. Caton Thompson dan ditemukan banyak artefak berlambang bulan sabit, dan inkripsi mengenai Sin (6). Di Ma’arib Yaman terdapat Mahram Bilqis, atau disebut juga kuil Awam, tempat penyembahan dewa bulan Almaqah, meski beberapa menyebutnya dewa matahari (7). Lalu bagaimana di daerah Mekah dan sekitarnya? Seluruh sejarawan Islam setuju jika polytheisme atau paganisme (al-watsaniyah) adalah agama mayoritas masyarakat Mekah saat itu. Al Quran menginformasikan beberapa dewi (tuhan perempuan) yang merupakan sekutu Allah;
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik), menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (sebagai sesembahanmu)? "dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?." – (QS. An-Najm : 19-20)
Dari Kitab al-Ashnam (Book of Idols) Hisyam al-Kalbi (8) kita mengetahui bahwa ketiga dewi tersebut merupakan bagian dari 27 dewa dewi Kabah yang disebut dalam kitab tersebut. Lebih detail lagi, Jawad ‘Ali dalam bukunya Al-Mufashashal fi Tarikhi al-‘Arab Qabla al-Islam mengupas mengenai polytheisme Arab pra Islam. Berikut pembahasan satu persatu, dari ketiga dewi sekutu Allah yang disebut dalam Al Quran;
ALLAT
Dalam kitab tafsirnya mengenai QS. An-Najm 19-20, al-Thabari menyatakan, masyarakat Arab pra Islam menjadikan kata al-lata untuk menyebut Tuhan yang berkonotasi perempuan, dibentuk dari kata Allah yang berarti Tuhan laki-laki (maskulin). Kata Allah dipertemukan dengan huruf ta` memberikan makna perempuan (feminim), sehingga sering sebut juga dengan Allat. Hal ini bukan menunjukkan bahwa Allah atau Allat memiliki alat kelamin, namun menyatakan konotasi gender dari nama tersebut. Misalnya nama Budi di Indonesia konotasinya adalah laki-laki, sedangkan nama Wati konotasinya adalah perempuan.
Selain terdapat patungnya di Mekah, tempat pemujaan khusus bagi Al-Lata berada di Taif, berjarak kurang lebih 70km dari Mekah. Bangunan tempat pemujaan Allat mirip dengan Kabah yang berada di Mekah, yakni berbentuk kubus dan berkelambu (ishtar). Seperti halnya kabah di Mekah, kabah di Thaif ini juga memiliki ritual thawaf (mengelilingi kabah). Rumah pemujaan Allat ini oleh masyarakat jahiliyah disebut dengan bait al-rabbah (rumah Dewi pemelihara jagad raya), yaitu bentuk kata perempuan (mu`annats) dari kata rabb yang memiliki arti Dewa pemelihara jagad raya.
Para sejarawan berpendapat Allat (9) adalah pasangan Allah, atau istri Allah, meski sebagian yang lain menyatakan sebagai putri Allah. Hisyam al-Kalbi menulis bahwa patung dewi Allat di Taif berbentuk kotak, yang bentuknya serupa dengan batu yang digunakan orang Yahudi untuk mengolah tepung. Lalu berkonotasi dengan planet apakah dewi Allat ini? Jauh sebelum Islam lahir, daerah Mekah, Taif, dan sekitarnya dikelilingi oleh kuil kuil dewa dewi astrologi semitik, entah itu dewa bulan, dewi matahari dan sebagainya, jadi tak dapat dipungkiri jika kepercayaan polytheis Mekah berhubungan juga dengan dewa dewi astrologi semitik.
Dari Mahram Bilqis di Yaman didapati beberapa inkripsi dari reruntuhan kuil yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Saba di Arab Selatan saat itu. Dalam inkripsi tersebut tertulis, “Putri putri dari Il, Al-Ilat dan Al-Uzza” (10). Il adalah sebutan bagi Almaqah, beberapa ahli seperti Dr. Wendell Phillips berpendapat bahwa ia adalah dewa bulan, sedangkan yang lain berpendapat ia dewa matahari. Namun beberapa penelitian terakhir, seperti penelitian yang dilakukan Wolf (11) di kuil Almaqah di Etophia (Habasyah dahulu) menguatkan pendapat bahwa Almaqah adalah dewa bulan, bukan matahari.
Al Quran memberikan keterangan menarik mengenai polytheisme di Saba ini;
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk. (QS An Naml 24)
Terdapat kalimat menyembah matahari selain Allah (min duunillahi), jadi selain menyembah Allah atau disamping menyembah Allah, masyarakat Saba juga menyembah matahari. Seperti halnya kata Allat bersifat feminim, kata matahari (shams) dalam bahasa Arab juga bersifat feminim.
Yusuf Ali (12) dalam komentarnya terhadap QS. An-Najm 19-20, menyatakan;
Allat, Uzza dan Manat, ketiganya adalah dewi perempuan. Lat merepresentasikan penyembahan terhadap matahari. Dalam bahasa Arab Matahari bersifat feminim dan begitu pula dalam bahasa semitik secara umum.
Egerton Sykes (13) dalam bukunya menulis:
Dalam budaya polytheisme pra-Islam Allat adalah pasangan kewanitaan dari Allah, Lat adalah nama lain dari dewi matahari Samas.
Merujuk pada surat An Naml tadi, penyembahan matahari seperti apa yang disembah masyarakat Saba selain Allah? Dalam inkripsi Saba yang memuat tulisan “Putri putri dari Il, Al-Ilat dan Al-Uzza”. Jika Il adalah sebutan bagi Almaqah dan sesosok dewa berkonotasi laki-kaki, sedangkan matahari yang konotasinya adalah perempuan (dewi), hal maka kemungkinan dewi matahari dalam kepercayaan Saba adalah antara Al-Ilat dan Al-Uzza.
UZZA
Sebuah Inkripsi di Nabatea menegaskan kembali bahwa Al-Uzza (14) adalah nama lain bagi Aphrodite Ourania yang tak lain adalah dewi Venus. Selain terdapat di Kabah Mekah, patung Al-Uzza secara khusus juga dipuja di Kuil Nakhla. Kuil di Nakhla ini dikemudian hari atas perintah Muhammad dihancurkan oleh Khalid bin al-Walid. Dalam kitabnya, Hisyam al-Kalbi dan Jawad ‘Ali sama sama menyebutkan bahwa Muhammad sebelum mengenal Tauhid, seringkali memberikan persembahan bagi Al-Uzza.
“Kami diberitahu bahwa Rasulullah pernah menyinggung hal tentang al-‘Uzza dan katanya, “Aku telah menyembelih domba putih kepada al-‘Uzza, ketika aku masih menjadi pengikut agama masyarakatku.”
MANAT
Menurut Jawad ‘Ali, kuil yang dikhususkan bagi dewi Manat (15) adalah kuil milik suku Khuza’ah dan Bani Ka’b di Yatsrib (Madinah). Pendapat berbeda dinyatakan oleh Hisyam al-Kalbi, bahwa kuil Manat adalah milik suku Aus dan Khazraj di Yatsrib. Kedua pendapat ini walaupun sedikit berbeda namun keduanya sepakat bahwa Kuil Manat berada di Yatsrib. Patung Manat berwujud wanita berkulit hitam, namun tidak terdapat informasi mengenai hubungan Manat dengan planet dengan tertentu.
Jawad Ali juga menyebutkan bahwa ritual keagamaan paganisme di kuil Manat sama seperti ketika ritual di Kabah. Yaitu haji, wuquf, dan tahallul (memotong rambut) di halaman kuil Manat. Banyak suku-suku penyembah berhala dari luar Yatsrib yang berkunjung ke kuil Manat, antara lain Quraish, Khuza’ah, Hudzail, Tsaqif, Azad, dan yang lainnya. Penyembah berhala mengagungkan Manat dan menyembelih binatang di pelatarannya (hatim) sebagai penghormatan terhadap Tuhan.
Hisyam al-Kalbi meriwayatkan bahwa kuil Manat ini atas perintah Muhammad dihancurkan oleh Ali bin Abu Thalib. Ali memperoleh banyak harta benda dari kuil itu. Riwayat lain menyebutkan bahwa kuil Manat tersebut dihancurkan oleh Sad bin Zaid al-Ashhali, bersamaan saat Muhammad memerintahkan Khalid bin al-Walid untuk menghancurkan kuil Uzza di Nakhla.
HUBAL
Adalah keanehan karena nama Hubal (16) ternyata tidak tercantum dalam Al Quran, padahal berdasar sejarah Islam ia adalah dewa penting di Kabah. Hisyam al-Kalbi mendeskripsikan Hubal dengan patung batu akik merah berwujud manusia, dimana tangan kanannya yang patah diganti dengan tangan emas oleh orang-orang Quraish. Menurut Karen Armstrong dan orientalis lainnya, Kabah Mekah adalah rumah Hubal, Kabah Mekah didirikan bagi Hubal, hal ini sejalan dengan pendapat Hisyam al-Kalbi bahwa Hubal adalah dewa utama di Kabah Mekah. Julius Wellhausen menyatakan bahwa dalam polytheisme Arab, Hubal dianggap sebagai anak lelaki al-Lat dan Hubal bersaudara dengan Wadd, sosok dewa yang juga disebut dalam Kitab al-Ashnam (17). Yoel Natan dalam papernya menyatakan bahwa Hubal adalah simbolisasi bagi Jupiter (18).
Ibnu Ishaq meriwayatkan sebuah kisah dimana dewa dewi Quraish hanyalah jembatan atau perantara (wasilah) kepada Allah;
Ketika Abdul Muttalib (kakek Muhammad) menerima perlawanan dari suku Quraish dalam menggali zamzam, dia berjanji jika dia diberikan 10 anak, dia akan menyembelih satu anaknya kepada Allah di Kabah...(tahun-tahun berikutnya, dia memiliki 10 anak, dan...) sehingga mereka kembali ke Mekah dan... Abdul Muttalib berdiri di hadapan Hubal dan berdoa kepada Allah. Kemudian dia mempersembahkan Abdullah (Ayah Muhammad) dan 10 unta sebagai kurban persembahan dan melemparkan panah undian.( Melemparkan panah undian adalah cara untuk mengetahui kehendak perantara (Hubal), seperti dadu undian). Dia ingin tahu apakah dia harus tetap meneruskan mempersembahkan anaknya, hasilnya adalah dia tidak perlu menyembelih anaknya. Pada saat itu orang dari suku Quraish berkata kepada Abdul Muttalib yang berdiri di dekat Hubal dan sedang berdoa kepadanya, "Sudah Selesai! Allah-mu, berkenan kepada-mu. Ya Abdul Muttalib..." (Sirat Rasul Allah. p.126).
Dibagian lain Ibn Ishaq juga menulis mengenai Abu Sufyan yang berteriak; “Mahakuasa Hubal”, yang kemudian dijawab Umar; “Mahakuasa Allah”. Bukhari juga meriwayatkan kisah ini dengan kalimat yang berbeda. Kisah ini terjadi saat Muhammad bersembunyi dari kejaran Abu Sufyan saat kekalahan kaum muslim di perang Uhud.
Abu Sufyan naik ke tempat tinggi dan berteriak; "Apakah Muhammad ada diantara kalian semua?" Nabi kemudian berkata; "Jangan menjawabnya." Abu Sufyan bertanya; "Apakah ada putra Abu Quhafa di antara kalian semua?" Nabi berkata; "Jangan menjawabnya." Abu Sufyan berkata; "Apakah putra Al Khattab ada diantara kalian semua?" Dia kemudian menambahkan, "Oooh semua orang ini telah tewas, jika mereka hidup tentu mereka akan menjawab." Saat itu Umar sudah tidak bisa menahan diri kemudian menjawab; "Kamu pembohong, Hai musuh Allah! Allah telah membuat apa yang akan membuatmu bahagia." Abu Sufyan berkata, "Mahakuasa Hubal!" Nabi berkata (kepada teman-temannya); "Balas ucapannya!" Mereka bertanya; "Apa yang bisa kita katakan?" Ia mengatakan; "Katakanlah: Allah A’la wa Jalla (Allah Mahatinggi dan Mahamulia)! "Abu Sufyan berkata, "Kami memiliki Uzza, sedangkan kamu tidak!" Nabi berkata (kepada teman-temannya); "Balas kepadanya!" Mereka mengatakan; "Apa yang harus kami katakan?" Nabi berkata; "Katakanlah: Allah adalah penolong kami dan kamu tidak memiliki penolong."
Membandingkan kisah Abdul Mutallib dan Abu Sufyan diatas tentu kita akan melihat sebuah kontradiksi. Bagaimana mungkin Abu Sufyan membandingkan Allah dengan Hubal, sedangkan dalam kisah Abdul Mutallib Hubal hanyalah wasilah (perantara) menuju Allah. Para mufassir juga menyatakan hal yang sama, bahwa kaum Quraish sudah mengenal Allah, contohnya pada ayat berikut;
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Yunus: 31)
Ayat ini sejalan dengan QS. an-Naml: 62, dan QS. al-’Ankabut: 63, yang menunjukkan kafir Quraish menyembah Allah Taala. Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa Kafir Quraish sebelum kedatangan Islam telah mengakui Allah adalah sang pencipta, yang menguasai alam semesta, dan tidak ada seorangpun diantara kaum Quraish yang mengingkari hal ini (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat). Muhammad At Tamimi juga menceritakan bahwa kaum Quraish sebelum Islam adalah orang2 yang rajin sholat, menunaikan ibadah haji, berzakat, berdzikir, dan berpuasa.
Dengan kenyataan tersebut maka terdapat beberapa kemungkinan; Pertama, Hubal memang merupakan pesaing dari Allah, dan Allah baru saja dikenal oleh orang Quraish, sehingga kaum kafir seperti Abu Sufyan membanggakan Hubal, sedangkan kaum muslim membanggakan Allah. Jika kemungkinan pertama yang diterima maka riwayat-riwayat sahih mengenai kaum Quraish yang telah mengenal Allah sejak dahulu kala adalah riwayat palsu. Kedua, Hubal memang merupakan wasilah, atau sebatas perantara kepada Allah, sama halnya Allat, Uzza, Manat hanyalah wasilah. Jika kemungkinan kedua yang diterima maka, riwayat mengenai Abu Sufyan yang membanggakan Hubal diragukan kebenarannya, meskipun hadist yang menceritakan hal tersebut derajatnya hampir mutawatir. Inilah yang ditentang kaum Qurainis, kaum ingkar sunnah, yang akan dibahas diartikel lain di situs ini. Menurut mereka hadist mutawatirpun belum tentu benar, dan hadist doif pun belum tentu salah.
Keseluruhan tafsir ayat-ayat Al-Quran menyiratkan bahwa kaum kafir Quraish memang telah mengenal Allah, namun bedanya dalam kepercayaan mereka Allah memiliki sekutu ilah lainnya. Misalnya tersirat dalam sebuah hadist;
Riwayat Ibnu Abbas, ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah bersabda,“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (Hadist Muslim no. 1185)
Bagaimana Muhammad yang dulu seorang polytheis, yang menyembelih domba bagi Uzza, dapat berubah pandangannya menjadi monotheis? Apakah pandangan Muhammad berubah karena bisikan Jibril? Jazirah Arabia pada masa pra Islam adalah medan dakwah bagi para misionaris Kristen. Ibn Ishaq misalnya menyebut Najran, daerah yang dahulu dihuni penganut polytheisme seperti halnya Mekah, yang kemudian mengenal tauhid Ibrahim melalui dakwah Kristen. Sejarah Islam juga mencatat bagaimana perebutan pengaruh antara Yahudi dan Nasrani di Yaman dimasa pra Islam, sampai akhirnya ditahun 570 masehi seorang gubernur Nasrani dari Habasyah bernama Abrahah berencana menghancurkan kekafiran di Mekah, namun justru Allah melindungi Kabah dengan 360 patung dewa dewinya dengan mengirim burung Ababil yang membawa batu panas untuk menghancurkan pasukan Habasyah, namun anehnya kaum muslim nantinya justru hijrah ke negara Kristen itu untuk mengungsi.
Ibnu Ishaq menceritakan mengenai 4 orang hanif mula mula di Mekah sebelum Muhammad, yaitu Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy, dan Ustman bin Huwairits. Mereka kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama hanif yang benar. Adapun Waraqah bin Naufal akhirnya memeluk agama Nasrani, sementara Ubaidillah bin Jahsy dan Utsman bin Huwairits masih melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah Islam. (Ubaidillah bin Jahsy pun beriman dan masuk Islam, namun akhir murtad dan memilih Nasrani dan tinggal di Habasyah (Abyssinia/ Ethopia). Sedangkan Utsman lebih memilih menjadi Nasrani dan tinggal di Romawi.) Sedangkan Zaid pergi hingga ke Syria, namun seorang pendeta Nasrani memberitahukannya bahwa Allah telah mengutus seseorang (Muhammad) untuk mengajarkan Tauhid Ibrahim di Mekah hingga ia berniat kembali ke Mekah. Namun Zaid telah dibunuh oleh Arab Badui sebelum sempat bertemu oleh orang yang dikatakan pendeta Syria tersebut.
Ibnu Ishaq juga meriwayatkan sebuah kisah dimana Zaid menentang ibadah haji di Kuil Kabah yang dilakukan para kafir Quraish; “Demi Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah menyimpang dari ajaran2 agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.” (Ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah hal. 100-101).
Muhammad bin Abdullah bukanlah orang yang pertama kali mensyiarkan tauhid di Mekah. Abrahah misalnya, melalui utusannya, Muhammad bin Khuza'i, tentu telah mensyiarkan tauhid Ibrahim dengan niat menghancurkan kekafiran di kuil Kabah dengan 360 patungnya. Atau Waraqah, sepupu dari Khadijah, istri pertama Muhammad, yang adalah seorang pendeta Nasrani. Sebagai seorang pendeta ia tentu berdakwah mengenai monotheisme. Jika dihitung dari tahun Muhammad menikah, yaitu ditahun 595M hingga meninggalnya Waraqah sekitar tahun 610M, berarti Muhammad bergaul dengan Waraqah lebih dari 15 tahun.
ALLAH
Lalu bagaimana sebenarnya pemahaman masyarakat polytheis Mekah terhadap Allah? Ayat-ayat Al Quran menunjukkan bahwa masyarakat kafir Mekah juga menganggap Allah sebagai tuhan utama. Seperti halnya Hubal yang adalah wasilah kepada Allah, demikian pula Allat, Uzza, dan Manat, adalah perantara kepada Allah. Jika dalam kepercayaan polytheis Saba, Almaqah adalah dewa bulan, Allat adalah dewi Matahari, Uzza adalah dewi Venus, identik dengan kepercayaan polytheis Mekah dimana Allat adalah dewi Matahari, Uzza adalah dewi Venus, Hubal adalah dewa Jupiter dan Manat adalah dewi namun tidak diketahui dikonotasikan dengan planet apa, maka kemungkinan besar dalam ketuhanan polytheis Mekah, dewa bulan sebagai dewa tertinggi dan utama tidak lain adalah Allah itu sendiri.
Seandainya Allah polytheis Arab diyakini sama dengan Allah Ibrahim, bukan sebagai dewa bulan, bukankah ini kontradiksi? Dalam Tauhid Ibrahim menyekutukan Allah adalah kejahatan terbesar. Dalam ideologi monotheisme Ibrahim, tuhan bersifat otoriter, sangat pencemburu, dan menuntut keesaan absolut, sehingga kecil kemungkinan ia akan berbagi tempat dengan tuhan-tuhan lain. Jika Allah dalam kepercayaan polytheis Arab dianggap sebagai Allah Ibrahim, mengapa saat pasukan gajah Abrahah hendak menghancurkan kekafiran di Kabah, Allah justru melindungi 360 patung patung berhala disana? Apakah bagi Allah patung dewi dewi itu dan bangunan kotak lebih berharga daripada nyawa tentara bergajah yang justru adalah orang-orang Nasrani yang dianggap beriman kepada Tauhid Ibrahim.
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al Fiil: 1-5).
Jadi mustahil jika Allah dalam kepercayaan kafir Quraish adalah Allah Ibrahim. Nama yang digunakan memang sama, namun subyeknya berbeda secara alur. Seperti penjelasan pada artikel terdahulu, bahwa kata Allah pada masa pra Islam seringkali dipakai sebagai nama pribadi maupun sebutan untuk gelar / jabatan ketuhanan, apapun agamanya (18). Yusuf Ali menyatakan bahwa ritual2 ibadah kaum polytheis Quraish masa lalu telah mengalami spiritisme Islam sehingga menjadi tata cara ibadah Islam masa kini (19).
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS Ali Imran:96)
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS Al Baqarah 125)
Jelas bahwa kisah mengenai Kabah yang didirikan Adam kemudian dilanjutkan Ibrahim hanyalah hal yang diciptakan belakangan, hasil sinkretisme tauhid Ibrahim dengan polytheisme Arab. Tidak terdapat satupun bukti arkeologis maupun syair-syair kuno pra Islam yang menyebut mengenai bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim. Syair-syair Arab kuno hanya menceritakan mengenai Adnan sebagai nenek moyang Arab, karenanya sejarawan Islam menciptakan silsilah palsu dari Adnan sampai kepada Ismail, tanpa didasari referensi apapun.
Sejarah Islam menyatakan bahwa kiblat awal mula umat Islam adalah Yerusalem, dimana ini adalah arah kiblat umat Yahudi Arab saat itu, yang sholat menghadap ke Baitullah Yerusalem. Lalu tiba2 pada tahun 624M Muhammad atas perintah Allah memindahkan kiblat ke arah Kabah (Masjidilharam) yang masih menjadi rumah bagi Allah Kafir Quraish dengan 360 patung berhalanya, dan baru menghancurkan patung2 itu di tahun 630M setelah pasukan Muslim berhasil menundukkan Mekah.
Berarti hampir kurang lebih 6 tahun, Muhammad dan kaum muslim berkiblat pada 360 patung2 di Kabah. Tidak ada dalil atau penjelasan apapun dari pakar Islam mengenai kenapa Allah melalaikan Kabah Mekah sehingga bisa menjadi pusat penyembahan berhala. Dan tidak ada penjelasan masuk akal juga mengenai urgensinya Muhammad memindahkan kiblat ke arah Kabah dengan 360 patungnya, tidak menunggu sampai Kabah bersih dari patung berhala.
Proses sinkretisme seperti ini jelas dilakukan Muhammad untuk menarik minat penganut polytheisme Allah Dewa Bulan kepada monotheisme Allah Ibrahim. Yusuf Ali menyatakan; bulan adalah tuhan laki2 dalam kepercayaan India Kuno, ia juga adalah tuhan laki2 dalam kepercayaan semitik kuno. Kata arab untuk bulan (qamar) bersifat maskulin (kelaki2an) dan untuk matahari (shams) bersifat feminim (kewanitaan). (20)
Selain itu ritual ritual yang dilakukan para polytheis Mekah menunjukkan bahwa mereka melakukan ritual penyembahan kepada tuhan-tuhan astrologi. Tawaf mengitari Kabah sebanyak tujuh kali tak lain adalah ritual penghormatan kepada astrologi semitik, yang melambangkan peredaran ketujuh planet utama, dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ritual tawaf ini juga dilakukan hampir disemua rumah ibadah pagan di jazirah Arab, bukan hanya di Mekah. Bahkan jika kita menilik pada kepercayaan Hindu dan Budha masa kini, terdapat ritual mengitari, yang disebut pradaksina. Dalam kompleks Kabah juga terdapat batu dengan relief jejak kaki, yang setelah Islam lahir disebut dengan nama Maqam Ibrahim, dan lagi lagi jejak kaki seperti ini juga seringkali ditemukan di kuil kuil Hindu, apakah ini hanya sebuah kebetulan?
Masyarakat astrologi semitik di Yaman yang menempatkan bulan sebagai dewa utama, menggunakan pergerakan bulan secara murni / penuh (lunar bukan lunisolar) sebagai penanggalannya. Demikian pula masyarakat kafir Quraish, dalam setiap ritual ibadahnya selalu didasari atas pergerakan bulan, seperti Hilal dalam penentuan awal bulan Ramadhan. Dalam penelitian terhadap budaya Sumeria, Seton Lloyd menulis; Masyarakat Mesopotania Kuno, dalam pengagungannya terhadap bulan, setiap bulan kesembilan sesuai dengan penanggalan mereka, mengadakan festival satu bulan penuh sebagai peringatan lahirnya dewa bulan Nanna. (21) Meski tidak sama, ritual bulan kesembilan ini mirip dengan konsep kesucian bulan ramadhan yang dilakukan masyarakat polytheis Mekah, yang juga diadopsi dalam Islam.
Benar yang disampaikan oleh Yusuf Ali, bahwa ritual-ritual ibadah kaum polytheis Quraish masa lalu telah mengalami spiritisme monotheisme sehingga menjadi tata cara ibadah Islam masa kini. Semua bukti menunjukkan bahwa ritual-ritual seperti tawaf, mencium hajar aswad, dan sebagainya adalah ritual paganisme, yang berkaitan dengan astrologi semitik. Adalah paradoksial, jika Muhammad menghancurkan patung-patung berhala namun menyisakan satu batu tauhid Hajar Aswad dan mengagungkannya, hingga semua muslim disunnahkan untuk melakukan istilam, mencium batu hajar aswad tersebut, meletakkan dahi dibatu itu dan mengucap ”bismillahi Allahu Akbar” dihadapan batu tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa Islam lahir dari rahim polytheisme dan paganisme yang memperoleh pengaruh tauhid Ibrahimik, sehingga ritual-ritual polytheisme tidak dapat dilepaskan dari ibadah muslim hingga saat ini. Proses sinkretisme atau percampuran kepercayaan astrologi semitik dengan kepercayaan tauhid Ibrahimik dalam Islam melahirkan kisah-kisah baru, seperti hajar aswad yang dulu adalah batu meteorid yang dianggap istimewa karena jatuh dari langit oleh masyarakat pagan, kemudian di-Islamkan dengan kisah bahwa batu tersebut berasal dari surga yang dibawa Jibril bagi Ismail yang warnanya berubah menjadi hitam akibat dosa manusia. Atau kisah batu dengan relief jejak kaki yang banyak ditemukan dikuil kuil polytheis, mengalami Islamisasi dengan dikisahkan sebagai batu dari surga yang digunakan sebagai pijakan Ibrahim saat membangun Kabah, dan masih banyak kisah kisah spiritisme Islam lainnya.
Tidak seluruh muslim percaya dan setuju akan ibadah pagan yang di-Islamkan. Kelompok yang paling terkenal adalah Ismailiyah Qarmatians, yang tidak menganggap haji sebagai hal sakral, sehingga mereka melakukan invasi ke Mekah, mengambil hajar aswad dan membunuh mayoritas jamaah haji yang ada disana. Kelompok tersebut menguasai hajar aswad kurang lebih selama 21 tahun, sampai akhirnya Khalifah Abassiah dengan kekuatan politik memaksa mereka untuk mengembalikan batu tersebut, meski dengan keadaan terpecah menjadi beberapa bagian.
Tak dapat diingkari bahwa akulturasi dan sinkretisme memang terjadi dalam semua agama, baik Islam, Nasrani, ataupun Yahudi. Namun bagaimana proses itu terjadi, inilah yang terpenting. Sungguh ironis, disaat jutaan jamaah berpergian tiap tahun ke Mekah, dan dengan bangga memutari sebuah batu, disisi lain terdapat kelompok kelompok kecil muslim yang menolak melakukan ritual haji, berusaha memurnikan tauhid dengan menolak ritual penyembahan kafir, namun justru dianggap sesat oleh kebanyakan kita.
Referensi:
1) https://en.wikipedia.org/wiki/Sin_(mythology)
2) https://en.wikipedia.org/wiki/Epic_of_Gilgamesh
3) https://en.wikipedia.org/wiki/Classical_planet
4) https://en.wikipedia.org/wiki/Ziggurat_of_Ur
5) https://en.wikipedia.org/wiki/Nabonidus
6) G. C. Thompson; Tombs and Moon Temple of Hureidah, p76
7) https://en.wikipedia.org/wiki/Almaqah
8) https://en.wikipedia.org/wiki/Book_of_Idols
9) https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Lat
10) Ryckmans, Jacques.EB, “Arabian religions,” 2004. P.180
11) Wolf, P. & Nowotnick, U., 2010, The Almaqah temple of Meqaber Ga'ewa near Wuqro (Tigray, Ethiopia), PSAS 40, 363-376
12) Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text and Translation, Appendix XIII. Ancient Forms of Pagan Worship, pp. 1623.
13) Sykes. Mythology, Allat(u) entry, p. 7.
14) https://en.wikipedia.org/wiki/Al-‘Uzzá
15) https://en.wikipedia.org/wiki/Manāt
16) https://en.wikipedia.org/wiki/Hubal
17) J. Wellhausen, "Reste Arabischen Heidenthums," p.221, 218, 219
18) Yoel Nathan, "Moontheism", vol. I, p. 329
19) Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Translation and Commentary, p. 80, fn. 223
20) www.sacred-texts.com/pag/pip.htm
21) Lloyd, Seton. Mesopotamia; excavation of Sumerian sites vol. 1, p. 162, 1936
.