KESALAHAN KATA TATABAHASA AL-QURAN
Imajinasi Keajaiban |
Bahasa Arab memiliki tata bahasa dan aturan jauh sebelum Muhammad lahir, para pujangga Mekah seringkali berlomba membuat syair yang terindah diantara mereka. Meskipun faktanya aturan tata bahasa dalam kitab2 tradisional baru disusun jauh setelah masa Muhammad, bukan berarti bahwa aturan tatabahasa itu tidak ada. Semua puisi pra-Islam dan sastra Arab sebelum lahirnya Muhammad mengikuti aturan tata bahasa Arab yang diterima oleh masyarakat Arab, meskipun belum ada aturan dalam bentuk tertulis. Tulisan dan aksara Arab saja baru berkembang seiring perkembangan Islam yang awalnya hanya berupa huruf Arab gundul. Bahkan Quran sendiri tidak disusun dalam sebuah buku sampai beberapa dekade setelah kematian Muhammad.
Sejarah yang diterima umum, bahwa yang pertama kali membukukan aturan tatabahasa Arab adalah Sibawaih (760-793) (1), dan ini jauh setelah kematian Muhammad (632). Banyak kitab2 lain, oleh penulis lain, yang muncul kemudian. Para pakar bahasa Arab tersebut menggunakan puisi pra Islam dan sastra Arab, termasuk Quran, sebagai referensi untuk menentukan aturan yang secara luas diterima di Arab.
Namun Quran adalah dilema bagi para pakar ini, meskipun sebagian besar Quran mengikuti aturan tata bahasa, tetapi terdapat beberapa bagian yang tidak, masalah ini juga diperuncing dengan begitu banyaknya versi Quran yang beredar saat itu. Para pakar ini menghadapi pilihan sulit karena yang Quran seharusnya sempurna sebagai perkataan Allah namun ternyata terdapat banyak kesalahan didalamnya, satu-satunya pilihan mereka adalah untuk membuat banyak PENGECUALIAN untuk Quran.
Tidak ada kitab lain yang diperlakukan dengan keistimewaan seperti itu, yang mana semua kesalahannya dikesampingkan, dan diciptakan alasan2 agar nampak benar. Dengan perlakuan bias dalam pikiran para pakar ini, dan setelah begitu banyaknya kesepakatan dari para ulama Arab, bagaimanapun juga muslim harus berkeyakinan bahwa Quran harus benar-benar bebas dari kesalahan, baik kesalahan kandungan, salah kata ataupun salah dalam tata bahasanya.
Namun keyakinan seperti ini bertentangan dengan begitu banyaknya bukti yang ada, banyak riwayat, banyak kisah yang menjelaskan berbagai kesalahan dalam Quran;
CONTOH SALAH KATA
Akan banyak contoh kesalahan kata dalam Quran, salah satu contohnya kesalahan yang banyak tercatat dalam kitab2 sejarah sunni adalah penggunaan kata “tasta’nisuu” dalam Surat An Nur ayat 27.
“Yaa ayyuhaalladziina aamanuu laa tadkhuluu buyuutan ghayra buyuutikum hattaa tasta’nisuu watusallimuu 'alaa ahlihaa dzaalikum khayrun lakum la'allakum tadzakkaruun”
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (Depag)
Kata yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “meminta izin” tersebut menurut beberapa riwayat dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas yang benar adalah “tasta’zinuu”. Namun karena Quran telah terlanjur dibukukan oleh Zaid bin Tsabit, dibuatlah kompromi atas hal tersebut. Baik tasta’nisuu ataupun tasta’zinuu sebenarnya memiliki arti yang mirip, namun berbeda secara penekanan.
Sumber:
1. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, Vol. 11 p. 8
2. al-Itqan fi Ulum al-Quran, Vol. 1 p. 228
3. Mustadrak al Hakim Vol 3 p. 253 Hadist no.3496
4. Tafsir Dur al Manthur, Vol. 5 p. 38
5. Tafsir Tabari, Vol. 18 p. 146
6. Tafsir Ruh al-Ma'ani, Vol. 18 p. 133
7. Tafsir Al Bahr Al Muhit, Vol. 8 p. 302
8. Tafsir al-Kabir, Vol. 11 p. 295
9. Tafsir Fatah al-Qadir (ash-Shawkani), Vol. 5 p. 712
10. Tafsir al-Lubab, Vol. 14 p. 341-342
Imam Hakim menulis sebuah riwayat;
Diriwayatkan oleh Mujahid;
Ibnu Abbas mengatakan tentang ayat “laa tadkhuluu buyuutan ghayra buyuutikum hattaa “TASTA’NISUU”. Ini adalah kesalahan oleh juru tulis, (yang sebenarnya adalah) “TASTA’ZINUU”
Imam Hakim menyatakan;
"Hadis ini sahih meskipun kedua ulama hadist (Bukhari dan Muslim) tidak merekamnya"
Imam Ibn Hajar Asqalani juga menyatakan keaslian / keontentikan riwayat ini:
Sa'id bin Mansur, al-Tabari dan al-Baihaqi dalam al-Shi'b telah meriwayatkan melalui rantai yang sahih bahwa Ibnu Abbas melafalkan "HATTAA TASTA’ZINUU" dan mengatakan:'”juru tulis telah membuat kesalahan”.
Tafsir Tabari juga menyatakan keotentikan riwayat Ibnu Abbas tersebut dengan rantai perawi:
Ibnu Bashar meriwayatkan dari Muhammad bin Jaffar dari Shu'aba dari Abi Bashir dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas tentang ayat ini;. Dia berkata: " laa tadkhuluu buyuutan ghayra buyuutikum hattaa TASTA’NISUU watusallimuu 'alaa ahlihaa” ini adalah kesalahan oleh juru tulis, seharusnya "laa tadkhuluu buyuutan ghayra buyuutikum hattaa TASTA’ZINUU watusallimuu 'alaa ahlihaa”
Dalam kitabnya Taqrib al-Tahdhib, Ibn Hajar Asqalani menyatakan Muhammad bin Bashar, Muhammad bin Jaffar al-Hadali dan Shu'aba adalah 'thiqah' (terpercaya), sedangkan Abi Bashir dan Said bin Jubair adalah 'thiqah dhabit'.
Said bin Jubair, salah satu tabi’in yang dihormati memberikan pernyataan yang sama dari jalur yang berbeda;
Ibn al-Muthana meriwayatkan dari Wahab bin Jarir dari Shu'aba dari Abi Bashir dari Said bin Jubair, yang menyatakan: "Ini seharusnya 'TASTA’ZINUU' namun itu adalah kesalahan dari juru tulis”.
Menurut Imam Ibn Hajar Asqalani; Wahab bin Jarir dan Shu'aba adalah 'thiqah' sementara Muhammad bin al-Muthana, Abi Bashir dan Said bin Jubair adalah 'thiqah dhabit'.
ash-Shawkani dalam Tafsir Fatah al-Qadir, juga mencatat mengenai hal ini;
"Faryabi, Said bin Mansur, Abd bin Hamid, Ibnu Jarir, Ibnu Manzari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Anbari dalam kitab Al-Masahif,.… yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah kesalahan juru tulis. "
Hal serupa juga diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Masud dan Ubai bin Ka'ab di beberapa riwayat yang pesannya sama dengan yang dikutip diatas.
Beberapa ulama beralasan bahwa mungkin terdapat beberapa ragam bacaan (qiraat), sehingga hal ini tidak berpengaruh signifikan dalam maknanya. Namun pernyataan ini keliru, karena ini bukan masalah qiraat;
Setelah mengutip pernyataan dari Ibnu Abbas, Imam Ibnu Adil al-Dimashqi al-Hanbali (880H) dalam komentarnya di Tafsir al-Lubab, Volume 14 halaman 341-342:
Ibnu Abbas mengatakan bahwa itu adalah 'HATTAA TASTA’ZINUU' dan bukan merupakan variasi dari qiraat. Apa yang telah diriwayatkan olehnya, bahwa beliau berkata: 'TASTA’NISUU' adalah kesalahan oleh juru tulis. Beberapa orang telah menolak hal ini karena itu akan mempertanyakan keaslian Quran yang telah disampaikan secara tawatur. Dan itu adalah kewajiban kita untuk menerima keaslian Quran. Dan tidak menerima yang belum disampaikan secara tawatur karena itu akan membuka pintu pertanyaan atas keaslian seluruh Quran.
Dalam contoh contoh berikutnya, kita tidak akan membahas secara detail, namun kita akan membahas inti kesalahannya saja, untuk yang serius akan kejelasannya silahkan membaca sumber yang dicantumkan;
CONTOH SALAH KALIMAT
Surat Ali Imrat ayat 81
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".
Kalimat "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi” adalah kesalahan, yang benar “Dan (ingatlah), ketika Allah membuat perjanjian dengan orang-orang yang diberi kitab”.
Sumber:
1. Tafsir Ruh al Ma'ani, Vol. 3 P. 205
2. Tafsir Qurtubi, Vol. 3 P. 124
3. Tafsir Tabari, Vol. 6 P. 554
4. Tafsir Dur al Manthur, Vol. 3 P. 47
5. Tafsir Fatah al Qadir, Vol. 1 P. 225
CONTOH SALAH AYAT
Jika didapati satu buah kata salah dalam Quran, kesalahan itu harus ditolak! Apalagi hingga sebuah ayat panjang yang penyebabnya adalah pengaruh setan. Jelas jelas kisah tersebut harus ditolak dalam Islam. Dan inilah yang terjadi kepada sebagian sejarawan Islam terhadap kisah ayat ayat setan.
Kisah ini dalam sejarah Islam terkenal dengan istilah Gharaniq. Sejarawan Islam seperti at-Tabari dan Ibn Sa’d memuat kisah ini dalam kitab mereka. Disebutkan bahwa Muhammad telah keliru mengira ayat-ayat yang "dibisikkan setan" sebagai wahyu Jibril. Tepatnya ayat tersebut adalah lanjutan dari Surat An Najm ayat 19-20, bunyi awalnya demikian;
Maka apakah patut kamu menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian? Ini adalah gharaniq yang dimuliakan, dan perantaraannya diharapkan.
Apakah kisah ini otentik, asli, atau hanya kisah palsu, mari kita telaah isnad dari kisah tersebut;
Sumber:
1. Fatah ul Bari Syarh Shahih Bukhari, Vol. 8 P. 34
2. Majma al-Zawa'id, Vol. 7 P. 248
3. Tafsir al-Jalalain, P. 338
4. Tafsir al-Tabari, Vol. 17, P. 186
5. Tafsir Dur al Manthur, Vol. 4 P. 367
6. Tafsir Gharaib al Quran, Vol. 17 P. 109
7. Tafsir Qurtubi, Vol. 12 P. 80
8. Tafsir Mazhari, Vol 8 P. 94
9. Ghanyatul Talibin, Abdul Qadir Jailani, P. 172
10. Tafsir al-Kashaf, Vol. 3, P. 164
11. Ahkam al Qur'an, Vol. 3, P. 246
12. Irshad al Sari Sharh Sahih al-Bukhari, Vol. 7 P. 194
13. Minhaj as Sunnah, Vol. 2 P. 409
Jalaluddin Suyuti dalam Tafsir Dur Manthur menyatakan:
Al-Bazaar dan al-Tabarani dan Ibnu Mardawih dan al-Ziya 'telah meriwayatkan melalui rantai yang kesemua dapat dipercaya (thiqah), yaitu dari Said Ibn Jubair, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi (saw) membacakan kata-kata dari Surah Najm dengan cara sebagai berikut: “Maka apakah patut kamu menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian? Ini adalah gharaniq yang dimuliakan, dan perantaraannya diharapkan.” Kaum musyrik menjadi senang mendengar ini dari Nabi (saw) dan mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka juga telah disebutkan dalam Quran. Kemudian Jibril datang dan berkata kepada Nabi (saw): "Bacalah wahyu yang sama dari Quran yang kubawa kepadamu." Nabi (saw) lalu melafalkan kata-kata: “Maka apakah patut kamu menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian? Ini adalah gharaniq yang dimuliakan, dan perantaraannya diharapkan.” Jibril lalu mengatakan: "Aku tidak membawa kata-kata ini, ini berasal dari setan". Kemudian ayat berikut diturunkan: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"
Suyuti juga mencatat riwayat ini dari jalur sahih lain;
"Ibnu Jarir dan Ibn al-Mundir dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih telah diriwayatkan melalui rantai Sahih dengan cara Said Ibn Jubayr yang mengatakan ...."
"Ibnu Jarir, Ibnu Al Munzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan rantai Sahih dari Abi Al 'Aliyah ..."
Qadi Thanaullah Panipati dalam Tafsir al-Mazhari dengan mengutip Asqalani menyatakan;
Riwayat yang telah disebutkan sebelumnya dari Said bin Jubair oleh Bazar, Ibnu Mardawaih dan Tabarani memang berturut-turut [Mutawatir] dan kuat [Qawi]. Ibnu Hajar Asqalani menyatakan bahwa dari banyaknya riwayat yang dilaporkan, dipandang bahwa terdapat kebenaran dalam hal itu ... "
Abu al-Hasan al-Haythami dalam Majma al-Zawa'id juga menyatakan hal yang sama;
"Al-Bazar dan Tabarani meriwayatkan itu dan .…. para perawinya adalah perawi terpercaya"
Atas kisah ini beberapa orang memiliki penjelasan masing2, baik yang menolak maupun menerima kisah ini sebagai sebuah kebenaran. Namun melihat fakta bahwa di gua Hira saat turunnya wahyu pertama saja Muhammad tidak mengenali Jibril, dan justru ketakutan karenanya, adalah hal mudah bagi syetan untuk membisikkan kata2 kepadanya (inipun jika Syetan dan Jibril memang benar ada, bukan rekaan Muhammad, tidak ada saksi mata lain yang dapat mengetahui setan atau jibril selain Muhammad bukan?)
Atas sebab ini sebagian ulama berpendapat bahwa telah terjadi nasikh mansukh atas ayat2 setan.
CONTOH SALAH TATABAHASA
Salah satu kesalahan tatabahasa sederhana dari Quran dari begitu banyak kesalahan yang lebih rumit yang sering di bahas di situs2 orientalis dan juga bantahannya di situs2 Islam adalah kata “BUTHUUNIHI” dalam surat An Nahl ayat 66:
Wa-inna lakum fiil AN'AAMI la'ibratan nusqiikum mimmaa fii BUTHUUNIHI min baini fartsin wadamin labanan khaalishan saa-ighan li-sysyaaribiin (QS 16:66)
Dan sesungguhnya pada BINATANG TERNAK itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam PERUTNYA (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. [DEPARTEMEN AGAMA / DEPAG]
Mengapa kata “BUTHUUNIHI” yang diartikan “perutnya” tersebut adalah kesalahan tatabahasa? Perhatikan kata perut-NYA, kata ganti kepemilikan NYA ini tentu ditujukan sebagai perutNYA binatang ternak. Bahasa Arab untuk seekor binatang ternak adalah "NA'AM", sedangkan yang tertulis pada ayat di atas adalah "AN'AAM", yang adalah bentuk jamak dari "NA'AM". Jadi kata “AN’AAM” pada terjemahan DEPAG seharusnya diterjemahkan dengan “binatang-binatang ternak”. Kata ganti kepemilikan untuk "NA'AM" adalah HI, sedangkan kata ganti kepemilikan untuk "AN'AAM" adalah HAA.
Dengan menyebut kata “AN,AAM” maka seharusnya kata yang mengikuti adalah “BUTHUUNIHAA”, bukan memakai kata “BUTHUUNIHI”. Silahkan bandingkan dengan surat Al Mu’minuun ayat 21;
Wa-inna lakum fiil AN’AAMI la'ibratan nusqiikum mimmaa fii BUTHUUNIHAA walakum fiihaa manaafi'u katsiiratun waminhaa ta'kuluun (QS 23:21).
Dan sesungguhnya pada BINATANG-BINATANG TERNAK, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam PERUTNYA, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan, [DEPAG]
Kata BUTHUUNIHAA dalam Al Mu’minuun ayat 21 inilah yang sesuai dengan kaedah tatabahasa Arab. Lalu jika kata BUTHUUNIHI kurang tepat, namun Quran sudah terlanjur distandarisasi dan disebar dimasa Utsman, bagaimana pakar bahasa Arab membuat pengecualian untuk hal ini? Dalam kitab2 Arab tradisional dapat ditemukan beberapa penjelasan untuk mengakomodasi kesalahan ini. Pun dimasa modern, atas kesalahan tatabahasa ini, juga dibuat penjelasan2 baru yang biasanya dikaitkan dengan proses ilmiah pembentukan susu (antara TAHI dan DARAH), yang justru semakin memperlihatkan ketidak ilmiahan Quran.
Ada puluhan kesalahan tata bahasa lainnya dalam Quran yang mirip dengan kasus disurat An Nahl ini, misalnya kata WASH SHAABI-UUNA dalam surat Al Maaidah ayat 69. Para pakar bahasa Arab tradisional telah menulis artikel panjang untuk membenarkan kesalahan ini, yang dimasa modern memang digunakan sebagai rujukan dalam membantah kesalahan ini. Namun bagaimana mungkin kesalahan2 tatabahasa dalam Quran bisa terjadi?
Dalam artikel SEJARAH PENYUSUNAN QURAN telah disebutkan bahwa setelah selesainya proses standarisasi Quran dimasa kekhalifahan Utsman, banyak para sahabat yang tidak setuju dengan apa yang telah tertulis.
Sumber:
1. Al-Itqan, Vol. 1 P. 210
2. Al Musahif, P. 43
3. Tafsir at-Tabari, Vol. 2 P. 18
4. Tafsir Gharaib al Quran, Vol. 2 P. 17
5. Tafsir Dur al Manthur, Vol. 2 P. 246
6. Tafsir al-Thalabi, Vol. 6 P. 250
7. Tafsir Dur al Manthur, Vol. 2 P. 246
8. Tafsir Mazhari, Vol. 6 P. 149
9. Tafsir Qurtubi, Vol. 11 P. 216
10. Tafsir Ruh al Ma'ani, Vol. 1 P. 31
11. Tafsir Ma'alim al Tanzil, Vol. 4 P. 221
12. Al Muhazraat, Vol. 3 P. 435
Berikut pernyataan Aisyah atas hal ini dalam Tafsir al-Thalabi;
Abu Bakar bin Abdus dan Abu Abdullah bin Hamid meriwayatkan dari Abu al-Abbas al-Asim dari Muhammad bin al-Jahm al-Samri dari al-Fara dari Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin Arwa dari ayahnya bahwa Aisyah ditanya tentang firman Allah di Surat an Nisaa (ayat 162) “LAKINIR RAASIKHUUNA” dan “WAL MUQIIMIINA” dan firman-Nya di Surat Al Maaidah (ayat 69) “INNAL-LADZIINA AAMANUU WAAL-LADZIINA HAADUU WASH SHAABI-UUNA” dan firman-Nya (Thaha, 63) “IN HADZAANI LASAAHIRAANI”. Aisyah menjawab: “O keponakan ku, ini adalah kesalahan yang dilakukan oleh juru tulis”.
Imam Hakim menyatakan bahwa rantai riwayat ini kuat dan dari perawi2 yang dapat diandalkan. Jalaluddin Suyuti dalam Al Itqan juga menyatakan hal yang sama bahwa riwayat ini sahih.
Bagaimana dengan reaksi khalifah Utsman bin Affan atas adanya kesalahan2 yang terdapat di Quran?
Sumber:
1. Al-Itqan Vol. 1 P. 492
2. Al-Kashf wa al-Bayan An Tafsir al-Quran oleh Abu Ishaq Thalabi
3. Tafsir Ruh al Ma'ani, Vol. 1 P. 30
4. Tafsir al-Kabir, Vol. 6 P. 38
5. Tafsir Qurtubi, Vol. 11 P. 212
6. Tafsir Fath al Qadir, Vol. 3 P. 361
7. Tafsir Ma'alam al Tanzil, Vol. 3 P. 361
8. Tafsir Dur al Manthur, Vol. 2 P. 246
9. Al Muhazraat - Raghib Isfahani, Vol. 2 P. 434
Allamah Baghwi menulis Tafsir Ma'alam al-Tanzil:
"Ada ketidaksepakatan mengenai “WAL MUQIIMIINA SHSHALAATA”. Aisyah (ra) dan Aban bin Utsman mengatakan bahwa apa yang tertulis di Quran adalah kesalahan saat penyalinan. Dimana seharusnya ditulis sebagai “WAL MUQIIMUUNA SHSHALAATA” Demikian pula di Surat Al Maaidah “WASH-SHAABI-UUNA” dan di Surah Taha “IN HADZAANI LASAAHIRAANI” adalah kesalahan tulis dari juru tulis. Utsman menyatakan bahwa ia telah melihat beberapa kesalahan dalam Quran dan pasti orang-orang Arab akan membuat koreksi yang diperlukan dengan lidah mereka, ia mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan ini tidak merubah haram menjadi halal dan sebaliknya "
Riwayat sahih serupa juga tertulis dikitab2 yang telah disebutkan disumber diatas seperti, Al Itqan, Tafsir Thalabi, Tafsir Kabir, dan al-Musahif.
Kedua pernyataan yang disampaikan Aisyah dan Utsman memang sangat logis. Pemikiran Aisyah adalah orang tidak harus menyalahkan Quran untuk kesalahan tulis yang dibuat oleh para penulis Quran. Bahkan dimasa sekarang, ini adalah alasan umum, yang sering digunakan para penerbit dan penulis. Utsman, yang juga mengakui adanya kesalahan dalam Quran, mengharapkan orang-orang Arab untuk membuat koreksi yang diperlukan ketika mereka membaca kesalahan tersebut. Utsman tidak merasa bahwa kesalahan tersebut cukup serius sehingga harus mengulang lagi proyek standarisasi Quran yang telah dilakukan Zaid dahulu, dimana disisi lain Quran versinya tersebut juga sudah terlanjur ia sebar.
Apa pesan yang dapat kita ambil dari uraian para ulama diawal hingga pernyataan Utsman? Ada 2 point penting dalam formalisasi doktrin Quran sebagai firman Allah; Point 1. Al-QURAN BILANG TIDAK PERNAH SALAH (QS 39:28) dan Point 2. JIKA TERDAPAT KESALAHAN DALAM Al-QURAN INGAT POINT 1. Akibatnya berdasar kedua point tersebut kita dapat melihat penjelasan dan uraian2 panjang para pakar bahasa Arab tradisional seperti Sibawaih, Az-Zamakhsyari, Al-Khalil bin Ahmad, dll dalam mengakomodasi kesalahan yang terdapat dalam Quran agar nampak benar.
AL BALAGHAH
Balaghah biasanya didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan jelas dan tepat sehingga semua orang yang menerimanya memiliki pemahaman yang sama karena kejelasan pesan tersebut. Quran sering diklaim sebagai mujizat dari aspek Balaghah yang tinggi, seperti yang dijelaskannya sendiri dalam sejumlah ayat, yaitu sebagai kitab yang jelas dan terperinci (kitabul mubin).
Kenyataannya konsep Balaghah justru menjadi kelemahan Quran sendiri. Mengacu pada buku tafsir, satu ayat dapat dapat memberikan beberapa kemungkinan makna, yang membuktikan bahwa ayat tersebut tidak benar2 memiliki makna yang jelas. Setelah empat belas abad, banyak pembacanya yang begitu bingung karena luar biasanya ketidakjelasan Quran.
Berikut dua contoh dari begitu banyaknya kegagalan Quran dalam aspek Al Balaghah:
CONTOH 1
Surat An Nisaa 3:
Wa-in (dan jika) khiftumllaa (kamu takut tidak) tuqsithuu (berlaku adil) fii (terhadap) LYATAAMAA (ANAK YATIM) fankihuu maa thaaba lakum mina nnisaa-i matsnaa watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftumllaa ta'diluu fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaallaa ta'uuluu
Terjemahan Inggris dari beberapa penterjemah:
Yusuf Ali;
If ye fear that ye shall not be able to deal justly with the ORPHANS, Marry women of your choice, Two or three or four; but if ye fear that ye shall not be able to deal justly (with them), then only one, or (a captive) that your right hands possess, that will be more suitable, to prevent you from doing injustice.
Habib Shakir;
And if you fear that you cannot act equitably towards ORPHANS, then marry such women as seem good to you, two and three and four; but if you fear that you will not do justice (between them), then (marry) only one or what your right hands possess; this is more proper, that you may not deviate from the right course.
Pickthall;
And if ye fear that ye will not deal fairly by the ORPHANS, marry of the women, who seem good to you, two or three or four; and if ye fear that ye cannot do justice (to so many) then one (only) or (the captives) that your right hands possess. Thus it is more likely that ye will not do injustice.
Al-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan empat kemungkinan makna yang berbeda dari ayat di atas. Jika kita baca tafsir dari kitab2 tafsir tradisional lainnya akan dijumpai bahkan lebih dari 4 makna atas ayat tersebut, yang berarti bahwa para mufassir memahami ayat tersebut secara berbeda2.
Ayat ini adalah contoh bagaimana Quran gagal untuk menyampaikan pesan dengan baik. Tanpa merujuk tafsir, kalimat pertama ayat tersebut berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap ANAK YATIM. Jika kita membaca kalimat awal ini pasti kita menduga bahwa ini adalah peringatan agar adil kepada anak yatim, dan selanjutnya akan disebut mengenai dosa atau hukumannya. Namun ternyata ayat selanjutnya berbunyi; maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Apakah hubungan tidak adil terhadap ANAK YATIM dengan mengawini 4 wanita? Karenanya para mufassir kesulitan untuk memahami makna dari ayat ini, dan memberikan berbagai macam penjelasan. Bandingkan dengan terjemahan DEPAG yang sudah mengacu pada salah satu tafsir;
(QS 4:3; DEPAG)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Oleh DEPAG kata LYATAAMAA yang arti sebenarnya hanya ANAK YATIM (ORPHANS), diterjemahkan menjadi PEREMPUAN YATIM, dengan ditambahkan penjelasan tafsir “bilamana kamu mengawininya”. Penambahan dalam penerjemahan adalah wajar, namun bukannya ini bisa jadi menghilangkan maksud sebenarnya dari ayat tersebut.
CONTOH 2
Surat Faathir ayat 8;
A fa man zuyyina lahu suu amalihi fa raahu hasanan, fa innallaha yudıllu man yasau wa yahdi man yasau, fa la tazhab nafsuka alayhim hasaratin, innallaha alimun bima yashnauun(a).
Terjemahan Inggris dari beberapa penterjemah:
Yusuf Ali;
Is he, then, to whom the evil of his conduct is made alluring, so that he looks upon it as good, (equal to one who is rightly guided)? For Allah leaves to stray whom He wills, and guides whom He wills. So let not thy soul go out in (vainly) sighing after them: for Allah knows well all that they do!
Habib Shakir;
What! is he whose evil deed is made fairseeming to him so much so that he considers it good? Now surely Allah makes err whom He pleases and guides aright whom He pleases, so let not your soul waste away in grief for them; surely Allah is Cognizant of what they do!
Pickthall;
Is he, the evil of whose deeds is made fairseeming unto him so that he deemeth it good, (other than Satan's dupe)? Allah verily sendeth whom He will astray, and guideth whom He will; so let not thy soul expire in sighings for them. Lo! Allah is Aware of what they do!
Bandingkan dengan terjemahan DEPAG;
Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Apakah pesan dari ayat ini? Jika dibaca dalam makna Arabnya tidak ada ketersambungan maksud antar kalimat dalam ayat ini. Ayat ini hanya seperti gabungan beberapa kalimat yang berdiri sendiri2. Bagaimana mungkin Muhammad mengucapkan kalimat yang tidak jelas maksud tujuannya? Kesalahan yang paling mungkin dan logis lagi lagi ditujukan pada juru tulis saat proses standarisasi Quran, seperti yang Aisyah dan Utsman nyatakan pada contoh paragraf sebelumnya.
Bell memberikan hipotesis menarik mengenai tidak adanya ketersambungan satu ayat dengan ayat yang lain dalam sebuah surat di Quran.
Sumber :
Richard Bell : Pengantar Quran
Direvisi oleh W. Montgomery Watt
Edinburg University Press, 1970
Terjemahan Indonesia : INIS, 1998
Bab VI.3 : … Teori ini tidak semata-mata bahwa bagian-bagian Quran ditulis pada masa yang cukup awal dalam karir Muhammad, tetapi lebih utama lagi kenyataan bahwa DITENGAH SURAH BISA MUNCUL BACAAN YANG SAMA SEKALI TIDAK BERKAITAN DENGAN KONTEKS harus dijelaskan dengan dugaan bahwa bacaan ini sebelumnya ditulis dibelakang “POTONGAN KERTAS” yang dipakai untuk salah satu bacaan bersebelahan yang memang termasuk dalam surah…
Salah satu contohnya adalah pada Surat Al Maaidah ayat 3;
Beberapa ahli menyatakan bahwa ayat QS 5 : 3c adalah ayat terakhir.
Sumber :
Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy,
Pustaka Rizki Putra, 2000, halaman 39 - 40
Ayat yang terakhir turunnya menurut pendapat jumhur ialah :
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS 5:3)
Jika dilihat keseluruhan ayat QS 5 : 3 dapat dibagi menjadi 4 bagian (a, b, c dan d). Ayat a, b, dan d berisikan tentang halal dan haram yang jelas adalah satu kesatuan. Sementara ayat terakhir yang bertopik kemenangan Islam justru hanya tersisip secara aneh di ayat c.
QS 5 : 3 (DEPAG)
3a. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala
3b. Dan (diharamkan) juga mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
3c. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
3d. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tersisipnya ayat 3c secara aneh ini jelas hanya dapat diterangkan dengan hipotesa sebagai berikut :
Ayat 3a dan 3b ditulis pada satu lembar kertas sendiri, sementara ayat 3d ditulis pada lembar terpisah. Kemudian ada yang mencatatkan ayat 3c dibalik kertas yang dipakai untuk mencatat 3a dan 3b. Oleh tim penyusun Utsman yang mungkin tidak mengetahui hal ini dianggap ayat 3c ini adalah kesatuan dengan 3a, 3b dan 3d sehingga dituliskan berurutan. Padahal jelas-jelas ayat 3c ini memotong kesatuan ayat-ayat tentang halal dan haram tersebut.
Dalam bukunya Bell memberikan banyak lagi contoh ayat2 Quran yang janggal dalam penempatannya, dimana beberapa ayat yang sedang membicarakan suatu konteks, tiba2 tersisip oleh ayat2 lain yang konteksnya benar2 berbeda dari ayat2 sebelumnya, dan tiba2 ayat lanjutannya justru kembali ke konteks yang sama dengan ayat2 awal.
Senada dengan Bell, Puin dalam penelitiannya terhadap mushaf Sanaa yang dianggap sebagai manuskrip Quran tertua yang memiliki banyak perbedaan dengan Quran masa kini menyatakan;
"Menurut saya Al-Qur'an adalah semacam campuran teks yang tidak semua dapat dipahami, bahkan pada zaman Muhammad. Banyak dari mereka bahkan mungkin sudah ada ratusan tahun lebih dulu daripada Islam sendiri. Bahkan dalam tradisi Islam ada banyak informasi yang kontradiktif, termasuk substrat Kristiani dalam jumlah yang signifikan. Seseorang dapat menemukan sejarah yang bertentangan di dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an mengklaim bahwa Al-Qur'an sempurna atau bersih, tapi kalau anda membacanya, anda akan melihat bahwa setiap sekitar 5 kalimat ada 1 kalimat yang tidak masuk akal…..(2).
Baik Bell dan Puin memiliki kepakaran dibidangnya masing2, titik fokus Bell pada sejarah lisannya, dan Puin berdasar mushaf tertulisnya, dan keduanya sampai pada kesimpulan yang sama. Islam sampai saat ini berpegang pada keyakinan bahwa keaslian Quran senantiasa terjaga. Memberi ruang pada kemungkinan adanya perbedaan atau kesalahan dalam Quran sama saja dengan menghancurkan Quran itu sendiri. Oleh karena itu segalanya harus dikondisikan untuk mendukung keyakinan ini, meski terkadang harus membenamkan logika sekalipun. Lagi2 keyakinan bahwa Quran senantiasa otentik dan terbebas dari kesalahan hanyalah sebatas angan-angan teologis (al-khayal al-dini) sebagai bagian dari formalisasi doktrin2 Islam, yang memang wajar dalam konteks propaganda keagamaan.
Rujukan luar:
(1) https://id.wikipedia.org/wiki/Sibawaih
(2) https://id.wikipedia.org/wiki/ Manuskrip_Sana'a
Artikel terkait:
Sejarah Penyusunan Al-Quran
Bagaimana wahyu Al-Quran diturunkan?
Ayat dan surat serupa Al-Quran