SEJARAH DAN ASAL MUASAL KATA ALLAH
Sebagian cendekiawan muslim seringkali mengatakan bahwa kata Allah tidak dapat diterjemahkan, karena keagungan dan kekhususannya. Apakah kata Allah adalah nama yang tiba tiba jatuh dari langit dan kemudian tertulis dalam Al Quran? Berdasar sejarah Islam sendiri kita mengetahui bahwa kata Allah telah digunakan jauh sebelum Islam sebagai sebuah agama lahir. Para kafir Quraish telah mengenal Allah sebagai Tuhan tertinggi namun masih menyekutukannya dengan ilah ilah lain.
Berdasar bukti empiris dalam penemuan arkeologis, lebih dari satu milenium sebelum kelahiran Islam ternyata kata Allah sudah disebutkan sebagai nama diri dalam beberapa inskripsi. Artikel “Allah Before Islam” dalam “The Muslim World” (Vol.38, 1938, hlm. 239-248) mencatat bahwa suku-suku polytheis Arab kuno Lihyan dan Thamudi yang bermukim di Jazirah Arab bagian Utara, meninggalkan inskripsi bertuliskan banyak nama Allah sebagai nama diri. Pendahulu dari suku Lihyan adalah suku Dedan yang disebutkan sebagai keturunan Ketura, isteri Ibrahim. Maka konsekwensinya, nama Allah tertuju pada Tuhan Semitik yang cikal-bakalnya adalah EL (el – ela – elah) atau IL (il – ila – ilah) semitik.
Seperti diketahui bahwa para ahli bahasa mengelompokkan bahasa Arab dalam rumpun semitik, bersama dengan bahasa Aram, Ibrani, dan bahasa semitik lain yang lebih tua seperti Akkadian. Istilah semitik diambil dari Bible, yang diartikan sebagai keturunan Sem, anak Nuh. Keturunan Sem ini menyebar disekitar daratan Timur Tengah (Mesopotamia) hingga sampai ke Afrika salah satunya adalah Ibrahim, yang diyakini berbahasa Aram.
Dalam beberapa penemuan arkeologis, terdapat inskripsi semitik yang memuat kata IL, yang tertua adalah dalam bahasa Akkadian, berusia kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi. Kata I-L memiliki akar kata semitik Aleph – Lamedh, turunannya dalam bahasa Yahudi menjadi Alef – Lamed, dan dalam bahasa Arab menjadi Alif – Lam. Dalam rumpun semitik kata IL berarti DEWA (Tuhan), sebuah gelar, meski seringkali ditujukan untuk nama diri. Sehingga seringkali kata IL diikuti dengan nama diri dibelakangnya, misalnya IL HD ( Tuhan Hadad ), nama dewa hujan dalam kepercayaan polytheisme Ugarit. Kata IL / EL dalam beberapa kebudayaan polytheisme Mesopotamia juga digunakan untuk menyebut tuhan tertinggi, pimpinan para dewa, dan pencipta dari segalanya.
Sedangkan dalam kepercayaan monotheisme, EL menjadi satu satunya Dewa yang disembah oleh Ibrahim, karenanya Ibrahim mendapatkan gelar “bapak orang beriman”. Mark S. Smith dalam papernya menyatakan bahwa dalam sejarah Israel, nama “El/Elohim” adalah nama Tuhan sebelum nama “Yahweh” diperkenalkan kepada Musa itulah sebabnya sebelum keluarnya bangsa Israel dari Mesir tidak ada nama orang yang diberi identitas nama “Yahweh” (seperti Eliyah) tetapi nama El (Gabriel, Ismael, Israel), dan sekalipun nama Yahweh sudah diperkenalkan, nama El tetap digunakan sebagai nama diri Tuhan. “El, elohe Yisrael” (Kejadian 33:20;46:3) disetarakan dengan “Yahweh, elohe Yisrael” (Keluaran 32:27). Dalam Perjanjian Lama, nama Alah sudah ada dan ditulis pada abad 6 SM dalam kitab Esra yang ditulis dalam bahasa Aram dengan aksara Ibrani “Alah Yisrael” (Allah Israel, Esra 5:1; 6:14).
Meskipun nama Yahweh yang diperkenalkan Musa seringkali dianggap sebagai nama Tuhan Nasional Israel, yang membedakannya dengan tuhan-tuhan Mesir saat keluaran mereka dari Mesir, namun sebagai bangsa rumpun semitik mereka juga menggunakan nama El yang telah umum dipakai saat itu. Dalam kepercayaan Yahudi nama Yahweh juga pernah digunakan untuk menyebut Patung Anak Lembu Emas, sama halnya dengan dengan masyarakat Arab yang polytheis, yang memakai nama Allah sebagai salah satu nama dewa, yang akan dibahas dalam artikel berikutnya dalam situs ini.
Akar kata IL ini kemudian berkembang menjadi Alah dalam bahasa Aram, Eloah dalam bahasa Yahudi, dan Ilah dalam bahasa Arab. Kata sandang marifat (definitif) dalam bahasa Aram adalah “Ha” yang diletakkan di belakang kata (Alah-ha), dalam bahasa Yahudi diletakkan di depan (Ha-Elohim), sedangkan dalam bahasa Arab kata sandang ditulis “Al” diletakkan di depan (al-ilah).
Meski demikian, hal ini seringkali dianggap menyalahi tatabahasa Arab, karena bentuk marifat dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Namun hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena bukti bukti arkeologis menunjukkan bahwa kata Allah sudah eksis sebelum Al-Quran berwujud dalam sebuah kitab. Al Quran yang diklaim sebagai standar bahasa Arab Klasik jika dicermati justru terdapat banyak kesalahan tatabahasa yang akan dikaji diartikel lain di situs ini. Jadi kata Allah dalam bahasa Arab adalah serapan dari Alaha bahasa Aram yang secara tertulis lebih tua dibandingkan bahasa Arab. Dalam Al-Quran juga kita juga dapat menemukan banyak kata serapan yang berasal dari bahasa asing, yang mengakibatkan hilangnya makna awal dari kata serapan tersebut. Seperti malaikat Mikail dalam surat Al Baqarah adalah serapan dari bahasa Ibrani Mikhael, dari kata Mi (berarti siapa), Ki (berarti karena) dan El (berarti Tuhan), yang dalam konsep Yahudi berarti tiada yang seperti Tuhan, yang justru menjadi hilang maknanya setelah diadopsi ke dalam bahasa Arab.
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". QS. Al Baqarah: 132
Nama Yakub dalam bahasa Ibrani (Ya’aqov) berarti ia memegang tumit, ungkapan memegang tumit dalam budaya Yahudi diartikan sebagai penipu. Apakah Yakub orang Arab dan berbahasa Arab? Tentu tidak! Jika bahasa Arab saja tidak dikenal oleh Yakub apalagi agama Islam? Islam sebagai sebuah agama adalah Al-Quran dan Muhammad, lalu seperti apakah Islam yang tanpa Al-Quran dan Muhammad itu? Apakah dengan analogi yang sama Bahaullah pendiri agama Bahai juga seorang muslim? Dengan analogi yang sama pula, dapatkah dikatakan Muhammad tidak beragama Islam, namun beragama Bahai?
Secara bahasa, dalam Al Quran, kata Islam lebih sering dikonotasikan dengan berserah, sebuah sikap diri, daripada sebuah sistem aturan (dien), atau sebagai sebuah agama, makna yang sering dipahami oleh kebanyakan orang. Jadi dalam Al Baqarah 132 tersebut Ibrahim mewasiatkan agar Yakub jangan mati kecuali dalam keadaan berserah kepada Allah. Bukan dalam keadaan beragama Islam, dimana Yakub harus mengikrarkan diri bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, sedangkan Muhammad saja belum lahir.
Klaim-klaim keagamaan adalah hal biasa dalam doktrinisasi agama. Sama dengan kata Allah yang oleh sebagian orang diklaim hanya milik Islam saja, padahal beberapa dokumen kuno menunjukkan bahwa kata Allah juga dipakai masyarakat Kristen Arab sebelum lahirnya Muhammad dan Islam, salah satunya seperti catatan dalam Konsili Efesus (431M) dimana terdapat uskup Arab Haritz bernama Abd Al-Allah (Hamba Allah), ataupun dari inkripsi-inkrispsi dari reruntuhan gereja kuno di Yaman. Jadi baik Elohim, Alaha, dan Allah telah dipakai oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum datangnya Islam yang menunjuk kepada sosok adikodrati yang maha kuasa.
Jelas kata Allah dalam bahasa Arab sudah ada jauh sebelum Muhammad dan Islam lahir. Jadi apapun agamanya pada masa tersebut kata Allah dipakai sebagai nama pribadi maupun sebutan untuk gelar / jabatan ketuhanan. Sehingga secara garis besar kata Allah dikonotasikan sebagai berikut;
- Dewa (tuhan) pencipta segalanya
- Dewa yang Mahakuasa, Maha mengetahui, dsb
- Dewa utama dalam tataran dewa-dewi polytheisme
- Pasangan dari dewi Allat (sifat feminim), sedangkan Allah bersifat maskulin.
- Memiliki keturunan, antara lain Uzza dan Manat
Dan kini bagi orang-orang di Timur Tengah, baik penganut Kristen, Islam ataupun Bahai sebagai agama paling akhir, nama Allah digunakan bersama tanpa rasa curiga sebab mereka menyadari bahwa semua mempercayai Allah yang sama, sekalipun tidak disangkal adanya perbedaan aqidah yang dipercayai oleh masing-masing mengingat semuanya memiliki kitab suci yang berbeda.
.
Berdasar bukti empiris dalam penemuan arkeologis, lebih dari satu milenium sebelum kelahiran Islam ternyata kata Allah sudah disebutkan sebagai nama diri dalam beberapa inskripsi. Artikel “Allah Before Islam” dalam “The Muslim World” (Vol.38, 1938, hlm. 239-248) mencatat bahwa suku-suku polytheis Arab kuno Lihyan dan Thamudi yang bermukim di Jazirah Arab bagian Utara, meninggalkan inskripsi bertuliskan banyak nama Allah sebagai nama diri. Pendahulu dari suku Lihyan adalah suku Dedan yang disebutkan sebagai keturunan Ketura, isteri Ibrahim. Maka konsekwensinya, nama Allah tertuju pada Tuhan Semitik yang cikal-bakalnya adalah EL (el – ela – elah) atau IL (il – ila – ilah) semitik.
Seperti diketahui bahwa para ahli bahasa mengelompokkan bahasa Arab dalam rumpun semitik, bersama dengan bahasa Aram, Ibrani, dan bahasa semitik lain yang lebih tua seperti Akkadian. Istilah semitik diambil dari Bible, yang diartikan sebagai keturunan Sem, anak Nuh. Keturunan Sem ini menyebar disekitar daratan Timur Tengah (Mesopotamia) hingga sampai ke Afrika salah satunya adalah Ibrahim, yang diyakini berbahasa Aram.
Dalam beberapa penemuan arkeologis, terdapat inskripsi semitik yang memuat kata IL, yang tertua adalah dalam bahasa Akkadian, berusia kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi. Kata I-L memiliki akar kata semitik Aleph – Lamedh, turunannya dalam bahasa Yahudi menjadi Alef – Lamed, dan dalam bahasa Arab menjadi Alif – Lam. Dalam rumpun semitik kata IL berarti DEWA (Tuhan), sebuah gelar, meski seringkali ditujukan untuk nama diri. Sehingga seringkali kata IL diikuti dengan nama diri dibelakangnya, misalnya IL HD ( Tuhan Hadad ), nama dewa hujan dalam kepercayaan polytheisme Ugarit. Kata IL / EL dalam beberapa kebudayaan polytheisme Mesopotamia juga digunakan untuk menyebut tuhan tertinggi, pimpinan para dewa, dan pencipta dari segalanya.
Sedangkan dalam kepercayaan monotheisme, EL menjadi satu satunya Dewa yang disembah oleh Ibrahim, karenanya Ibrahim mendapatkan gelar “bapak orang beriman”. Mark S. Smith dalam papernya menyatakan bahwa dalam sejarah Israel, nama “El/Elohim” adalah nama Tuhan sebelum nama “Yahweh” diperkenalkan kepada Musa itulah sebabnya sebelum keluarnya bangsa Israel dari Mesir tidak ada nama orang yang diberi identitas nama “Yahweh” (seperti Eliyah) tetapi nama El (Gabriel, Ismael, Israel), dan sekalipun nama Yahweh sudah diperkenalkan, nama El tetap digunakan sebagai nama diri Tuhan. “El, elohe Yisrael” (Kejadian 33:20;46:3) disetarakan dengan “Yahweh, elohe Yisrael” (Keluaran 32:27). Dalam Perjanjian Lama, nama Alah sudah ada dan ditulis pada abad 6 SM dalam kitab Esra yang ditulis dalam bahasa Aram dengan aksara Ibrani “Alah Yisrael” (Allah Israel, Esra 5:1; 6:14).
Meskipun nama Yahweh yang diperkenalkan Musa seringkali dianggap sebagai nama Tuhan Nasional Israel, yang membedakannya dengan tuhan-tuhan Mesir saat keluaran mereka dari Mesir, namun sebagai bangsa rumpun semitik mereka juga menggunakan nama El yang telah umum dipakai saat itu. Dalam kepercayaan Yahudi nama Yahweh juga pernah digunakan untuk menyebut Patung Anak Lembu Emas, sama halnya dengan dengan masyarakat Arab yang polytheis, yang memakai nama Allah sebagai salah satu nama dewa, yang akan dibahas dalam artikel berikutnya dalam situs ini.
Akar kata IL ini kemudian berkembang menjadi Alah dalam bahasa Aram, Eloah dalam bahasa Yahudi, dan Ilah dalam bahasa Arab. Kata sandang marifat (definitif) dalam bahasa Aram adalah “Ha” yang diletakkan di belakang kata (Alah-ha), dalam bahasa Yahudi diletakkan di depan (Ha-Elohim), sedangkan dalam bahasa Arab kata sandang ditulis “Al” diletakkan di depan (al-ilah).
Meski demikian, hal ini seringkali dianggap menyalahi tatabahasa Arab, karena bentuk marifat dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Namun hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena bukti bukti arkeologis menunjukkan bahwa kata Allah sudah eksis sebelum Al-Quran berwujud dalam sebuah kitab. Al Quran yang diklaim sebagai standar bahasa Arab Klasik jika dicermati justru terdapat banyak kesalahan tatabahasa yang akan dikaji diartikel lain di situs ini. Jadi kata Allah dalam bahasa Arab adalah serapan dari Alaha bahasa Aram yang secara tertulis lebih tua dibandingkan bahasa Arab. Dalam Al-Quran juga kita juga dapat menemukan banyak kata serapan yang berasal dari bahasa asing, yang mengakibatkan hilangnya makna awal dari kata serapan tersebut. Seperti malaikat Mikail dalam surat Al Baqarah adalah serapan dari bahasa Ibrani Mikhael, dari kata Mi (berarti siapa), Ki (berarti karena) dan El (berarti Tuhan), yang dalam konsep Yahudi berarti tiada yang seperti Tuhan, yang justru menjadi hilang maknanya setelah diadopsi ke dalam bahasa Arab.
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". QS. Al Baqarah: 132
Nama Yakub dalam bahasa Ibrani (Ya’aqov) berarti ia memegang tumit, ungkapan memegang tumit dalam budaya Yahudi diartikan sebagai penipu. Apakah Yakub orang Arab dan berbahasa Arab? Tentu tidak! Jika bahasa Arab saja tidak dikenal oleh Yakub apalagi agama Islam? Islam sebagai sebuah agama adalah Al-Quran dan Muhammad, lalu seperti apakah Islam yang tanpa Al-Quran dan Muhammad itu? Apakah dengan analogi yang sama Bahaullah pendiri agama Bahai juga seorang muslim? Dengan analogi yang sama pula, dapatkah dikatakan Muhammad tidak beragama Islam, namun beragama Bahai?
Secara bahasa, dalam Al Quran, kata Islam lebih sering dikonotasikan dengan berserah, sebuah sikap diri, daripada sebuah sistem aturan (dien), atau sebagai sebuah agama, makna yang sering dipahami oleh kebanyakan orang. Jadi dalam Al Baqarah 132 tersebut Ibrahim mewasiatkan agar Yakub jangan mati kecuali dalam keadaan berserah kepada Allah. Bukan dalam keadaan beragama Islam, dimana Yakub harus mengikrarkan diri bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, sedangkan Muhammad saja belum lahir.
Klaim-klaim keagamaan adalah hal biasa dalam doktrinisasi agama. Sama dengan kata Allah yang oleh sebagian orang diklaim hanya milik Islam saja, padahal beberapa dokumen kuno menunjukkan bahwa kata Allah juga dipakai masyarakat Kristen Arab sebelum lahirnya Muhammad dan Islam, salah satunya seperti catatan dalam Konsili Efesus (431M) dimana terdapat uskup Arab Haritz bernama Abd Al-Allah (Hamba Allah), ataupun dari inkripsi-inkrispsi dari reruntuhan gereja kuno di Yaman. Jadi baik Elohim, Alaha, dan Allah telah dipakai oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum datangnya Islam yang menunjuk kepada sosok adikodrati yang maha kuasa.
Jelas kata Allah dalam bahasa Arab sudah ada jauh sebelum Muhammad dan Islam lahir. Jadi apapun agamanya pada masa tersebut kata Allah dipakai sebagai nama pribadi maupun sebutan untuk gelar / jabatan ketuhanan. Sehingga secara garis besar kata Allah dikonotasikan sebagai berikut;
- Dewa (tuhan) pencipta segalanya
- Dewa yang Mahakuasa, Maha mengetahui, dsb
- Dewa utama dalam tataran dewa-dewi polytheisme
- Pasangan dari dewi Allat (sifat feminim), sedangkan Allah bersifat maskulin.
- Memiliki keturunan, antara lain Uzza dan Manat
Dan kini bagi orang-orang di Timur Tengah, baik penganut Kristen, Islam ataupun Bahai sebagai agama paling akhir, nama Allah digunakan bersama tanpa rasa curiga sebab mereka menyadari bahwa semua mempercayai Allah yang sama, sekalipun tidak disangkal adanya perbedaan aqidah yang dipercayai oleh masing-masing mengingat semuanya memiliki kitab suci yang berbeda.
.